Setelah kejadian semalam Rania menjadi lebih banyak diam. Bahkan sudah bermenit-menit Bi Mina mencoba berbicara dengan Rania hasilnya nihil, Rania sama sekali tidak bersuara hanya sesekali mengangguk dan menggeleng.
Kini Rania tengah sarapan bersama sang ayah ditemani omelan akibat sikap Rania semalam.
"Papah nggak ngajarin kamu bersikap kaya gitu sama tante Vio."
"Sikap kamu kaya anak yang nggak pernah di didik-"
Rania yang semulanya tengah mengaduk-aduk makanannya seketika membanting sendok yang berada dalam gengamannya.
"Aku emang gak pernah di didik! Dari dulu, Papah selalu pentingin kerjaan dan perempuan dari pada anaknya sendiri!"
Setelah mengucapkan itu Rania meraih tas nya dan pergi dengan perasaan dongkol dari ruang makan.
Gio hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada. Apa yang Rania ucapkan lagi-lagi tidak lah salah. Gio benar-benar baru merasakan jika semua yang terjadi sekarang adalah salahnya sendiri di masa lalu.
"Papah harus perbaiki dari mana dulu, Nia?"
🥀
Dion menatap handphone-nya yang sudah menunjukan pukul 7 : 10. Kemungkinan besar dirinya akan terlambat hari ini. Ini adalah kali pertama Dion terlambat dan seharusnya kali terakhir juga.
Jalanan mulai sepi dari orang-orang berseragam sekolah seperti dirinya. Di tengah-tengah fokus menyetir, Dion melihat sosok yang ia kenali tengah berjalan menyusuri trotoar.
Dion memelankan laju kendaraannya di samping orang itu.
"Lo ngapain jalan kaki?!" Dion sedikit berteriak dari dalam mobil setelah menurunkan setengah kacanya.
Dion menghentikan mobilnya, kemudian turun menghadang langkah Rania.
"Awas, gue mau ke sekolah."
Dion tidak bergerak, laki-laki itu terus menghalangi jalan Rania. "Masuk, ini udah telat, Ran."
Rania mendongak, menatap sekilas wajah Dion kemudian masuk ke dalam mobil si ketua osis itu.
Dion menggeleng, dirinya juga ikut menyusul Rania.
🥀
"Tumben lo udah ada di sekolah."
Atha berbalik menatap manusia yang menepuk bahunya, Rio.
Rio mengerutkan keningnya. Tatapan Atha sangat berbeda dari biasanya. "Lo kenapa? Gitu amat tatapannya."
"Lo sama sepupu gue gak lagi pura-pura, kan?"
"Kanaya?"
"Ya iyalah."
"Atas dasar apa lo nanya gitu ke gue? Curiga lo sama gue?"
Atha mengangguk. "Iya gue curiga. Kalian gak kaya orang pacaran pada umumnya."
"Cara kami emang beda dari yang lain, Tha. Dari pada ngelantur, mending cabut ke kelas, bentar lagi bel."
Atha menghela nafasnya. Ia ingin percaya tapi jauh di lubuk hatinya ia mengatakan tidak. Baru saja ia ingin melangkah tapi satu panggilan terdengar hingga ia mengurungkan niatnya.
"Tha!"
Naren yang memanggil Atha lantas berlari kecil menghampiri sahabatnya itu.
"Kesiangan, lo?" tanya Atha.
"Nggak lah, masih ada 5 menit sebelum bel. Btw lo liat Rania gak?"
Atha menggeleng. "Nggak tuh. Emang gak berangkat bareng lo?"
"Tadi gue jemput, tapi kata bi Mina udah berangkat," jawab Naren.
"Coba telepon deh, biar lo gak khawatir gitu."
Naren mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Masalahnya dia gak bisa dihubungin dari semalem."
"Coba aja, siapa tahu sekarang bisa."
Naren kembali menghubungi Rania, namun hasilnya sama. Tidak aktif.
"Sama aja, Tha."
Atha terdiam sebentar, laku tangannya meronggoh handphone yang berada di saku celananya.
"Coba gue telepon, ya?"
Sebelum Naren memberi izin Atha sudah terlebih dahulu memencet tombol panggilan. Hasilnya tersambung dan dijawab oleh Rania.
"Hallo, Tha? Tumben, ada apa telepon gue?"
Suara Rania di seberang sana menyadarkan kedua laki-laki ini.
Dengan sepat Atha memencet tombol speaker agar terdengar oleh Naren.
"Gini, Ran. Lo di mana?"
"Gue masih di jalan, kesiangan gue. Kenapa?"
Atha menatap Naren sebentar lalu kembali beralih pada handphenya.
"Nggak, cuma nanti pas udah sampe kabarin ya?"
"Lo kenapa sih? Random banget tahu gak? Udah ya, orang di sebelah gue udah mencak-mencak minta di geprek."
Tut.
Telepon ditutup sepihak oleh si penerima.
"Aktif kok. Pulsa lo abis kali," kata Atha.
"Gue baru isi kemaren, masa udah abis aja. Masalahnya bukan cuma telepon gue yang gak diangkat tapi chat gue juga gak dibales."
"Bukan masalah gue, ya? Udah deh, nanti aja tanyain pas istirahat. Mending ke kelas ayo."
"Lo duluan aja, gue mau nungguin Rania."
"Si bego, dia masih di jalan. Udah deh Ren, dari pada lo kena hukum lagi kan?"
Atha yang geram menarik tangan Naren, sedangkan Naren hanya pasrah dengan perlakukan temannya itu.
🥀
"Katanya ketos, tapi kok telat."
Dion melirik Sagara sinis. "Gue juga manusia."
Mendengar jawaban Dion, Sagara tersenyum tipis. Kini kakinya berjalan mengelilingi Dion dan Rania yang tengah dijemur di bawah teriknya sinar matahari.
Rania menggeram kesal ketika Sagara berhenti tepat di hadapannya.
"Ran-"
"Minggir lo dari hadapan gue!"
"Kalau gue gak mau?"
"Lo kenapa sih muncul lagi di hadapan gue? Udah abis duit lo yang gue kasih kemarin? Boros juga ya, pacar baru lo."
"Gue sama dia udah putus," ucap Sagara tegas.
"Sayangnya gue gak nanya." Rania mengecek jam di pergelangan tangannya. "Waktu hukuman kita udah selesai, ayo pergi."
Rania menarik tangan Dion untuk pergi dari sana tak lupa mengambil tas sebelum benar-benar meninggalkan lapangan dan Sagara.
Sagara menatap kepergian Rania dan Dion dengan senyuman. Tangannya mengambil handphone dan memotret keduanya.
Hallo!
Tanggal berapa ini?
27 bulan Mei😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...