Vote and komen.
Jangan lupa ya, hehe.
Selamat membaca!***
Kurang lebih lima menit sudah cewek itu berjalan, rumahnya sudah dekat, hanya perlu beberapa langkah lagi. Saat mendongak menatap rumahnya itu dari kejauhan, Auva memicingkan matanya.
Kenapa di rumahnya ada banyak orang? Dan mengapa ... ada bendera kuning?
Auva melirik ke sekelilingnya bingung, namun tak ada orang untuk dijadikan sumber informasi. "I-itu ... Nggak mungkin."
Auva berhenti dan menggeleng keras. "Enggak, enggak. Gue ini apa-apaan sih, ibu pasti baik-baik aja di rumah," ucapnya pada diri sendiri.
Namun entah mengapa, tak bisa dibohongi, rasa takut itu ada. Semakin dekat pada rumah pun dadanya terasa sesak, napasnya tak teratur. Auva berusaha membuang jauh-jauh pikiran-pikiran yang sangat tidak masuk akal itu.
Mana mungkin 'kan ibunya yang meninggal? Itu sungguh tidak masuk akal bagi Auva namu karena bendera itu ada tepat di rumahnya, cewek itu jadi berpikiran buruk sekarang.
"Oke, gini." Auva berusaha menenangkan dirinya. "Mungkin, ada keluarga ibu yang meninggal dan akan dimakamkan di sini, makanya mayatnya di bawa ke sini dan bendera itu dipasang di rumah."
Auva berusaha tersenyum dan terus memikirkan hal-hal baik. Ibunya baik-baik saja, baru pagi tadi dia memasak nasi goreng kesukaan Auva. Sebelum berangkat sekolah ibu juga menyiapkan bekal untuknya, ibu menampilkan senyum manisnya seperti biasa saat Auva menyalimi tangannya. Dia terlihat sangat bahagia dan Auva yakin wanita itu saat ini ada di rumah menunggunya pulang.
Setelah tenang, dengan terus mengucap istighfar, cewek itu kembali melangkahkan kakinya sampai akhirnya dia sampai di depan rumah. Tatapan semua orang mengarah kepada dirinya sekarang.
"Itu anaknya datang!"
"Kasian dia."
"Keluarganya yang lain ada nggak?"
"Kayaknya sih dia meninggal karena capek banget tuh, cari uang buat anaknya sekolah."
Samar-samar Auva mendengar bisik-bisik oleh para tetangganya. Meskipun perasaan takut itu semakin kuat, dia berusaha menahannya agar tak terlihat. Dia menghela napas. Sekali lagi, Auva meyakinkan dirinya, bahwa bendera kuning ini hanya kebetulan saja. Mungkin ada sesuatu yang Auva tidak tahu. Ya, pasti begitu.
Sebelum masuk ke rumah, Auva sudah melihat ada mayat di dalam rumahnya. Namun Auva tak berani masuk, dia menghampiri Bi Diyah yang rumahnya bersebelahan dengan rumahnya. Dia duduk di teras rumah Auva.
"Bi ...." Panggilnya pelan.
Bi Diyah mendongak dan saat itu juga langsung memeluk tubuhnya erat. Membuat Auva kaget dan meneguk ludah kasar. Dia ... semakin merasa takit."Bi .... Di dalam itu mayat siapa? Dan di mana ibu, bi?"
"Yang sabar ya, Nak Auva." Di dalam pelukannya, Bi Diyah menangis sesenggukan. Bahunya bergetar, seakan-akan yang meninggal adalah orang terdekatnya.
"Apa yang meninggal itu, keluarga bibi ya?" Auva mencoba bertanya, mencari kebenaran yang bertolak belakang dengan pikirannya saat ini.
"Bukan, Nak ...." Bi Diyah menggeleng, tangisannya semakin kencang dan itu juga membuat Auva meneteskan air mata. Perasaannya juga masih sama, sesak, apalagi saat Bi Diyah belum juga menjawab pertanyaannya. "Dia adalah ...."
"Siapa, Bi!" tanya Auva dengan rasa kesal, karena Bi Diyah dari tadi tak juga mengatakannya. "Terus ibu di mana?!"
Bi Diyah melepaskan pelukannya dan memegang kedua pipi Auva lembut. Dan mengatakan sesuatu yang sedari tadi berusaha Auva hindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Stories
Teen FictionAuva berani sumpah. Walaupun di sebuah gubuk yang kecil dan makanan yang seadanya, tinggal berdua bersama ibunya lebih membahagiakan dibandingkan tinggal di rumah besar dengan anggota keluarga yang bermuka dua. Namun, benar. Apa yang kita inginkan t...