10. Chiki

26 7 0
                                    

Kejadian siang tadi terus terbayang di pikiran Rania. Entahlah, dia merasa tidak perlu membantah ucapan Naren.

"Kasian apa cemburu?"

"Arghh...." Rania mengacak ngacak rambutnya, kemudian mengambil boneka pinguin yang diberikan Naren tempo lalu.

"Masa sih gue beneran cemburu? Mungkin aja sih. Tapi mana bisa secepet itu?" tanya Rania pada boneka itu yang kini berada dalam pelukannya.

"Chiki--ha? Tunggu, mulai sekarang nama lo Chiki." Rania bermonolog, seolah boleka di dekapannya itu bisa bereaksi.

"Gue akui Naren itu ganteng, tapi lo tahu Chik? Tadi tuh dia sok ganteng banget masa, kan gak sopan! Di depan ciwi-ciwi lagi!"

Rania terdiam sejenak, menatap Chiki yang kini berada dalam genggaman tangannya. "Kalau gue marah, itu tandanya gue cemburu ya?"

Ponsel Rania bergetar menandakan panggilan masuk. Awalnya Rania tidak peduli, tapi setelah getaran yang ke tiga kali Rania mengangkatnya dengan malas tanpa melihat nama siapa yang tertera di sana.

"Akhirnya diangkat juga."

Rania mematung saat mengenali siapa yang berada dalam panggilan itu. Dengan cepat Rania mematikan sambungan teleponnya.

Tangan yang bergetar itu kini membuka aplikasi yang biasa digunakan untuk mengirimkan pesan.  Bertapa terkejutnya Rania saat puluhan pesan belum terbaca dari nomor yang sama.

Rania sama sekali tidak ada niatan untuk membuka room chat itu, yang ia lakukan adalah memblokirnya.

Narenn♡ is calling.....

Setelah memblokir nomor itu, Rania dikejutkan dengan nama Naren yang terpampang di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama Rania menggeser timbol hijau.

"Kenapa belum tidur?"

Pertanyaan dari Naren membuat Rania sedikit mengdengus kesal.

"Masih belum ngantuk," elaknya.

"Jangan bohong. Udah sama tidur, perlu aku nyanyiin?"

"Emang kamu bisa nyanyi?"

"Oh...tentu bisa dong, beneran mau?"

Rania berpikir sejenak. "Enggak deh, kamu juga harus cepet tidur. Udah ya, aku mau tidur."

"Katanya belum ngantuk, tapi yaudah deh. Tidur yang nyenyak ya besok aku jemput. Good night sayang."

Panggilan berakhir. Pipi Rania kini memerah karena ucapan selamat malam dari Naren dan--

Raina rasanya ingin berteriak sekarang. Satu kata tapi berhasil memporak-porandakan hatinya.

🥀

Pagi yang cerah, tapi tidak dengan keadaan hati Rania saat ini.

"Jangan bengong, ayo lari. Nanti kepergok pak Hakim mampus lo!"

Suara Dion seakan menyadarkan Rania dari rasa malasnya. Rania sangat tidak menyukai berlari, karena berlari perutnya bisa sakit seketika, entah apa penyebabnya.

"Lo aja, gue males."

Dion sedikit berdecak, namun setelahnya kembali berlari tanpa Rania.

Rasa malas Rania semakin bertambah ketika kelasnya dan kelas XII 4 selama pelajaran olahraga digabung kan.

"Raina--"

"Rania pak, kebalik itu."

Pak Hakim selaku guru olahraga sudah tidak aneh melihat Rania seperti ini. "Iya itu maksud saya. Kenapa kamu berhenti? Lari sana!"

Rania menegang perutnya dan seketika beracting layaknya aktor profesional. "Aduh....pak, perut saya sakit, saya izin ke UKS aja ya?"

"Saya tahu kamu bohong. Sudah sana lanjutkan larinya."

Rania berdecak kesal, sungguh kali ini Rania ingin sekali kabur.

"Rania...."

"Eh iya pak, ini saya lari kok," elak Rania seraya berjalan santai seolah-olah sedang berlari.

Teman sekelas Rania hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Rania yang hampir setiap jam pelajaran olahraga beralasan sakit perut.

Sebenarnya banyak siswa maupun siswi di kelas yang ingin akrab dengan Rania, tapi karena Rania yang tertutup membuat mereka sedikit--entahlah, mereka hanya canggung, mungkin.

Jika ada yang bertanya 'Yang mana Rania?' mereka yakin untuk menjawab, tapi jika ditanya 'Tinggal di mana dia?' atau 'Bagaimana sikapnya?' mereka tidak akan berani menjawab. Meskipun selama ini Rania yang mereka kenal terlihat baik.

Di sekolah itu tidak ada yang tahu lebih dalam tentang Rania, kecuali satu orang. Dia, Sagara.

Seakan tak kuat lagi, Rania duduk di tepi lapangan dengan nafas yang tak beraturan.

"Kalau capek jangan dipaksain." Naren berjongkok di hadapan Rania seraya menyodorkan sebotol air mineral.

Dengan senang hati Rania mengambilnya. "Makasih."

"Pelan-pelan minumnya, aku gak akan min--"

"Uhuk.. Uhuk.." Rania terbatuk karena cara minumnya yang terburu-buru.

"Aku bilang juga apa? Pelan-pelan Rania sayang."

Blush

Pipi Rania memerah sekarang. Meskipun begitu, Rania tetap membalas ucapan Naren dengan cengiran tanpa dosa khasnya.

Dua kelas yang digabungkan membuat lapangan kebih ramai dari biasanya, begitu pula dengan orang yang menonton drama gratis pun lebih banyak.

"Kalau mau pacaran jangan disini!" Dion sebagai ketua osis tidak bisa membiarkan drama di depannya ini terus berlanjut, selain peraturan sekolah ini juga tidak cukup baik untuk hatinya.

"Ganggu aja lo," gerutu Atha yang sejak tadi memperhatikan sikap Naren yang berubah 390°

Sedangkan Rio yang berada di sebelah Atha hanya mengangkat bahunya acuh. "Cuma ngasih minum gak usah berlebihan," katanya.

"Udah sana lanjutin larinya." Sadar akan perhatian orang-orang, Rania menyuruh Naren untuk kembali berlari.

"Oke, tapi istirahatnya jangan sambil lihatin cowok lain, lihatin aku aja," ucap Naren sambil menaik-turunkan alisnya, guna menggoda sang pacar.

Rania sudah ancang-ancang akan memukul lengan Naren, tapi cowok itu dengan cepat nenghindar dengan kembali berlari.

Di balik hebohnya keadaan lapangan ada seseorang yang memperhatikan semuanya. Tatapan tajam selalu ia tunjukan ketika itu menyangkut Naren.

"Kali ini lo menang, tapi lain kali akan gue pastiin lo kalah," ujar orang itu seraya menghisap benda panjang di antara kedua jarinya.











Hampir lupa punya cerita yang belum selesai hehe....

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang