Kemarahan Sinta

17 12 1
                                    

Hello Readers!
Terimakasih sudah mampir jangan lupa tinggalkan jejak ya, hihi.

HAPPY READING 💛

***

Saat awal Auva duduk di atas jok motor Arez, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak enak. Dia memang sering naik ojol dan sudah terbiasa duduk berdua dengan laki-laki, tapi rasanya saat ini agak berbeda. Apalagi Arez terlihat terpaksa sekali memberikan tumpangan padanya, padahal tadi Auva sudah membujuk Mama Fina untuk membiarkan dia pergi sekolah sendiri namun wanita itu menolak keras. Dia bersikukuh untuk meminta Auva ikut dengan anak laki-lakinya ini.

Perasaan yang sama yaitu perasaan tidak tenang, tidak enak dan khawatir saat melihat bendera kuning itu di dekat rumahnya kini kembali muncul. Saat itu Ibunya meninggal dunia. Sekarang apalah arti dari perasaan tidak nyaman ini. Seperti ada yang mengganjal di hati Auva saat tatapan orang-orang yang terarah kepadanya begitu aneh, yaitu ketika melihat dirinya dan Arez pergi bersama ke sekolah. Apalagi saat dia turun di parkiran, banyak sekali yang berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya. Sebenarnya ada apa?

"Makasih," ucap Auva pada cowok yang sama sekali tak memperdulikannya itu. Setelah melepaskan helm dan mencabut kunci motornya, dia pun pergi ke kelas tanpa menggubris ucapan terimakasih dari adik tirinya.

Auva hanya menghela napas lalu menenangkan diri sebab hari ini adalah hari yang baik. Jum'at. Entah apapun masalah yang akan Auva hadapi hari ini, Tuhan pasti akan selalu memberinya jalan keluar.

Barulah selangkah Auva berjalan dan ...

Plakk!

Dan sepertinya, masalah datang begitu cepat sampai Auva tak dibiarkan bernapas dengan tenang.

Cewek dengan kerudung itu memegangi pipinya yang berdenyut ngilu, kepalanya yang menoleh ke kanan akibat tamparan itu seakan kaku, tak mampu bergerak untuk menatap si pelaku.

"Ini pelajaran buat cewek munafik kayak lo!" bentaknya di depan semua orang yang kini terhenti karena melihat aksinya itu. Alih-alih membantu Auva mereka malah sibuk dengan ponsel mereka.

"Penampilannya aja islami, tapi dalemnya busuk!" Sinta mendorong tubuhnya sampai cewek itu terduduk di tanah. Auva mendongak dengan tatapan bingung, seakan bertanya apa salahnya.

Sinta maju satu langkah, dia menyeringai. "Lo masih bisa mempertahankan wajah polos lo itu ya? Kenapa nggak tunjukin aja sih sifat asli lo? Atau harus gue tampar lagi?!"

Auva meneteskan air mata. Menatap cewek di depannya juga orang-orang yang kini mengelilinginya dengan tatapan kecewa, terluka dan tak tahu harus apa.

"Bu .... Aku sendirian di sini."

Kalimat itulah yang selalu dia ucapkan dalam hati. Auva sungguh berharap Ibu datang, mendekap tubuhnya dengan hangat dan menguatkan dirinya dengan kata-kata semangat. Namun itu jelas tidak mungkin terjadi.

Tapi meskipun begitu, bukankah Ibu selalu bilang dia harus menjadi gadis kuat? Auva bertanya-tanya kemana hilangnya dirinya yang punya keberanian, di mana Auva yang selalu menghentikan hal salah, mengapa dirinya diam saja diperlakukan seperti ini padahal dia sendiri tidak tahu salahnya apa. Auva begitu pengecut.

"Ya Tuhan, tolong Auva."

Dengan keyakinan yang masih tersisa, Auva menghapus air matanya dan membersihkan roknya yang sedikit kotor itu. Dia tahu dia tidak berdaya tapi Ibu tidak akan suka melihatnya menjadi bahan ejekan orang seperti ini. Ibu selalu bilang untuk selalu tenang disaat orang menghinamu tapi melawan saat ditindas juga bukan pilihan yang buruk selama kita tidak melewati batas. Maka, Auva pun bangkit untuk menghadapi masalah yang ada di depannya sekarang. Sinta.

Between StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang