Perpustakaan

14 3 2
                                    

Happy Reading 🌻

***

Auva keluar dari mobil mahal milik Keluarga Zahransyah dengan perasaan lega. Dia yang sebelumnya berangkat bersama Wulan, kali ini pulang sendirian karena kata Pak Bobby gadis itu sedang ingin jalan-jalan dengan temannya. Mengingat terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan Wulan, tentu saja mengetahui fakta bahwa cewek itu tak ada di rumah saat ini adalah suatu hal yang sangat Auva syukuri. Bukan sebab dia takut, karena kalau bicara soal keberanian, sebelumnya pun dia sudah sering bertengkar dengan Wulan. Namun, masalah kali ini berbeda. Masalah ini melibatkan Riki. Dan saat Wulan mengajaknya berdebat tentang Riki, Auva tidak akan bisa melawan karena dia merasa dia memang bersalah.

Bagaimana tidak?

Auva tentu merasa bersalah karena dia membuat tunangan sepupunya itu berpaling dan memilih dirinya. Auva merasa bersalah karena menjadi orang yang katanya Riki sukai. Auva merasa bersalah karena telah tanpa sengaja mengambil apa yang seharusnya Wulan punya, yaitu Riki. Meskipun sebenarnya Auva tidak tertarik sedikitpun dengan cowok itu. Dan kesalahan terbesar Auva saat ini adalah membuat kesalahan yang sebenarnya perbuatan Riki menjadi kesalahannya. Dia memang cewek bodoh.

"Hei, tenyata anak baru sudah datang, ya?" Saat ingin ke lantai atas, seorang wanita dengan lipstik merah cerah itu berdiri dengan tangan terlipat di depan dada ketika menuruni tangga. Seperti biasa, tatapannya yang sinis itu selalu tertuju untuk Auva. Ngomong-ngomong, meskipun hanya diam di rumah wanita itu selalu berdandan sangat cantik dan selalu sukses membuat Auva salah sangka bahwa dia ingin pergi ke acara arisan. Lagipula, atasan berwarna biru malam dengan rok belang macan itu selalu mendukung opini Auva. Walaupun sudah memasuki kepala empat, dia juga tetap terlihat awet muda.

"Iya, Tante." Tak ingin membalas sikap congkaknya, Auva menarik kedua sudut bibirnya dan memberikan tatapan teduh.

"Tante?" beonya, kemudian berdecih. "Panggil saya 'Nyonya'. Paham?" ucapnya lagi, sangat angkuh.

Auva mengernyit heran, namun mengurungkan niatnya untuk memperpanjang masalah dengan Tante Dinda, Mama tercintanya Wulan. Auva sudah bermasalah dengan anaknya, jangan sampai Mamanya juga.

"Baik, Nyonya."

"Bagus! Bikinin saya teh, sana!" titahnya semakin keterlaluan. Sudah dipanggil nyonya, dia lalu menjadikan Auva sebagai pembantunya. Kalau begini, tidak adanya Wulan percuma saja, Mamanya juga tak akan membiarkan Auva beristirahat.

"Apalagi yang kamu pikirkan!" bentaknya, melihat Auva yang tak juga bergerak.

"I-iya."

"Antarkan ke meja dekat kolam renang, awas kalau lama," ucapnya sebelum benar-benar pergi.

Huft!

Melihat Tante Dinda yang sudah menghilang dari hadapannya benar-benar terasa melegakan. Wanita itu seperti debu di mata yang kelilipan, menghilangkannya tak mudah dan harus sabar.

"Nggak usah." Suara orang lain terdengar, membuat Auva langsung berbalik.

"Arez?"

"Nggak usah dikerjain kalau lo nggak mau, itu bukan kerjaan lo. Ganti baju sana!" titahnya, tak kalah kasar seperti perkataan Tante Dinda.

"Cukup beliau aja yang memerintah, lo nggak usah ikut-ikutan." Setelah meletakkan tasnya di kursi ruang tengah, Auva melenggang pergi menuju dapur tanpa menghiraukan apa yang saudara tirinya itu katakan.

Arez menghela napas. "Keras kepala."

***

Begitu selesai mengantarkan teh Tante Dinda, Eh—Nyonya maksudnya. Ya, meskipun Auva sedikit kesal dengan hal itu, dia tetap bersikap tenang-tenang saja saat wanita itu menyuruhnya kembali untuk mengambil beberapa buku untuk dibaca. Dan Auva baru tahu, ternyata rumah besar ini punya perpustakaan! Harusnya ini Tugas Pak Randi sih, dia belum pernah mengajak Auva untuk menjelajahi rumah. Pria itu sangat sibuk, kata-kata bahwa dia akan menjadi ayah yang baik hanyalah janji manis yang sama sekali tak ada niatan untuk dia melakukannya.

Saat mencari-cari ruangan perpustakaan yang katanya ada di paling ujung dekat taman, Auva lantas melihat-lihat papan nama yang ada di setiap pintu. Beberapa ada yang tidak memiliki nama, meski penasaran tetapi Auva tidak berani membukanya. Ditambah lagi, ruangan yang dia tuju sudah dia temukan.

Auva membuka pintu yang bertuliskan 'Library' itu dengan pelan, perlahan pula kakinya melangkah masuk dan sungguh terkejut dengan isi perpustakaan tersebut. Semuanya ... benar-benar berantakan.

"Ini bukan perpustakaan, ini gudang," gumamnya sembari terus berjalan, menjelajahi ruangan yang sesekali membuatnya menutup hidung itu. Auva sedikit bingung kenapa Tante Dinda memintanya mengambil buku dari tempat yang penuh debu ini. Jangankan membaca atau menyentuh, melihatnya saja Auva yakin wanita itu akan berdecak kesal dan ujung-ujungnya hanya marah-marah tidak jelas. Di mana dia bisa menemukan buku yang masih bagus coba? Di ruangan ini bahkan penuh sarang laba-laba.

Tetapi tunggu dulu ....

Apakah ini jebakan?

Saat menyadari sesuatu Auva lantas berbalik dan berlari ke arah pintu yang sudah tertutup itu. Dia memegang gagang pintu dan menariknya dengan kencang seakan ada seseorang yang sudah menguncinya dari luar. Dan saat dia tarik pintu itu, ternyata ... bisa terbuka. Tidak seperti dugaannya. Ini ternyata hanyalah tipuan dari syaitan yang terkutuk. Auva hampir saja meyakini bahwa Tante Dinda menjebaknya dan ingin menguncinya di sini sebagaimana yang terjadi di film-film dengan tema 'Ibu Tiri Yang Jahat'.

"Apa ada ya, buku-buku yang masih bagus?" Auva terus berjalan dan  mencari-cari buku masak-masak yang diminta oleh Tante Dinda. Entahlah wanita itu benar-benar ingin belajar memasak atau tidak tetapi intinya dia benar-benar sudah menyusahkan Auva. Oh Ya Tuhan, dia bahkan tidak sadar sejak kapan sifat suka menggerutu dalam hati ini muncul.

"Di mana, coba!" Auva terus mencari dengan perasaan yang sudah sangat dongkol. Wajar saja, jika saat dulu-dulu dia datang ke rumah dan langsung istirahat, kini sangat berbeda. Bahkan mau ke kamar saja harus naik tangga. Benar-benar melelahkan.

Bruk!

"Aws!"

Dan sepertinya, Tuhan menegurnya karena terlalu banyak mengeluh dengan cara membuatnya terjatuh. Auva menahan rasa sakit dan menatap prihatin kakinya yang sempat masuk ke dalam kayu yang berlobang itu. Benar saja, saat dilihat pergelangan kakinya terkoyak dan berdarah. Benar-benar perih.

Auva melihat ke sekitar untuk meyakinkan dirinya bahwa sejak masuk ke mari hanya lantai keramik saja yang dia jejaki. Lalu, bagaimana bisa dia terperosok ke dalam lantai kayu yang rapuh dan berbentuk segitiga yang lumayan besar ini? Dengan rasa ingin tahu yang besar dan sedikit ragu-ragu, cewek yang saat ini belum berganti baju alias memakai baju seragam sekolah memutuskan untuk melihat ada apa di balik kayu yang sebelumnya menyebabkan kakinya menjadi terluka. Namun tak ada hasil, hanya kegelapan. Auva tak bisa melihat apapun meskipun merasa bahwa di bawah sini, ada suatu ruangan rahasia. Entahlah, apakah ini hanya karena dia sering menonton film aksi di mana ada ruangan rahasia yang menjadi markas si penjahat atau mungkin karena itu memang benar adanya, bahwa di bawah sini ada ruangan rahasia.

"Lebih baik gue ke Tante Dinda dan bilang jujur kalau enggak ada buku di sini." Cewek itu memutuskan untuk menghentikan imajinasinya dan segera berdiri dengan keadaan kaki yang masih terasa sakit. Dengan susah payah dia berbalik ke belakang namun dirinya hampir terjatuh kembali karena cowok yang muncul tiba-tiba seperti hantu ini.

"LO!"

***

Between StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang