13. Kehangatan seorang ibu

23 7 0
                                    

"Ran-nia-"

Deg!

"Bun-da.."

Naira sunggu terkejut melihat siapa yang berada di ruang tamunya saat ini, begitu pula dengan Rania. Bundanya ada di sini.

Keduanya sama-sama berlari dan saling memeluk satu sama lain. Naren yang berada diantara keduanya mengerutkan alisnya. Ibu dan pacarnya saling mengenal?

Tak lama di tengah keheningan itu Rania menangis dalam dekapan Naira. Naira yang mengerti mengusap lembut pinggung rapuh itu dan mmberi kode pada sang anak agar mengambilkan minum untuk Rania.

"Bunda kemana aja? Udah lebih dari tujuh tahun Nia menderita, Bun.... Rania butuh Bunda..." lirih Rania di sela isak tangisnya.

"Maafin Bunda, sayang... Maaf."

Naira tidak tahan, ia ikut menitikan air matanya. Seorang anak kecil yang ia rawat dulu kini sudah menjadi seorang remaja yang cantik. Sungguh, Naira tidak menyangka jika yang Naren sukai adalah Rania. Selama ini Naira hanya mengetahui jika perempuan yang anaknya sukai berasal dari keluarga yang baik.

Wanita paruh baya itu menatap wajah Rania. Matanya membuat Naira teringat kembali masa-masa itu,  di mana Naira sering kali melihat Rania tertidur di teras rumahnya.

"Bunda nggak nyangka kamu udah sebesar ini, maafin Bunda ya sayang....  Maaf waktu itu Bunda-"

Naira kehilangan kata-katanya. Jika saja waktu itu dia tidak memilih pergi, mungkin Rania tidak akan menderita selama itu.

"Bunda gak perlu minta maaf." Rania mengusap air mata Naira seraya memaksakan senyumnya. "Nia gak papa kok. Nia nggak nyangka kalau ibunya pacar Nia itu Bunda."

Naira tersenyum, lantas mencubit hidung mancung Rania gemas. "Anak Bunda dua-duanya udah gede, pake pacar-pacaran lagi."

"Aduh sakit, Bun."

Naira tekekeh pelan dan kembali membawa Rania ke dalam dekapan hangatnya. "Nia hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Setelah ini Nia jangan pernah merasa sendiri lagi, ada Bunda dan Naren yang akan terus ada di samping Nia."

🥀

Malam penuh bintang kini menjadi saksi bisu bagi Naren. Laki-laki berumur 17 tahun itu tengah merenungi kejadian siang tadi.

"Hidup aku udah hancur, sejak umur 8 tahun. Aku udah gak punya siapa-siapa selain papah. Mamah ninggalin papah karena aku, Ren. Aku penyebab keluargaku hancur."

"Mamah benci aku, mamah mau aku mati, tapi usahanya buat lenyapin aku berkali-kali gagal."

Naren mengacak-acak rambutnya. Pikirannya benar-benar berkecamuk. Bagaimana Rania bisa bertahan selama itu? Mengapa saat itu ia tidak kabur saja setelah percobaan yang pertama gagal?

"Sayang...." Naren berbalik, di depan pintu ada sang ibu yang memanggilnya.

"Di balkon, Bun," jawab Naren dengan  mata yang menerawang langit kota.

Tak lama Naren merasakan sentuhan lembut pada rambutnya.

"Masih kepikiran yang tadi, ya?" tanya Naira seraya duduk di samping Naren.

Naren menatap Naira lalu mengangguk. "Kenapa Bunda bisa kenal Rania?

"Mau denger ceritanya gak?"

"Mau, Bun."

Naira tersenyum lantas menggenggam tangan sang anak. "Tapi kamu harus janji, apapun yang terjadi jangan pernah berpikiran buat sakitin Rania."

"Naren janji. Apapun itu, Naren yakin nggak akan ada alasan buat sakitin Rania."

Wanita paruh baya itu menghembuskan nafasnya kasar, pikirannya akan kembali ke masa kelam itu lagi. "Bunda dan Rania dulu adalah tetangga. Nara, mamanya Rania itu temen Bunda."

"Mamanya Rania pernah nyoba-"

"Iya, bahkan berkali-kali. Bunda masih inget jelas kejadian terakhir sebelum Rania dan mamanya pisah, Rania pernah di tusuk dan selamat."

Naren terhenyak mendengar hal itu. "Bun....."

"Bunda tahu, kedengeran gak mungkin tapi itu kenyataannya. Rania kecil sering dibentak, dipukul bahkan disuruh tidur di luar."

"Bunda Naira tolongin Nia! Arghh... Mah sakit.."

"Jangan pernah panggil saya Mamah, kamu bukan anak saya."

Dugh.

"BUNDA!!"

Naira kembali meneteskan air matanya ketika mengingat saat dirinya pulang bekerja dan di suguhi teriakan dari Rania.

"Bunda.... Maafin Naren udah bikin Bunda sedih," ujar Naren.

"Nggak, anak kesayangan Bunda harus tahu kalau pacarnya pernah berada di posisi yang sangat kelam. Jadi, anak Bunda harus bisa bikin Rania bahagia."

"Akan terus Naren usahakan. Jadi itu juga ya Bun, yang bikin Rania takut petir?"

Naira tersenyum getir. "Tujuh tahun itu waktu yang lama, Bunda nggak tahu apa aja yang udah Rania hadapi selama itu."

Naren memeluk Naira. "Makasih ya Bun. Bunda dulu pernah sayang sama pacar Naren, makasih juga karena Bunda udah nganggap Naren kaya anak Bunda sendiri."

"Walaupun kamu bukan berasal dari rahim Bunda, tapi kamu itu tetap anak kandung Bunda. Gak ada yang namanya anak tiri bagi Bunda." Naira membalas pelukan Naren.

"Mau tahu gak apa yang bikin Bunda telat datang pas masih jadi baby sister kamu?"

Naren menggeleng.

"Naira, dia yang bikin Bunda telat datang."

"Kalau Naren tahu Bunda telat gara-gara pacar Naren, mungkin Naren gak akan ngambek terus ke Bunda."

"Anak Bunda udah gede ya, udah ngerti pacaran. Gak kerasa, perasaan baru kemarin Bunda liat kamu bayi, sekarang udah mau 18 tahun aja."

"Bunda hobby banget ya godain anaknya sendiri."

"Tapi kenyataan kan?"

"Ih.... Bunda."

Naira merasa lega, dua orang anak yang ia sayangi kini saling mengenal bahkan saling mencintai.

Uasa Naira mencari Rania selama ini berujung sia-sia, setelah 6 tahun berlalu Rania datang dengan sendirinya. Itukah yang di sebut dengan takdir?













Halo halo halo!
Masih ada yang baca gak?
Sorry banget lama gak update, aku rencananya mau hiatus dulu selama dua minggu ke depan, eh lupa ngasih kabar. Jadinya update sekalian ngasih kabar kalau mau hiatus, jangan di hapus dulu ya. Aku sempetin update deh kalau ada waktu luang..

See you!

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang