Saudara Tiri

22 14 0
                                    

Up lagi, sebelum ulangan nahwu :)
Jangan lupa voment ya kawan!

Happy Reading!

°°°

Seorang pelayan dengan kemeja putih, celana hitam dan rompi hitam kini berjalan menyusuri lorong kamar. Dia mengetuk setiap pintu kamar yang dia lewati sambil mengulang-ulang kalimatnya. "Selamat pagi! Jam menunjukkan pukul enam tiga puluh, sarapan di mulai lima belas menit lagi."

Tok tok tok!

"Sekali lagi, saya beritahukan jam menunjukkan pukul enam tiga puluh. Sarapan dimulai lima belas menit lagi."

"Jangan sampai terlambat."

"SIALAN!" umpat sang pemilik kamar saat suara itu ada di depan pintu. Sebelum dia keluar, pelayan dengan umur 30 ke atas yang bekerja di rumah Keluarga Zahransyah itu langsung melanjutkan langkahnya ke kamar selanjutnya.

"Heh lo!" marah Wulan saat membuka pintu kamarnya dengan kasar. Dia menatap Pak Bobby di depan sana, Kepala Pelayan rumah ini yang sudah bekerja bertahun-tahun. Dia terus melakukan pekerjaannya yaitu mengetuk pintu kamar semua orang dan memberi tahu bahwa sarapan akan dimulai 15 menit lagi. Wulan berdecak kesal. "Ini rumah atau asrama sih! Mending juga di hotel!"

Jika ekspresi Wulan seperti itu, maka lain lagi dengan Mamanya.

"Aduh, Pak Bob!"

"Ngomongnya sekali aja kali Pak! Kamu pikir saya budeg?!"

Pak Bobby di luar kamar hanya tersenyum lalu melanjutkan langkahnya. Tak menghiraukan sama sekali teriakan kesal dari para makhluk yang suka bangun lamban itu. Setelah memastikan mereka bangun, maka itu artinya pekerjaannya sudah selesai.

Tok tok tok!

"Selamat pa--"

Pak Bobby menghentikan kalimatnya saat tiba-tiba saja pintu terbuka.

Seorang anak gadis dengan keluar dengan seragamnya yang rapi. Oh iya, kalau biasanya Nona Wulan menata rambutnya dengan bermacam gaya, gadis satu ini hanya menutupi rambut dengan kerudung yang sepertinya sudah menjadi kebiasaannya.

"Pagi, Pak." Auva menunduk sebagai tanda hormat.

"Pagi, maaf mengganggu, hanya ingin memberitahu bahwa sarapan akan dimulai 15 menit lagi."

Mendengar itu Auva hanya mengangguk sembari tersenyum ke arah Pak Bobby. "Terimakasih, Pak."

Pria yang Auva yakin bekerja di sini itu pergi dan mengetuk kamar selanjutnya. Auva tidak tahu siapa pemilik kamar-kamar yang berada di sekitarnya ini karena orang-orang di sini benar-benar aneh. Tadi malam saat Auva datang bersama Pak Randi, bahkan tidak ada acara kumpul-kumpul keluarga seperti yang dia lakukan dulu bersama Ibu. Menonton televisi bareng saat malam Minggu, saling berbagi cerita, meskipun berdua tapi rasanya rumah benar-benar sangat menyenangkan. Tapi di sini, padahal baru jam 10 namun suasananya sudah sepi. Yang ada hanyalah rekan kerja Pak Randi yang menunggu di ruang tamu dan Wulan yang mungkin membutuhkan sesuatu sampai harus pergi ke bawah.

Yah, alhasil tidak anggota keluarga yang Auva kenal kecuali Pak Randi, Wulan, dan ... cowok menyebalkan kemarin. Cowok tinggi dengan postur tubuh layaknya seorang atlet itu memang terlihat tampan, tapi sifatnya yang begitu menjengkelkan membuat Auva serasa ingin mencekiknya.

"Ish!" Auva memukul pelan kepalanya. "Ngapain gue mikirin dia?" Tanpa sadar, dirinya telah melamun di depan pintu.

"Sarapan 15 menit lagi, mungkin gue ke bawah duluan aja buat bantu-bantu." Setelah yakin dengan keputusannya, Auva lalu mengambil tasnya yang berisi buku-buku pelajaran itu. Agar setelah sarapan dan berkenalan dengan yang lain Auva tidak perlu naik ke atas untuk mengambil tas.

Oh ya, sebagai informasi pagi tadi saat selesai salat Shubuh Dina bersama beberapa orang berbaju hitam mengangkut barang-barang yang merupakan miliknya di rumah lama. Jadi, sekarang Auva sudah punya semua yang dia butuhkan untuk sekolah.

