Hari ini Rania sudah kembali ke sekolah, tentunya dengan jemputan yang tak mendadak, namun Rania cukup terkejut dengan hal itu.
Naren tanpa rasa ragu benar-benar menjemput Rania. Entah apa yang dirasakan cowok berperawakan tinggi itu, sama sekali tidak ada rasa takut yang menyelimuti dirinya.
Mendengar anaknya dijemput oleh seorang laki-laki, Gio selaku sang ayah menyambut dingin kedatangan Naren. Tatapan penuh mengintimidasi dilayangkan Gio. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena Rania segera menarik Naren agar cepat berangkat.
Sekarang Rania bisa menghembuskan nafasnya lega, jujur dirinya merasa tida enak saat sang ayah menatap Naren seperti itu. Bagaimana pun Naren seorang tamu bukan?
"Berhenti."
Naren memelankan laju motornya kala mendengar interupsi dari orang yang diboncengnya.
"Kenapa?"
"Gue turun di sini aja," jawab Rania.
"Gak, enak aja." Naren kembali menambah kecepatan motornya. "Lo malu punya pacar kaya gue? Sampe-sampe mau turun di tengah jalan, hah?"
"N-nggak gitu." Rania gelagapan sendiri mendengar ucapan Naren. Pacarnya itu salah paham. Eh, pacar?
Akhirnya sepanjang perjalanan keduanya hanya diam. Naren yang memang tak begitu suka banyak bicara disatukan dengan Rania yang malas memulai obrolan. Enatah apa yang akan terjadi pada mereka ke depannya.
"Gak mau turun?" tanya Naren pada Rania yang masih setia duduk di belakangnya.
"Eh--iya bentar." Rania tersadar setelah lamunannya itu dirusak.
"Nglelamunin apa sih?" Naren mencubit pipi Rania karena gemas.
"Aw... Sakit tahu!"
Naren tertawa melihat ekspresi yang diberikan Rania. Tawa yang membuat Rania tidak sadar menarik sudut bibirnya ke atas. Bahkan sekarang Naren menjadi bahan perhatian akibat tawa kecilnya.
Tersadar mecuri perhatian orang-orang, Naren seketika diam, menatap satu-persatu orang yang memperhatikannya dengan mata mengintimidasi.
"Ngapain liatin gue? Pergi!" ucap Naren setengah berteriak.
"Pantes maksa gue jadi pacarnya. Gak ada yang mau itu, galak banget sih jadi orang," gumam Rania pelan hingga tidak terdengar oleh Naren.
🥀
Jam istirahat Rania sudah bersama Naren di kantin. Awalnya Rania berniat berdiam diri di kelas, namun dengan berjuta paksaan dari Naren akhirnya Rania pasrah saat ditarik menuju kantin.
"Sini, gue bisa makan sendiri."
"Nggak! Lo lagi sakit," tolak Naren.
Rania mendengus. "Gue udah sembuh! Lagi pula gue cuma sakit, bukan lumpuh."
"Sutt... Udah diem, simpen tenaga lo buat belajar aja."
Pada akhirnya Rania hanya bisa menuruti apa yang Naren katakan. Aktivitas yang keduanya lakukan tidak luput dari pandangan Dion dan kedua teman Naren, Atha dan Rio.
"Temen lo kalau lagi bucin agak serem ya," ujar Atha.
"Gue gak punya temen yang bucin kaya dia," tukas Rio.
Atha memandang Rio dengan tatapan datarnya. "Gaya lo selangit. Gak tahu diri lo jadi temen, Naren denger aja mampus lo."
"Dia gak akan tahu kalau lo gak cepu."
"Iya kah? Kalau gitu gue mau cepuin lo dulu." Atha berlagak bangkit hendak menghampiri meja Naren.
Rio jelas panik, dengan cepat memiting leher Atha. Hal itu membuat Atha meneriaki nama Naren hingga keduanya menjadi perhatian para siswa/i maupun para pedagang di sana.
"NAREN!! REN...LEPASIN ANJIR!"
"Gak."
"WOYY REN, TADI RIO BILANG-- LEPASIN WOY GUE PENGAP MANA KETEK LO BAU!!"
Naren diam-diam merasa malu melihat tingkah kedua sahabatnya. Sungguh di luar kendali Naren.
"Makannya abisin, gue mau beresin masalah bocah dulu." Naren pergi menghampiri Atha dan Rio setelah mendapat anggukan dari Rania.
"REN--"
"Udah Ri, kasian anak orang," ucap Naren.
Akhirnya Rio melepaskan tangannya. Namun tatapannya masih menunjukan ancaman.
"Gila, ketek lo bau--"
Plak.
Rio memukul lengan Atha sebelum cowok itu selesai berbicara.
Naren menutup matanya sebentar, merssa jengah dengan tingkah laku dua sahabatnya yang berbeda dari biasanya.
Ini memang bukanlah kali pertama mereka seperti ini, tapi untuk di area sekolah, ini benar-benar pertama kali.
"Udah. Ngapain lo manggil-manggil gue?" tanya Naren pada Atha.
"Tadi-- Arghhh... "
Lagi, Rio menggagalkan pengakuan Atha dengan menginjak kakinya.
"Sakit bodoh!" ucap Atha seraya melihat Rio yang menatapnya horor.
"Eh nggak, Ren. Gue manggil lo buat minta bantuan supaya lepas dari si curut."
"Songong lo ngatain gue curut."
Naren memutar bola matanya malas. Kedua temannya memang sepertinya ditakdirkan untuk tidak pernah akur, kecuali saat menjahili Naren.
🥀
Sesuai dengan kesepakatan, Rania menunggu Naren di parkiran. Terhitung sudah sepuluh menit Rania menunggu tapi cowok itu belum menampakkan batang hidungnya.
"Nungguin siapa, Ran?"
Rania menoleh karena terkejut. "Anjir kaget gue!"
Dion terkekeh kemudian menampilkan tatapan datarnya. "Gue kurangin poin lo ya, ngomong kasar mulu."
"Eh... Jangan dong, reflek doang tadi. Masa gak sengaja dikurangin sih?"
"Haha... Nggak, gue becanda. Lo belum jawab pertanyaan gue loh."
"Oh, gue lagi nungguin Naren."
Dion menganggukan kepalanya mengerti. "Mentang-mentang udah punya pacar jadi gak pulang bareng gue lagi."
Pacar? Rania sedang mencoba menerima hal itu, meski harus berperang dengan masa lalu. "Bagus dong! Lo gak akan kerepotan lagi jadinya."
Dion tersenyum getir. Kerepotan? Dia sama sekali tidak repot jika itu menyangkut Rania. "Yaudah gue pulang duluan ya? Kalau ada apa-apa telepon aja."
Rania menatap punggung Dion yang selangkah demi langkah mulai menjauh dari tempatnya saat ini. Entah apa yang dirasakan Rania saat ini, dirinya merasa jika ada yang tidak beres dengan Dion.
"Udah puas belum liatinnya?"
Rania kembali terperanjat. Sosok Naren tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
"Dion diliat-liat ganteng juga ya--"
"Lo belok?!"
Naren benar-benar dibuat kaget dengan pertanyaan Rania. "Ya nggak lah!"
"Biasa aja dong, gue cuma nanya. Udah buruan, gue mau cepet pulang!"
Naren tak habis pikir dengan Rania. Kenapa pacarnya itu marah? Harusnya dia yang marah. Resiko berpacaran dengan gadis aneh.
Hallo!
Sorry banget baru sempet update, beberapa hari kemarin sibuk nugas huhu.... Maklum SMA semester akhir ya gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Badai Reda
Teen FictionRania dipaksa menjadi pacar seorang Narendra Aryana, yang tidak begitu ia kenal. Rania tidak diberi pilihan selain menerimanya meski luka dari orang sebelumnya belum kering. Bisakah Rania menyembuhkan lukanya dengan cepat? Dapatkah Naren bertahan...