33. Maaf Untuk Masa Lalu

15 2 0
                                    

"Kamu yang siapa? Saya Mamanya Rania," ucap Sera, wanita yang datang bersama dengan anaknya, Aksa.

Viona terkejut mendengarnya, begitu pula dengan Naren. Sedangkan Rania yang diakui sebagai anak malah terkekeh pelan.

"Mama? Maaf, anda siapa ya? Saya hanya mengenal laki-laki di belakang anda," ucap Rania.

Ucapan Rania benar-benar mengejutkan dan di luar dugaan aksa. "Ran-"

"Buat apa bawa dia ke hadapan aku? Buat apa Kak?!"

"Rania, Mama mau minta-"

"Uang?" Ucapan Sera sengaja Viona potong.

"Jaga ucapanmu! Anda tidak berhak ikut campur urusan saya dengan anak saya karena anda bukan siapa-siapa." Sera sungguh sangat merasa direndahkan oleh ucapan Viona.

Rania tersenyum seraya menatap Viona. "Ma, biar Rania aja ya? Rania gak mau Mama keluarin energi Mama cuma buat orang yang gak bisa memanusiakan manusia."

"Mama?" Sera terkejut dengan hal itu. Tujuh tahun memang bukan wakru yang singkat.

"Dia memang Mama saya, jadi tolong anda stop bilang jika saya ini anak anda," ucap Rania penuh penekanan.

"Nia ... Mama ke sini cuma mau minta maaf. Mama tahu Mama salah-"

"Pergi."

"Rania, Mama mohon..."

"Udah, Ma. Kita pergi aja." Sera sangat tidak setuju dengan ucapan anaknya, ia menghempaskan tangan anaknya yang hendak membawanya pergi.

"Kenapa baru sekarang?" Tatapan Rania benar-benar kosong. "Kenapa kalian baru meminta maaf sekarang?! Apa kalian pikir sakit fisik, batin dan mental bisa sembuh hanya dengan kata maaf?"

Sera menunduk, ia menahan air matanya agar tidak keluar, namun usahanya berakhir sia-sia. Jika diingat kembali, ia memang sekejam itu. Ia sungguh menyesalinya.

"Pukulan, bentakan, bahkan cacian dan makian adalah makanan sehari-hari seorang anak berumur delapan tahun, apa itu bisa di sebut normal? Hampir tiap pagi anak itu merasakan sebuah bantal yang mengganggu pernafasannya, dan puluhan kali anak itu tidur dalam keadaan takut dan kedinginan. Di mana hati nurani orang yang membuatnya seperti itu?!"

"Rania, tolong maafin Mama... Tolong Rania, demi Kakak." Aksa menatap Rania sendu.

Rania tak tahu harus bagaimana lagi. Ia benar-benar tertekan. "Kakak masih belum aku maafin, tapi udah memohon untuk orang lain? Sekali lagi aku tanya, apa aku bakalan sembuh setelah maafin kalian? Aku cuma manusia biasa, aku gak bisa maafin kalian semudah itu."

"Rania!" pekik Viona, Naren juga Aksa.

Badan Rania sangat lemas, ia hampir terjatuh jika saja tidak ada Naren yang menahannya.

"Naren bawa Rania ke rumah sakit ya, Tan. Tante nyusul sama om Gio," ucap Naren seraya menggendong Rania dan pergi dari sana.

"Iya, kamu hati-hati. Jagain Rania-"

"Jangan bawa anak saya!"

"Dia bukan anak anda! Gara-gara anda, Rania jadi kaya gini! Di mana-mana tidak ada seorang ibu yang tega menyakiti anaknya!" Viona pergi setelah mengatakan hal itu, ia juga menarik tangan Gio yang baru saja kembali dari toilet.