Selesai mengunci pintu kamarnya, Auva menghembuskan napas panjang sebelumnya akhirnya berbalik  memutuskan untuk turun ke bawah. Jujur saja dia takut, dia bingung dan dia benar-benar gugup. Beberapa pertanyaan muncul, apa respon orang-orang? Dan apa yang terjadi nanti? Bagaimana jika dia diusir sebab disangka anak haram? Sungguh, Auva serasa ingin memukul kepalanya dengan kencang agar setidaknya berhenti nethink sebentar.

Tanpa disangka, dalam perjalanannya menelusuri lorong kamar rumah ini yang seperti hotel saja Auva dipertemukan dengan cowok yang katanya adalah satu-satunya putra Keluarga Zahransyah. Arez.

"Pagi, cewek yang belum jelas identitasnya," sapanya yang terdengar sangat menjengkelkan di telinga Auva.

"Pagi," jawab cewek itu lalu berlalu begitu saja, Arez memutar bola matanya.

Saat sampai di lantai bawah, Auva melihat pemandangan yang berbeda di lantai bawah. Jika tadi malam sangat senyap, pagi ini banyak yang berlalu lalang. Ya, meskipun hanya para pelayan. Sekejap, Auva benar-benar merasa rumah ini seperti hotel saja.

Perlahan, cewek itu melangkahkan kakinya dengan ragu ke arah di mana meja makan panjang itu berada. Sebelah kiri saat turun tangga.

Auva lihat di atas meja sudah tertata rapi piring-piring dan cangkir dengan alat makan seperti sendok dan garpu di sampingnya.

Di beberapa tempat, seperti di mana sofa-sofa mewah itu berada yang Auva tebak adalah ruang keluarga, beberapa pelayan sibuk membersihkannya. Barusan, di dekat tangga ada juga dua pelayan yang selesai mengepel lantai. Semuanya di sini dikerjakan oleh pelayan. Sekarang pun yang Auva lihat memasak di dapur hanyalah orang-orang yang bekerja di sini. Tidak ada anggota keluarga.

"Auva?" Suara yang familiar itu membuatnya menoleh.

"Eh, pagi, Mbak Dina." Auva tersenyum saat melihat wanita itu berdiri di sampingnya.

"Kamu tepat waktu sekali ya, mirip sekali sama Tuan Randi. Bahkan kamu mendahului beliau beberapa menit." Dina terkekeh kecil. "Nah itu dia, Tuan datang."

Melihat Dina menunjuk ke arah tangga Auva pun melihat ke arah sana. Dilihatnya Pak Randi seperti biasa, pakaian, caranya berjalan serta bentuk tubuh yang tegap itu membuatnya penuh wibawa dan elegan. Kalau dilihat-lihat, dia juga awet muda. Sebelas dua belas lah sama Ari Wibowo. Tapi Auva jadi semakin insecure dengan dengan dirinya kalau begini. Dia merasa seperti jauh, bagaikan langit dan bumi saat bersama Pak Randi.

Apa benar dia itu papa Auva?

Setelah kehilangan Ibu dia memang terkejut dengan fakta bahwa Pak Randi ayahnya, tapi jika dipikir-pikir Auva merasa sangat bersyukur sekali Tuhan memberinya nikmat sebesar ini dipertemukan dan tinggal bersama dengan sosok ayah yang selama ini tak pernah sekalipun Auva jumpai. Bahkan Auva tidak pernah berpikir akan bertemu ayahnya, karena yang dia tahu dari Ibu ayah sudah meninggal. Sampai akhirnya Pak Randi datang dan mengubah segala hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.

"Pagi Tuan, Nyonya, Tuan Muda," ucap Dina kepada tiga majikannya yang baru saja datang itu, mereka balas mengangguk.

Auva terkaget-kaget, saat mendengar kata 'nyonya' diucapkan olehnya. Jadi, wanita yang berjalan di belakang Pak Randi adalah istrinya dan cowok itu? Tuan Muda?

"Pagi, Auva," ucap Randi pada Auva yang hanya dibalas dengan senyum sekilas.

"Oh, nama dia Auva?" Arez bertanya.

"Ya," balas Randi setengah menoleh lalu menatap Auva dengan sebuah senyuman. "Dia adalah saudari tiri kamu, Arez."

Mendengar itu, entah Auva maupun Arez langsung speechless. Mereka sama-sama membulatkan mata tidak percaya dengan semua ini. Kedua remaja itu menatap satu sama lain antara bingung dan kesal.

"Ternyata bener kata cewek ini, gue bakalan kaget saat tahu siapa dia sebenarnya. Menarik."

"Mati lo Auva! Lo bilang dia bakal kaget saat tahu lo siapa, tapi lo sendiri lebih kaget saat tahu siapa dia!"

***

Between StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang