28. Kejelasan

15 2 1
                                    

"Gue liat dan denger pake mata dan telinga gue sendiri." Rania memandang Naren dengan mata yang memerah.

Naren diam mendengar hal itu. Bagaimana ia tidak melihat kedatangan Rania saat itu.

"Kenapa lo diem? Gak percaya?" Rania meraih ponselnya lalu mencari sebuah foto saat Naren dan Kanaya berpelukan. "Liat baik-baik! Di situ ada jam, tanggal dan tempat."

"Di saat lo punya janji sama pacar lo, tapi yang lo lakuin malah ketemuan sama Kanaya terus ungkapin perasaan satu sama lain di depan pacarnya sendiri. Gak ada satupun cewek yang gak sakit hati liatnya, Ren!"

Gagal sudah pertahanan Rania, air mata yang sempat ia tahan kini terjun bebas membasahi pipinya.

Naren menghela nafasnya. Benar, ia memang mengatakan bahwa dirinya suka Kanaya, tapi yang didengar Rania hanya separuh.

"Ran, ini gak seperti yang lo pikir-"

"Terus gimana?"

Naren meraih tangan Rania lalu menggenggamnya. "Ran, gue mohon kasih gue waktu. Gue ceritain semuanya, karena yang lo denger itu cuma sebagian."

Rania memalingkan wajahnya lalu menghempaskan tangan Naren. "Gue kasih lo wakru dua menit buat bela diri lo sendiri."

"Oke."

Flashback.

"Lo ngapain ngajak gue ketemuan di sini?"

Naren duduk di sebelah Kanaya yang sore tadi memintanya untuk bertemu malam itu juga.

"Ren, gue telat ya?"

"Telat apa?"

"Gue telat sadar soal perasaan gue sama lo. Gue sadar kalau gue suka sama lo, bahkan lebih dari itu. Apa masih ada ruang di hati lo buat gue?"

"Lo gak salah? Lo sendiri tahu kalau gue udah punya Rania dan gue rasa perasaan ini udah gak bisa berubah sampai kapanpun."

Kanaya terdiam mendengarnya, ternyata sudah tidak ada lagi tempat untuknya di hati Naren. "Boleh gue peluk lo untuk yang terakhir kalinya? Setelah ini, gue jamin perasaan gue ke lo hilang."

Naren menaikan sebelah alisnya tanda tak mengerti.

"Pelukan persahabatan. Meskipun kita gak bisa bersama se-enggaknya masih sahabatan, kan?"

Akhirnya Naren mengangguk, ia merentangkan tangannya dan dengan cepat Kanaya memeluknya.

"Gue suka sama lo, Ren," ujar Kanaya.

Naren membalas pelukannya lalu berkata, "Gue juga suka sama lo, Nay." Naren menjeda ucapannya. "Tapi itu dulu, bukan sekarang."

"Sekarang cuma ada Rania, bahkan perasaan gue ke dia melebihi perasaan gue ke Alina dulu. Kalau ada level yang lebih tinggi dari kata cinta, mungkin gue udah di level itu."

Mendengarnya membuat hati Kanaya terasa amat sangat sakit hingga tanpa sadar air mata sudah membasahi pipinya.

Naren melepaskan pelukan itu. "Kita sekarang cuma bisa temenan, gue harap lo gak punya sedikitpun niatan buat jadi penghalang dihubungan gue dan gue juga yakin, lo bakal dapetin laki-laki yang tulus sayang sama lo."

Flashback off.

"Setelah itu, gue tinggalin Kanaya. Gue sama sekali gak ada perasaan sama Kanaya. Dulu gue emang punya perasaan sama dia, tapi itu dulu Rania, sekarang yang di hati gue ini cuma lo. Lo wanita ketiga yang gue cinta setelah ibu dan bunda, bahkan Alina, temen masa kecil gue gak pernah nempatin posisi itu," jelas Naren.

"Gimana caranya gue bisa percaya? Gue mau tapi gue takut."

"Lo harus percaya karena gue bukan Sagara-"

"Stop sebut nama dia di hadapan gue!"

Naren terhenyak, ia tidak ingin dibenci juga oleh Rania. "Ran, gue udah ceritain apa yang sebenarnya terjadi. Gue minta maaf atas semua kesalah pahaman ini."

"Gue juga sadar, Ran. Gue sadar kalau gue cuma irang baru di hidup lo. Gue gak seharusnya gampang kebawa emosi pas liat foto lo sama Rio juga Dion. Di foto itu lo cuma duduk sebelahan sama Rio, sedangkan Dion dia adalah orang lama yang selalu ada di sisi lo kapanpun disaat lo butuh," lanjutnya dalam hati.

🥀

"Lo udah denger alasan gue atas foto yang lo sebar itu, sekarang giliran lo jelasin atas semua pengakuan lo itu."

Sekarang Rio, Kanaya, Dion juga Sagara tengah berada disebuah cafe. Sagara, dia adalah orang yang membuat Kanaya, Rio dan Dion berada di tempat yang sama.

"Manusia yang mana, yang nggak emosi liat orang yang dicintainya disakitin? Gue emosi saat itu, gue marah juga kecewa sama Naren. Ditambah foto gue sama Rania malem itu kesebar, yaudah gue spontan ngakuin apa yang sebenernya gak terjadi," jawab Rio.

"Lo sadar kan, Ri? Kalau pengakuan lo itu malah memperburuk keadaan?" tanya Sagara.

Dion menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan juga perbuatan mereka. "Kalian kalau udah cinta ternyata gila ya."

Ketiganya seketika menatap Dion.

"Lo cukup diem aja, Dion Devanka," ucap Sagara penuh penekanan. "Gue juga tahu kakau lo juga suka sama Rania, bedanya lo gak mau berusaha. Padahal jeda telah gue sama Rania putus itu lama," lanjutnya.

"Tunggu, lo sama Rania mantanan? Terus kok bisa putus?" tanya Kanaya.

"Mereka putus karena kebegoan Sagara." Bukan Rio yang menjawab melainkan Dion. "Saat itu gue bukan gak mau manfaatin kedaan, tapi gue gak mau rencana lo gagal walaupun ujungnya tetep gagal."

"Jadi lo tahu rencana gue?"

"Rencana apa yang kalian maksud?" Rio benar-benar kebingungan saat ini.

"Gue pura-pura manfaatin Rania cuma buat bikin Aksa mau nunjukin dirinya di hadapam adiknya sendiri."














sebentar lagi kita sampe di titik terang.

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang