Hari Pertama

120 47 147
                                    

Vote and komen.
Jangan lupa ya, hehe.
Selamat membaca!

***

Matahari menyapa dengan sinarnya, burung pun berkicau, seakan ikut senang dengan hadirnya sang surya.

Auva tersenyum melihat betapa cerahnya hari ini. Ditambah lagi, ini adalah hari pertama dia di kelas 12. Setelah beberapa minggu libur semester, akhirnya sekolah masuk kembali. Auva senang!

"Ini bekalnya, dimakan ya!" titah ibu kemudian tersenyum, memberikan sebuah kotak makan padanya. Auva membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis.

"Iya ibuku sayang, aku berangkat ya," ucapnya lalu menyalimi tangan wanita itu.

"Hati-hati ya!"

Cewek itu hanya membalasnya dengan anggukan sambil melambaikan tangannya. Kemudian menapaki jalan kecil yang akan mengantarkannya ke jalan raya.

Auva Azkia Yulinda. Dia tinggal berdua bersama ibunya di sebuah komplek perumahan. Kata ibunya, ayahnya sudah meninggal sejak dia berada di dalam kandungan. Jadi, sejak kecil, Auva hanya melihat ayahnya lewat foto.

Dulu waktu kanak-kanak, saat semua anak ditemani oleh ayahnya mengambil raport, Auva seringkali merasa sedih karena dia tidak punya ayah di sisinya. Padahal, nilai-nilai Auva di raport sangat tinggi dan rankingnya selalu berada di tiga besar. Andai saja ayah ada, ayah akan sangat bangga pikir Auva.

Namun ibu selalu bilang kepadanya, bahwa dia harus bisa bersyukur di setiap keadaan. Karena meskipun tidak memiliki ayah, Auva masih punya ibu yang senantiasa menemani dan menjaganya. Sedangkan diluar sana, banyak sekali anak yatim piatu yang tidak memiliki ayah bahkan ibu juga.

Karena itulah, Auva tidak pernah bersedih lagi karena dia tidak punya ayah. Auva sudah sangat beruntung punya ibu disisinya.

Pertanyaan kenapa ibu tidak menikah lagi, sampai saat ini Auva pun tidak tahu jawabannya. Tapi yang selalu ada di pikirannya adalah, ibu pasti sangat mencintai ayah dan ayah pun pasti sangat mencintai ibu, karena itulah meski Auva sudah berumur 17 tahun, ibunya tidak ada keinginan untuk memiliki suami lagi.

Saat akan melewati sebuah warung, Auva tersenyum pada beberapa ibu-ibu yang sedang mengantri membeli nasi duduk. Namun entah kenapa, wajah mereka terlihat sinis sekali.

"Eh bu, itu 'kan anaknya Bu Nisa, kalian kenal nggak?" tanya ibu-ibu A.

"Kenal kok bu, rumah saya kebetulan deket sama rumah dia. Emang kenapa?" jawab ibu-ibu B, terlihat kepo.

"Coba ibu liat seragam sekolahnya, dia itu sekolah di SMA Purnama lho, Bu!"

Mendengar kalimat ibu-ibu A, ibu-ibu B melongo. "Emangnya iya? Disitu 'kan mahal bu."

"Nah justru itu, bu!" Ibu-ibu A semakin semangat. "Suami bu Nisa itu 'kan katanya sudah meninggal, Bu Nisa juga cuma kerja di toko roti, gajihnya itu nggak seberapa. Kok bisa ya anaknya sekolah di sana?"

"Aneh ya bu?" kata ibu-ibu B dengan wajah ngeselin. "Dapat uang darimana coba?"

"Sudah, sudah! Kasian bu, jangan dighibahin," tegur yang punya warung, setengah berbisik. Warungnya jadi ternodai gara-gara ibu-ibu tukang ghibah ini.

Auva yang lewat sana mau tak mau, ya terpaksa mendengar semua omongan menyebalkan ibu-ibu itu. Dia mendengus, mempercepat jalannya.

Kenapa sih, orang-orang harus sekepo itu? Memang kalau mengurus kehidupan orang lain bisa dapat duit? Apa gitu lho untungnya, Auva sungguh tidak paham.

Tak mau ambil pusing, cewek dengan seragam putih abu-abu juga kerudung putih bersih itu, memilih melupakannya saja. Lagipula, mengingat perkataan mereka membuat dia semakin sakit hati.

Saat di jalan raya, Auva menghampiri ojek yang sudah dia pesan. "SMA Purnama ya, Pak."

***

SMA Purnama, salah satu sekolah ternama yang ada di kota ini. Berbeda dengan sekolah populer lain yang sangat menarik minat pelajar, sekolah ini malah sangat dihindari walaupun dengan fasilitas lengkap dan dibilang elit. Bahkan, alasan kebanyakan siswa yang sekolah di sini biasanya adalah perintah dari orangtua mereka.

Sekolah ini sangat disiplin, menjunjung tinggi musyawarah, taat pada tata tertib dan sangat tegas terhadap murid-murid mereka. Jadi, jika kalian ingin masa SMA yang menyenangkan dan penuh canda tawa atau lainnya. Sepertinya SMA Purnama bukan sekolah yang tepat.

Jika melanggar aturan, hukuman akan langsung diberikan. Tidak ada maaf dan kesempatan. Kalau tidak bisa merubah kelakuan buruk hukuman akan terus berlanjut. Bahkan jika tidur di kelas, murid tersebut akan di langsung di suruh berjemur dua jam di lapangan. Itu semua dilakukan agar memberikan efek jera.

Para guru di SMA ini sepertinya sangat bersemangat untuk mendisiplinkan muridnya. Namun bagi seorang Riki para guru tidak akan bisa membasmi semua murid yang suka melanggar aturan. Karena nyatanya, aturan ada agar mereka bisa melakukan pelanggaran.

"Riki Syamsuddin!" teriak Bu Jojo selaku guru kesiswaan.

Tak jauh dari wanita itu, Riki terlihat menghela napas. Ini semua gara-gara mama dan papanya yang memasukkan nama kakek di dalam namanya. Katanya saat kecil, Riki sangat mirip dengan kakeknya yang bernama Syamsuddin. Jadi, karena itulah nama panjang Riki adalah Riki Afrianza Syamsuddin. Tapi entah kenapa, Riki pun bingung, guru-guru seenaknya memanggil dirinya dengan 'Riki Syamsuddin'.

"Jangan kenceng-kenceng dong, bu. Saya 'kan malu kalau dipanggil gitu."

Bu Jojo semakin geram. "Siapa kamu ngatur-ngatur saya, hah?!"

"Lho saya cucunya Syamsuddin, ya saya nggak suka lah bu kalau ibu nyebut-nyebut nama kakek saya kayak gitu," ucap Riki dengan wajah sok tersakiti, seakan Bu Jojo lah yang salah di sini.

"Diam!" Dengan napas yang tak teratur, Bu Jojo terus menajamkan pandangannya ke arah Riki. "Kenapa ke sekolah malah pakai sendal, hm? Saya itu kenal papa kamu ya Riki, kamu nggak miskin sampai nggak punya sepatu 'kan?!"

Riki menunduk dan tak menjawab.

"Jawab saya!"

Riki mendongak dengan wajah tak berdosa. "Udah boleh ngomong, bu? Tadi 'kan disuruh diam."

Bu Jojo dengan wajah merah padamnya berusaha mengatur napasnya. "Kamu ini ... benar-benar membuat saya kehabisan kesabaran!"

Cowok itu tersenyum sampai memperlihatkan lesung pipinya. "Kalau gitu ijinkan saya ke kelas ya, bu. Kalau keberadaan saya di sini membuat ibu tidak nyaman lebih baik saya per ...."

"Sudah cukup!" Bu Jojo yang sepertinya tidak tahan lagi dengan bacotan Riki menyerah. "Keliling lapangan sekarang juga! Sepuluh kali dan ya, pake sendal! Kamu senang 'kan pake sendal?!"

Riki mendengus sebal. "Ini sendal terbaru lho, Bu. Masa buat lari-lari di lapangan 'kan nggak mungkin."

"Keliling lapangan Riki! Se-ka-rang!"

Dengan ogah, Riki melepaskan tasnya di depan ruang BK dan bersiap untuk keliling lapangan yang sangat luas itu. Sebelum pergi dia berkata, "jagain tas saya ya bu." Lalu menyengir lebar.

"Astaghfirullah." Bu Jojo geleng-geleng kepala, mengusap dadanya berusaha sabar. Murid satu ini sungguh membuatnya darah tinggi. Sudah dari hari pertama sejak dia pindah ke sekolah ini saat kelas 11 dulu, Riki sangat sering membuat masalah. Tapi dihukum seberat apapun entah kenapa dia tidak berniat keluar dari sekolah ini. Bu Jojo jadi kesusahan!

***

Between StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang