Sejak pagi Rania terus merasa tidak nyaman. Hal itu disebabkan oleh seorang murid baru yang terus menempel dan berceloteh padanya.
"Terus ya, Ran--"
Rania hanya menanggapinya dengan senyum awkward. Dirinya merasa bingung harus menanggapi seperti apa.
"Lo suka, gak?"
"Hah?"
"Lo dengerin gue gak sih?" tanya murid bername tag Kanaya itu.
"Dengerin kok," jawab Rania.
"Lo bikin cewek gue gak nyaman." Ucapan ketus itu berasal dari mulut Naren yang entah sejak kapan memperhatikan interaksi keduanya.
Naren datang bersama kedua temannya, siapa lagi kalau bukan Atha dan Rio.
"Mohon dimaklum ya, Ran. Sepupu gue mulutnya emang kaya kaleng bekas--aws!"
Kanaya tersenyum puas ketika melihat Atha meringis kesakitan karena ulah Rio.
"Berani banget lo ngatain cewek gue," ucap Rio.
"Kalian pacaran?" tanya Rania pada akhirnya.
"Baru resmi tadi pagi itu, tapi sombongnya udah minta ampun," ucap Atha dengan pandangan sinis.
"Iri aja lo, dasar jomblo."
Atha hanya bisa mengusap dadanya sabar. Ucapan Kanaya sedikit menyentil hatinya.
"Semerdeka lo aja deh, Nay," ucap Rio.
Kanaya tersenyum puas setelah mendengar sederet kata itu dari sepupunya. Sedangkan Naren hanya fokus menatap Rania yang tengah menyimak pertengkaran kecil di depannya dengan seulas senyuman.
Perlahan tangan Naren terangkat, mengelus lembut surai hitam milik Rania. Hatinya menghangat ketika tatapan keduanya saling bertemu.
1 detik, 2 detik, pandangan keduanya semakin dalam hingga,
"Buset, dunia serasa milik berdua." Ucapan Atha membuat Naren maupun Rania memalingkan wajahnya.
"Woy! Jomblo akut. Lo ngerusak suasana tau gak?!"
Dan lagi. Pertengkaran antar sepupu ini kembali terjadi.
🥀
I need you
I need you, yeah, yeah
I need youSuara musik mengalun di tengah keheningan yang melanda. Sejak memasuki mobil, Naren maupun Rania sama-sama terdiam.
Sudah setengah perjalan Rania baru merasakan bahwa dirinya merasa kurang nyaman.
"Ren." Akhirnya mau tidak mau Rania memulai percakapan.
Naren hanya menanggapinya dengan deheman. Hal itu membuat mood Rania turun.
"Kenapa dari tadi diem? Ada masalah?"
Kali ini yang Rania dapatkan adalah gelengan.
"Kalau gitu nanti malem temenin aku ke gramed yuk?"
"Aku ada urusan."
Rania mengangguk mengerti. Itu berarti rencananya harus diundur, jika saja ia masih bersama Sa-- Rania menggeleng, bagaimana bisa ia kembali memikirkan orang yang telah membuatnya sakit.
Untuk mengalihkan pikirannya, Rania menatap ke arah luar. Pandangannya terkunci saat melihat seorang anak kecil menangis tapi orang dewasa di sebelahnya seakan sedang memarahi anak itu. Seketika Rania langsung memegang kepalanya, kilatan masa lalu kembali terlintas dalam pikirannya.
"Ran, kamu kenapa?" Naren menyadari apa yang terjadi pada kekasihnya itu. Dengan terburu-buru Naren segera menepikan mobilnya dan langsung melihat kondisi Rania.
"Ran? Sayang kamu kenapa?"
Tidak ada respon dari Rania, hal itu membuat Naren benar-benar panik. Ia segera kembali melajukan mobil yang dikendarainya.
"Sabar ya, Ran. Kita pulang sekarang."
Rania terus memegangi kepalanya sambil menggeleng kuat. Sejak tadi mulutnya tidak bisa berhenti untuk tidak berkata "tolong dan jangan".
Sesampainya di kediaman Ananta, Naren dengan cepat menggendong Rania masuk ke dalam rumah tanpa aba-aba.
Di kediaman Ananta sore itu tidak sepi seperti biasanya. Ada tamu yang kini menatap Naren dan Rania dengan pandangan kaget. Naren hanya meliriknya, mengucapkan kata maaf dan langsung berlari menaiki tangga menuju kamar Rania.
"Gio, bi Mina!" Tamu itu berteriak.
Dari arah dapur Bi Mina datang dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Bu?"
"Rania--" Ucapan tamu itu seakan tercekat. "Bibi ikut saya." Tanpa aba-aba tamu itu nenarik tangan Bi Mina menuju lantai dua.
Keduanya berhenti di depan pintu kamar Rania yang terbuka. Mereka bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi saat ini.
"Sayang..." Lirihan itu berasa dari bibir Naren.
Naren menatap wajah damai Rania yang sudah tak sadarkan diri, setelahnya ia segera berbalik, berniat memanggil Mina untuk meminta bantuan. Bertapa terkejutnya Naren melihat siapa yang kini berada di depan pintu kamar pacarnya itu.
"Non Nia kenapa Den?" tanya Bi Mina seraya menghampiri Rania.
"Saya juga gak tahu, Bi. Tiba-tiba Rania megangin kepalanya sambil nangis. Tapi saya yakin, trauma Rania kambuh. Maafin saya--"
"Bukan salah Aden. Di laci ada minyak angin Den, tol-" Belum selesai Bi Mina berbicara tapi Naren dengan cepat menarik laci di sampingnya dan langsung menyerahkan minyak kayu putih yang langsung ia dapatkan dari sana.
Si tamu yang merasa dirinya tidak dibutuhkan di sana memilih untuk kembali ke ruang tamu.
"Dari mana?" tanya Gio. "Room tour?"
"Harusnya aku yang nanya. Aku tadi teriak manggil kamu, anak kamu datang dalam keadaan gak sadar."
Gio membelakan matanya. Dirinya berdiri, berniat menghampiri putri kecilnya. Namun langkahnya terhenti ketika ada tangan yang menahannya.
"Ada Naren di atas. Sekarang mending anterin aku pulang."
"Vio kamu harus--"
Wanita bernama Viona itu menggeleng. "Bukan waktu yang tepat. Kapan-kapan aku bisa kan ke sini lagi?"
"Bisa dong, kamu calon penghuni rumah ini juga."
Vio terkekeh kecil, tangannya beralin menggandeng tangan Gio dan membawanya berjalan ke luar.
"Kira-kira, Rania bisa nerima aku gak ya?"
Gio tersenyum. "Aku yakin pasti bisa."
"Setelah semua yang terjadi?"
Gio terdiam sebentar. "Harapan aku kamu jangan nyerah buat bikin Rania bisa nerima kamu. Kamu baik, aku yakin gak akan lama bikin Rania jatuh hati sama kamu."
Hello!
I'm comeback. Masa hiatusnya emang belum selesai, mungkin diperpanjang nanti. Tapi kalau ada waktu luang tetep update kok.Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...