Rania duduk di tepi kasurnya. Ia baru saja pulang dan ia benar-benar tidak pergi ke sekolah hari ini.
Jam masih menunjukan pukul sebelas siang, Rania memutuskan untuk mengganti seragamnya. Ia akan tidur siang untuk melupakan memori masa lalu yang kembali menghantuinya.
"Maafin Kakak, Ran. Maafin mamah juga keluarga Kakak. Kami banyak salah sama kamu..."
Aksa, laki-laki itu tengah berlutut di hadapan adik tirinya sambil menangis.
"Kakak ngerasa gak pantas buat sekadar muncul di kehidupan kamu. Kakak memang pengecut, bukan pula Kakak yang baik."
Rania tidak bergeming, ia terus mendengarkan ucapan Aksa tanpa ada niatan membalas.
"Kakak yakin kamu lebih bahagia tanpa adanya Kakak. Kamu gak perlu lagi khawatir besok pagi masih bisa bernafas atau nggak-"
Rania sudah tidak mau lagi mendengarnya, ia memilih pergi dari sana di susul Sagara.
"Hah!"
Baru memejamkan mata sebentar Rania sudah mengingat hal yang ia alami pagi tadi. Rania memeluk Chiki, boleka pinguin pemberian Naren. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana, ingin menangis tapi air matanya tidak mau turun.
Ting!
Pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Rania meraih ponselnya lalu melihat siapa yang mengiriminya pesan.
"Nomor tidak dikenal," gumam Rania.
Tanpa ragu lagi Rania melihat pesan itu.
|Ran, ini gue, Kanaya.
|Gimana keadaan lo? Gue harap lo baik-baik aja. Gue mau minta maaf buat kesalahpahaman antara gue, lo sama Naren. Sumpah Ran, gue sama dia gak ada apa-apa. Jujur gue sempet ada niatan bikin Naren suka lagi sama gue, tapi setelah denger ucapan Naren bikin gue sadar kalau udah gak ada celah buat itu.
|Yang di foto itu pelukan terakhir sebelum gue lupain perasaan gue ke Naren dan sebelum gue pindah sekolah lagi.
|Gue harap lo sama Naren cepet balikan. Gue gak mau ada hubungan yang rusak karena gue.
|Maaf dan makasih buat semuanya.
|See you, Ran.Rania menghela nafasnya, ia terlalu curiga pada orang lain. Ia selalu takut untuk percaya, bahkan pengakuan Naren kemarin sempat ia curigai. Rania sekarang sadar, jika semua masalah yang menimpanya sekarang adalah timbal balik dari sikapnya sendiri.
Tok tok tok.
"Rania, Tante masuk ya?"
Rania melirik kearah pintu. Mungkin ini memang sudah saatnya ia mencoba percaya pada orang lain. "Masuk aja, Tan."
Viona masuk dengan senyuman hangat, ia juga membawa makan siang untuk Rania. Laporan dari sekolah jika Rania tak masuk, membuat Viona menjadi khawatir terlebih anak dari kekasihnya itu berangkat seorang diri.
"Kamu gak papa, kan?" tanya Viona seraya duduk di tepi kasur.
Rania tersenyum lalu mengangguk. "Rania gak papa, kok."
Viona sadar akan satu hal, tatapan itu membuatnya berinisiatif merentangkan kedua tangannya.
Sesuai dengan dugaannya, Rania langsung berhambur pada pelukan itu.
"Kalau mau cerita, cerita aja. Tante siap dengerin," ujar Viona.
Rania semakin mengeratkan pelukannya. "Rania takut, Tan. Rania takut Tante pergi dari kehidupan papa setelah denger cerita Rania."
Viona sempat bingung dengan ucapan Rania, tapi ia yakin apapun itu tidak akan membuatnya pergi dari keluarga ini. "Tante janji, apapun ceritanya akan terus di sini. Tante gak akan tinggalin papa kamu, sayang."
Rania melepaskan pelukannya lalu mengacungkan jari kelingkingnya. "Janji?"
Tanpa ragu Viona mengakitkan jari kelingkingnya di jari kelingking milik Rania.
"Dulu, Rania pernah punya ibu tiri." Belum apa-apa tapi air mata Rania sudah mulai menumpuk di pelupuk matanya. "Ibu kandung Rania ninggalin Rania saat masih umur tiga tahun. Selang dua tahun, papah nikah lagi. Selain punya ibu baru, Rania punya saudara baru juga, dia berpaut empat tahun dari Rania. Ibu tiri Rania awalnya baik banget, Tan. Satu tahun pertama Rania diperlukan selayaknya anak kandung. Tapi di tahun-tahun berikutnya ..."
Rania terdiam, ia mengumpulkan energi dan keberanian untuk mengingat semuanya.
Viona mengusap air mata Rania yang telah jatuh. "Pelan-pelan aja, Tante yakin kamu bisa. Kalaupun kamu belum siap nanti aja gak papa kok."
"Rania siap kik, Tan." Tania menghela nafasnya. "Di tahun-tahun berikutnya ibu tiri Rania suka nyari-nyari kesalahan Rania terus diaduin ke papah. Gak jarang papah marahin Rania bahkan gak segan buat mukul Rania."
Viona mengepalkan tangannya, ternyata ini alasan mengapa Rania takut dirinya pergi.
Rania menggenggam tangan Viona yqng mengepal hingga tatapan keduanya bertemu, Rania menggeleng lalu berkata, "Itu masa lalu, Tan. Rania yakin papah gak kaya gitu kok sekarang. Rania lanjutin ceritanya ya?"
Kepalan Viona mengendur, ia mengangguk sebagai jawaban.
"Waktu itu Rania udah mau sembilan tahun, papah sibuk kerja bahkan terkadang sampe gak pulang ke rumah. Karena gak ada papah, dia makin semena-mena sama Rania. Rania gak boleh main, gak boleh tidur siang, gak boleh keluar rumah, pokoknya Rania harus beres-beres rumah. Sedangkan dia cuma temenin anaknya. Rania sering tidur di luar kalau papah gak pulang. Ah Rania inget, dulu pernah pecahin piring dan berakhir dapetin banyak pukulan dan harus tidur di luar, padahal saat itu lagi hujan-"
Viona tak sanggup, ia langsung memeluk Rania. "Lanjutin aja."
"Walaupun Tante gak sanggup dengernya," lanjut Viona dal hati.
"Tapi Rania punya penyelamat kok tan, ada kakak tiri Rania yang selalu belain Rania walau kadang gak ngaruh apa-apa, dan Rania punya Bunda Naira, dia sekarang jadi ibu sambung Naren. Bunda yang selalu obatin tiap luka Rania, dia juga selalu buka pintu rumahnya lebar-lebar buat Rania. Bunda selaku datang tepat waktu saat ibu tiri Rania mau nyoba bunuh Rania. Di sekap pake bantal pas tidur jadi hal paling sering Rania alami. Dan yang terakhir adalah yang terparah." Rania mengarahkan tangan Viona pada pinggangnya sebelah kiri. "Di sini pernah ada pisau yang menusuk Rania-"
Viona semakin mengeratkan pelukannya. Sekarang ia benar-benar menyerah mendengarnya.
"Tante gak tahu apa aja yang kamu alamin selama ini. Kamu hebat Rania, kamu hebat udah bertahan sampai saat ini." Viona menangis dalam pelukan itu.
Upnya hampir tengah malem karena author ketiduran T_T
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...