Dia orangnya?

13 6 0
                                    

Annyeong, all.
Janlup vote and komennya ya!

Happy Reading 🌻

***

"Malam ini Papa mau ketemu sama keluarga yang putrinya mau dijodohkan sama kamu! Ingat, jangan keluyuran!"

Kata-kata itulah yang diucapkan Mirza sebelum keluar dari kamar Riki dengan wajah galaknya beberapa saat yang lalu.

Riki berdecak kesal. Sebelumnya, Mirza hanya membahas satu kali soal perjodohan ini dan itu sudah lama. Riki pikir pria itu sudah lupa atau mungkin perjodohan yang dilakukan atas dasar bisnis itu telah dibatalkan. Tapi, ternyata? Datang-datang, dengan wajah yang tak ramah papanya itu mengancam akan mengusir Riki jika cowok itu tidak mau menurut.

Sungguh, Riki tidak mengerti jalan pikiran Mirza. Mengapa papanya itu selalu bersikap seenaknya, menyita waktunya yang berharga untuk hal-hal yang tidak penting. Paling-paling, perjodohan ini hanya bersifat sementara. Dan Riki tentu saja tidak akan membiarkan perjodohan ini bertahan lama.

Lihat saja, Riki akan mengacaukannya.

"Riki!" Terdengar suara Mama dan pintu kamarnya kembali terbuka.

"Riki?" Mama menyembulkan kepalanya dibalik pintu.

"Masuk aja, Mamaku yang cantik," puji Riki. Cowok itu saat ini sedang rebahan di kasur empuknya sebab capek habis pulang sekolah. Jari-jarinya sibuk menari di atas keyboard, membalas pesan dari Fino yang sedang curhat.

"Bisa aja anak Mami puji Mamanya," ucap mama sambil berjalan mendekati Riki. Cowok itu menunjukkan ekspresi tak terima.

"Anak Mami?" protes  Riki. "Enak aja!"

"Ya apalagi kalau bukan anak Mami?" Raut wajahnya berubah garang. Mama berkacak pinggang, dia geleng-geleng kepala melihat anak laki-lakinya itu masih memakai seragam sekolah di atas kasur.

"Belum ganti baju! Tas dilempar sembarangan!" tunjuknya pada sofa yang ada di depan tv. "Kaos kaki di bawah meja belajar! Harusnya kamu letakkan dengan benar, dong, Riki!"

"Iya, Ma ... tapi nanti," jawabnya lalu memeluk guling bergambar Ironman itu sembari memejamkan mata, tak berminat sama sekali untuk mendengarkan Ibunya.

Mama hanya bisa menghela napas. Jika saja Tuhan tidak menghidupkan rasa kasih sayang yang besar di dalam hati seorang Ibu maka dia yakin dia akan memarahi Riki habis-habisan setiap hari. Anak itu selalu saja terlambat bangun saat sekolah, malas belajar ditambah terlalu banyak bermain.

"Oh iya, Ki. Papa ke sini tadi?"

"Iya, bahas perjodohan itu lagi. Bikin kesel aja," ucapnya masih dengan mata yang tertutup.

"Eh, eh. Nggak boleh ya, kamu." Mama menatap anaknya itu dengan tajam lalu menjewer telinganya sampai anak itu terbangun.

"Aduh! Aduh! Sakit, Ma!"

"Rasain, nih, kamu! Durhaka lagi sama papamu, durhaka lagi!"

"Lepasin, Ma, aduh! Bukan aku tahu yang durhaka sama papa, tapi papa yang durhaka sama aku!"

"Dasar kamu ini!" Akhirnya setelah memohon dan merengek-rengek Riki dilepaskan olehnya.

"Shh, sakit banget." Cowok itu mengusap-ngusap telinganya dengan wajah cemberut.

"Jangan ulangi lagi! Ingat Riki, dia itu papa kamu, mau bagaimana pun kata-kata, perlakuan dan keputusan dia," ucapnya memberikan nasihat.

"Iya-iya, terserah Mama."

"Bagus, anak pintar." Mama tersenyum.

"Tapi aku nggak janji bakal terima semuanya, ya!" Riki yang ingin merebahkan tubuhnya kembali duduk di atas kasur. "Aku juga berhak nentuin keputusan buat hidup aku. Titik!"

"Iya, Mama tahu," jawab Mama lalu berdiri berniat ingin pergi. Sebelum itu dia kembali berkata. "Intinya nanti malam, pakai pakaian terbaik kamu!"

Riki memutar bola mata malas. "Emang siapa, sih, ceweknya? Secantik dan sekaya apa?"

Mama tersenyum jahil.

"Cieee kepo!"

***

Auva turun ke bawah setelah habis Isya. Pak Bobby selaku kepala pelayan menyampaikan bahwa malam ini ada acara istimewa. Dia meminta Auva untuk memakai baju yang bagus dan segera turun setelah selesai sholat beberapa saat lalu.

Sepertinya ada tamu yang akan datang malam ini. Terlihat dari para koki yang memasak bermacam-macam makanan, lalu para pelayan yang menata peralatan makan yang mewah di meja makan, Auva yakin, tamu yang akan datang sangat spesial.

Bingung harus apa, Auva mendatangi Mbak Dina yang berdiri di dekat meja makan. Sebenarnya ada Wulan, Mamanya dan Mama Fina juga Pak Randi di ruang keluarga tadi. Mereka minum teh bersama dan sepertinya sedang mengobrol penting. Meski ingin bergabung  tapi mengingat kata-kata Wulan kemarin, rasanya Auva tidak pantas untuk bersama dengan mereka.

"Mbak Dina," panggilnya.

"Eh, Nona Auva?" Dia tersenyum.

"Jangan panggil gitu, Mbak!" peringat Auva untuk kesekian kalinya.

"Iya-iya," jawabnya sembari terkekeh.

"Kira-kira ada yang bisa saya bantu nggak?" tawar Auva, merasa bosan karena tidak ada kegiatan.

"Eh, kamu mau bantu?" Mbak Dina terlihat tidak enak. "Saya sangat menghargai tapi saya takut kena marah ...."

"Iya juga sih, Mbak." Auva mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti posisi Mbak Dina. Wanita itu akan kena masalah kalau sampai nanti Pak Randi melihat Auva bekerja. Tak punya pilihan, Auva pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan saja. Setelah pamit pada Mbak Dina dia langsung pergi ke luar.

Seperti sebelum-sebelumnya, suasana malam hari di luar rumah keluarga Zahransyah sangatlah indah. Air mancur yang ada di depan rumah itu bercahaya sebab lampu-lampu yang terpasang di sisi bundarnya. Oh iya, huruf 'Z' yang besar yang merupakan inisial dari nama Zahransyah juga menyala terang di tengah air mancur.

Di sepanjang jalan dengan pasangan batu paving blok yang membelah halaman itu pun dipasangi lampu-lampu yang bersinar. Jika saja ada banyak orang yang berlalu lalang pasti halaman rumah keluarga Zahransyah sudah seperti pasar malam.

Ketika Auva sibuk memandangi kemewahan yang terpampang luas di depannya, terlihat dari kejauhan sorot lampu mobil memasuki halaman keluarga Zahransyah. Sampai tak lama kemudian, mobil tersebut berhenti tepat berhadapan dengan Auva yang berdiri di teras rumah.

Dua orang yang sepertinya adalah suami istri keluar dari sana dengan pakaian yang terlihat serasi, kemudian disusul oleh seorang cowok jangkung dengan badan layaknya atlet. Dia memakai jas biru malam, membawa sebuah bingkisan di tangannya.

Tapi, tunggu dulu. Bukankah itu Riki Afrianza Syamsuddin yang selalu sahabatnya puji-puji dan banggakan? Ya, Auva tidak mungkin salah lihat. Namun, apa yang dia lakukan di rumah ini? Apakah dia adalah tamu penting yang karenanya Pak Randi menyiapkan makan malam yang mewah?

Auva jadi penasaran.

"Selamat malam, Nak," sapa pria yang sepertinya sudah menginjak usia kepala empat itu kala melihat Auva di depan pintu.

"Selamat malam." Auva tersenyum lalu menunduk sebentar sebagai tanda hormat.

"Wah, merasa terhormat sekali rasanya, baru juga sampai sudah disambut." Kali ini wanita di sampingnya yang berbicara. Wajahnya begitu mirip dengan cowok  bernama Riki itu. Auva yakin dia adalah Ibunya Riki.

"Anda terlalu berlebihan, Bu." Auva kembali tersenyum dan saat matanya bertemu pandang dengan Riki cowok itu membulatkan matanya kaget. Persis seperti ekspresi Auva saat melihatnya keluar dari mobil.

Sedangkan di dalam hati, Riki yang sebelumnya merasa malas menjadi sedikit bersemangat saat melihat Auva.

Apa dia orangnya?

***


[Mkasih buat yang sudah mampir]
[Always be happy, okay?]
[TBC]

Between StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang