Rania mengusap air mata Viona. "Dia udah dapetin hukuman kok, Tan. Tapi dia gak ngebolehin Rania buat ketemu sama kakak tiri Rania."
"Berapa tahun hukuman yang dia dapetin?"
Rania menggeleng. "Rania gak tahu, yang Rania tahu dia bebas beberapa bulan setelah kejadian itu."
"Gimana reaksi papah kamu?"
"Papah sempet minta maaf sama Rania, tapi setelah itu papah tetep aja sibuk sama kerjaannya. Dan tante tahu? Rania sama kakak tiri Rania gak pernah ketemu lagi, Rania pikir dia selalu kehalang sama ibunya tapi ternyata Rania salah."
"Salah? Gimana bisa kamu tahu hal itu?"
Rania menunduk seraya memainkan jarinya. "Pagi tadi, Rania ketemu sama dia, Tan. Sagara udah jelasin semuanya, dia juga yang bikin kita ketemu."
"Sagara? Bukannya dia-"
"Tante tahu dari papah ya? Sagara emang salah, Tan. Tapi ternyata dia punya alasan besar dibalik semua itu."
Viona kembali memeluk Rania dan sang empu membalasnya hangat.
"Nanti malem Rania pengen makan bareng papah, Naren sama Mama," ucap Rania.
Setelah melepas pelukan itu Viona beryanya, "Mama?"
Dengan semangat Rania mengangguk. "Iya, Mama. Mama Viona. Tante mau kan jadi Mama buat Rania?"
"Ini yang Tante tunggu, sayang."
"Mama, bukan tante."
Keduanya tersenyum, mereka sama-sama bahagia. Viona bahagia karena telah diterima menjadi bagian dari keluarga ini oleh Rania. Sedangkan Rania sendiri, dia bahagia karena bisa mengingat, menceritakan bahkan menerima orang baru setelah apa yang ia lalui.
Rania yakin, bahwa di dunia ini tidak semua ibu tiri itu jahat.
🥀
Naren tersenyum senang saat mendapatkan pesan dari Viona. Calon ibu dari pacarnya- ah tidak, mantannya itu mengundangnya makan malam bersama keluarga Ananta.
Naira menatap ngeri anaknya yang sejak tadi tersenyum sendiri. "Ngeri ah, senyum-senyum sendiri."
"Ih Bunda... Naren lagi seneng tahu!" gerutu Naren.
"Seneng karena apa sih? Sampe gak luntur gitu senyumnya."
"Naren diajak makan malem sama tante Viona!" pekik Naren.
"Sama Rania juga dong?" Naren mengangguk. "Wah, kesempatan tuh. Balikan yah, Bunda gak rela kalian putus kaya gini."
Naren mengacungkan ibu jarinya. "Siap, Bun. Tenang aja, Naren gak akan sia-siain kesempatan ini kok. Sekarang Bunda bantu Naren pilih baju ya?"
Dengam senyuman Naira menggeleng. "Sendiri aja ya, Bunda mau masak," ucap Naira.
"Bun ... Ini kan buat menantu masa depan Bunda juga."
Naira terkekeh mendengar hal itu, benar juga apa yang Naren katakan. "Yaudah ayo!"
Sama halnya dengan Naren, Rania juga sangat bersemangat untuk makan bersama malam ini. Tapi ada sesuatu yang membuatnya sedih, ia teringat akan kondisinya.
Sekarang Rania tengah berada di kamar mandi, Rania menatap pantulan dirinya di cermin. Entah sudah berapa lembar tisu ia gunakan untuk menyumbat darah yang terus keluar dari hidungnya.
"Kayanya kondisi gue udah makin parah," gumam Rania. Ia mencuci tangannya setelah darah dari hidungnya berhenti keluar.
Rania kembali duduk di depan meja riasnya. Dari pantulan cerimin Rania bisa melihat rambutnya yang panjang nan hitam, tak terbayang oleh Rania jika ia harus kehilangan itu karena kemoterapi.
Perlahan air mata menetes dari pelupuk matanya, namun dengan cepat Rania menghapusnya. Ia harus segera bersiap, tidak ada banyak waktu untuk memikirkan hal negatif yang kemungkinan terjadi di masa depan.
Kini Rania sudah siap. Dres putih dengan rambut yang sengaja digerai tak lupa tambahan sedikit make up yang menjadi perpaduan sempurna.
Rania segera keluar dari kamarnya setelah mengambil ponselnya. Di ruang tamu sudah ada Viona dan Gio yang menunggunya.
"Mama!" pekik Rania.
Viona tersenyum melihat orang yang ditunggunya telah datang. "Sayang, kamu cantik banget."
Rania tersenyum malu. "Mama juga cantik. Ayo Ma, kita ke mobil. Kita berdua di belakang, biar Papah sendirian di depan."
"Iya, sayang. Ayo."
Gio mengerutkan alisnya bingung. "Mama?"
"Rania udah nerima aku, Mas. Gak salah dong kalau dia manggil aku Mama?" tanya Viona.
"Udah, Ma. Ayo kita buruan ke mobil sebelum Papah ambil alih Mama dari aku." Rania segera menarik Viona pergi dari sana.
Senyuman terbit dari bibir Gio, ia lega anaknya bisa menerima Viona. "Terima kasih, Rania."
🥀
Mereka bertempat, Rania, Naren, Viona juga Gio sudah berada di sebuah restoran. Jika dilihat, mereka benar-benar seperti keluarga yang utuh.
Tidak ada kecanggungan di meja itu, bahkan Naren dan Rania sama sekali tidak merasakan hal itu, padahal hubungan keduanya masih belum begitu baik.
"Jaga anak-anak bentar ya, aku mau ke toilet sebentar," ucap Gio sedikit berbisik pada Viona.
"Iya, Mas."
"Papah ke toilet bentar ya, kalian baik-baik sama Mama di sini," ucap Gio sebelum pergi.
"Gimana makanannya? Suka gak?" tanya Viona.
Baik Rania ataupun Naren, keduanya sama-sama mengangguk.
"Suka banget, Ma. Nanti kita ke sini lagi ya?" pinta Rania.
"Iya, nanti-"
"Rania."
Ketiganya menoleh pada orang yang sama. Viona dan Naren tidak tahu siapa orang itu, tapi Rania, dia tahu siapa dua orang yang menghampiri meja mereka. Satu diantaranya duduk di kursi roda.
"Siapa, Ran?" tanya Naren.
Rania tak menjawab, ia malah memalingkan wajahnya.
"Maaf, ibu sama Mas, siapa ya?" tanya Viona baik-baik.
"Kamu yang siapa? Saya Mamanya Rania," ucap Sera, wanita yang datang bersama dengan anaknya, Aksa.
Gimana sama bab ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...