Aksa memandang kepergian Viona, kemudian matanya beralih pada sang ibu. "Udah aku bilang berualang kali, Ma. Luka yang Mama kasih ke Rania bukan cuma fisik, kasihan Rania, Ma. Mungkin kalau aku ada di posisi Rania, aku bakal ucapin lebih dari itu."

"Mama, beneran nyesel. Mama mau Rania maafin Mama."

"Aku tahu, tapi Mama gak bisa maksa Rania."

🥀

"Kita jangan ke rumah sakit ya, aku gak mau ke sana, aku maunya pulang ke rumah," ujar Rania.

"Tapi Ran, aku takut terjadi apa-apa sama kamu."

Naren menjadi semakin panik saat Rania menangis, ia tidak bisa melihat ini. Naren segera menepikan mobil yang ia kendarai.

"Kenapa? Ada yang sakit?" Naren menangkup wajah Rania.

Rania memeluk Naren, ia sangat merindukan pelukan itu. "Maaf," lirihnya. "Maaf karena udah salah paham."

Naren mengusap rambut Rania. "Mau kaya gimanapun aku yang mulai kesalahannya di sini, jadi aku maafin kamu. Kamu juga maafin aku kan?"

Rania mengangguk, lalu melepaskan pelukannya. "Kita pulang ya, aku gak mau ke rumah sakit. Aku cuma lemes doang kok."

Akhirnya Naren mengiyakan keinginan Rania, ia sempat mengirim pesan pada Viona agar beralih ke rumah saja.

Sesampainya di rumah, Naren dibantu Bi Mina membopong Rania memasuki rumah.

"Bibi ambil minum dulu ya, Non," ucap Bi Mina sebelum kembali pergi.

"Gimana Ran? Kamu udah gak lemes kan? Kalau masih lemes kita ke rumah sakit aja ya?"

"Nggak kok, beneran. Aku gak papa. Soal tadi ..."

"Kamu beneran belum maafin mereka?"

Rania menggeleng. "Aku udah lama maafin mereka, cuma ya ... Aku pengen liat aja seberapa besar rasa penyesalan mereka ke aku, Ren. Meskipun rasa sakit itu masih melekat di aku. Tapi sekarang aku mau fokus ke orang-orang yang sayang sama aku aja, aku bakal berusaha lupain kenangan buruk masa lalu itu."

Naren meraih tangan Rania lalu menggenggamnya. "Apa aku bisa nemenin kamu buat lupain kenangan buruk itu?"

"Aku gak tahu, Ren. Soalnya kondisi aku-"

"Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku temenin kamu berjuang ya? Kasih aku satu kesempatan lagi."

"Asalkan komunikasi kita harus terjaga."

"Kamu?" Naren berhambur memeluk Rania. Ia sangat senang, akhirnya bisa kembali menyandang status sebagai pacar dari Rania Ananta. "Makasih, Ran udah mau nerima gue lagi."

"Ekhem."

Naren dan Rania segera melepaskan pelukan itu saat Gio datang bersama Viona.

"Maaf, Om."

"Untuk kali ini aja. Om harap kamu bisa jaga anak Om dan kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi."

Naren mengangguk. "Baik Om, Naren bakal terus jagain Rania. Om sama Tante tenang aja."

Viona menyenggol sedikit lengan Gio. "Kayanya kita harus segera hubungi Naira deh, kalau kita jadi besanan."

"Mama!"

Tawa kini menghiasi ruangan itu. Bahkan Bi Mina yang membawa segelas air itu ikut tersenyum dan tertawa bahagia mendengarnya, seumur-umur ia bekerja di sana, baru kali ini Bi Mina mendengar tawa hangat ini.

Begitupun dengan Rania, ia ingin terus berada di situasi seperti ini. Setelah badai menerjangnya ternyata Rania bisa merasakan hal ini. Rania benar-benar berharap ia bisa merasakan kehangatan ini setiap hari dan Rania harap ia bisa merasakannya lebih lama.











End.

Setelah Badai RedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang