Hari sudah benar-benar gelap. Tapi Rania masih berada di tempat yang paling ia benci tapi hatinya selalu menyuruhnya untuk datang ke tempat ini.
Duduk seorang diri dengan serangam sekolah yang sudah kusut membuatnya seperti orang tersesat. Sejak teriakannya memaki taman itu, Rania tidak banyak bergerak. Hanya diam nenatap ke depan dengan pandangan kosong. Bahkan menangis pun tidak.
"Di saat orang-orang panik nyariin lo, dengan santainya lo duduk manis di sini tanpa gerak sedikitpun."
Rania tidak bergeming, ia tahu siapa orang yang berada di belakangnya saat ini.
"Dari sekian banyaknya tempat, kenapa harus tempat yang bikin lo sakit?" Orang itu terkekeh sebentar. "Lo bodoh, Ran. Seumur gue hidup, gue baru liat orang yang mau lari dari masalahnya tapi larinya malah ke tempat awal mula masalahnya itu di mulai. Dengan Lo kaya gini, lo gak akan bisa lupa, dan lo gak akan merasa lo bener-bener sembuh dari luka masa lalu lo itu."
"Udah cukup sok tahunya?" Rania akhirnya bersuara. "Asal lo tahu, yang gue benci kenangannya bukan tempatnya. Lagi pula, kenapa sok peduli sama gue?"
"Gue beneran peduli, bukan cuma pura-pura peduli." Orang itu mulai melangkah mendekat.
"Stop! Ri. Gue gak butuh kepedulian lo!"
Benar, orang itu adalah Rio.
"Ran-"
"PERGI RI!" Rania berteriak tanpa membalikan badannya.
"Jangan gini, Ran. Mereka nyariin lo, om Gio, Naren, bi Mina, mereka nyariin lo, Ran!"
"Gue tahu, tapi gue butuh waktu buat sendiri," ujar Rania.
Rio mengusap wajahnya kasar, kali ini ia benar-benar berjalan mendekat dan berakhir duduk di sebelah Rania.
"Sampe kapan?"
"Siapa yang nyuruh lo duduk di sebelah gue?"
"Ini tempat umum, gue bebas duduk di mana pun yang gue mau."
Rania berdecak kesal, ia bangkit dan pergi dari sana. Tapi baru satu langkah, Rio menarik tangannya hingga terduduk kembali.
"Apaan lagi sih?"
"Lo mau ke mana?"
"Ya pulang lah, itu kan yang lo mau?"
🥀
Sejak matahari mulai terbenam Vio sudah berada di kediaman Ananta dengan perasaan khawatir. Tadinya ia akan ikut mencari bersama Gio, Naren, Atha, dan Dion tapi ia tidak mendapatkan izin untuk itu.
"Non, tenang dulu ya. Bibi yakin, non Nia baik-baik aja," ucap Bi Mina mencoba menenangkan.
"Tapi susah, Bi. Ini udah malem, dia perempuan. Saya takut, Bi."
Ceklek.
Suara pintu di buka membuat Vio yang awalnya duduk langsung berdiri, berharap itu adalah Rania.
Numun ternyata yang datang bukanlah orang yang diharapkan.
"Gimana?" tanya Vio.
Gio menggeleng. "Aku gak tahu Rania di mana. Yang lain udah aku suruh pulang, ini udah cukup malem. Besok mereka masih harus datang ke sekolah."
"Terus Rania gimana? Kamu santai pulang sendirian sedangkan anak kamu di luar sana sendirian!" Vio menghembuskan nafasnya prutasi. "Kalau kamu udah capek, sana istirahat. Biar aku yang cari." Dengan emosi yang tak tertahan Vio berjalan melewati Gio begitu saja.
Baru beberapa langkah Vio menjauh dari Gio pintu kembali terbuka, menampakan Rania dengan seragam kusutnya. Melihat itu Vio membelakan matanya lantas berlari dan memeluk tubuh Rania.
Rania yang mendapatkan perlakuan itu hanya diam, ingin marah tapi terlalu malas.
"Kamu dari mana? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Vio seraya menangkup wajah Rania.
Rania tidak menjawab, ia memilih diam dan menatap wajah Vio yang terlihat cemas dan ada air mata yang memaksa keluar dari pelupuk matanya.
"Dari mana aja, kamu?" tanya Gio tegas.
Keduanya menoleh, tatapan mata Gio tidak berbohong jika ia tengah menahan emosi.
"Kamu ke kamar gih, pasti capek kan? Jangan lupa bersih-bersih sebelum tidur," ucap Vio pada Rania yang dibalas anggukan oleh gadis itu.
Vio menatap kepergian Rania dengan senyuman. Sementara itu seorang pria yang berada di hadapannya masih menahan amarah.
"Kenapa kamu suruh dia istirahat gitu aja?"
"Emangnya harus ngapain dulu? Ini udah malem, besok Rania harus sekolah," jawab Vio.
Gio mengacak-acak rambutnya prutasi. "Dia kalau gak dimarahi dulu kelakuan kaya gini bakal terus ke ulang."
Bukannya mengangguk menyetujui Vio malah tersenyum sambil menggeleng. "Nggak gitu caranya. Kamu pengen kan, Rania nurut sama kamu? Kalau kamu terus-terusan marahin dia justru bakalan bikin dia semakin berontak. Coba sekali-kali kamu ngomong baik-baik sama Rania, gak semua masalah sekesai pake emosi yang meledak-ledak."
"Terserah," ucap Gio sebelum pergi meninggalkan Vio seorang diri di ruang tamu.
Sementara itu, di ujung tangga Rania mendengarkan semuanya. Rasa bersalah muncul seiring dengan kata-kata yang keluar dari mulut Vio.
"Gue terlalu cepet menilai. Gue harus minta maaf."
🥀
Rasanya terlalu malas untuk pergi ke sekolah. Jika saja Vio tidak membangunkannya mungkin Rania akan telat dan berujung seperti kemarin, dijemur layaknya ikan asin.
"Semangat ya sekolahnya, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi tante," ucap Vio sebelum Rania keluar dari mobilnya.
Rania tersenyum lalu menjawab, "Makasih."
Bagi Vio ini terasa mimpi. Ia mengantarkan seorang remaja yang akan menjadi anaknya juga ke sekolah. Entah apa yang terjadi pada Rania hingga anak itu mau diajak berangkat bersamanya. Vio berharap bahwa ini adalah pertanda bahwa Rania mau menerima kehadiran Vio dalam hidupnya.
Annyeong!
Aku telat lagi, harusnya chapter ini di up kemarin.
Yang hari ini ujian semangat ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...