9☁️🦒

13 3 0
                                    

Oke, caw part 9!.

***
"Udah malam, kamu tidur. Apinya sudah mati".

Api di depan Jef dan Alesa mati setelah Jef mengungkapkan semuanya, semua yang ia ingin samapikan pada Alesa. Apapun bentuk penolakan Alesa, Jef tidak akan pernah bisa menerimanya. Tak apa cintanya tak terbalas, ia hanya ingin selalu ada untuknya. Tapi kalau boleh egois, ia ingin memilikinya. Tak usah terburu-buru, ada didekatnya tanpa perasaannya dibalas pun Jef sudah sangat senang.

"Aku ke tenda dulu". Alesa berdiri, hendak masuk ke tenda.

"Jangan tidur di tenda, kamu sendirian. Ayo aku antar sampai dalam rumah".

"Nggak papa, aku nggak takut. Kan kita masih camping Jef".

"Jangan. Ayo kita ke dalam". Jef menarik tangan Alesa pelan. Menuntunnya berjalan menuju dalam rumah. Alesa menurut saja.

Sampai di depan pintu rumah Alesa. Jef melepas genggamannya.

"Langsung tidur". Perintah Jef, nada bicaranya lembut sekali.

"Jef". Panggil Alesa lirih.

"Pergi Jef, kamu pergi dari hidup aku. Diluar sana banyak dunia yang menyenangkan. Kamu akan lebih senang berada di sana".

"Jangan bicara aneh-aneh. Aku nggak akan pergi. Udah sana masuk". Jef, tak suka kalau Alesa menyuruhnya untuk pergi. Hal itu takkan terjadi, Al. Batinnya.

"Kamu nanti akan bosan sendiri".

"Aku nggak suka kamu nyuruh aku pergi. Masuk, tidur. Atau mau aku antar sampai dalam?".

"Ih nggak mau". Tanpa menunggu jawaban Jef lagi, Alesa masuk ke dalam kamarnya.

Jef tersenyum melihat punggung Alesa. Ia masih mengenakan hoodie Jef.
Kamu marah-marah terus aja aku suka, apalagi kamu mencintaiku. Batinnya.

***
Jef, Bimo, Satya juga tidak jadi tidur di tenda. Dingin, dan banyak nyamuk. Sebenarnya Bimo dan Jef tak mempermasalahkannya, tapi Satya berisik minta tidur di kamarnya saja. Satya juga maunya tidur di kamar bersama Satya dan Bimo. Jadi sudahlah mereka menurut saja pada Satya.

Mereka bertiga kini sedang berbaring di kasur Satya, saling bersebelahan, Satya berada di tengah-tengah Jef dan Bimo.

"Udah sampai mana Je?". Bimo disebelah Satya bertanya. Jef langsung mengerti dengan pertanyaan Bimo itu. Sudah sampai mana?, Jef sendiri juga tak tahu. Mungkin belum sampai mana-mana, ia baru memulainya.

"Belum sampai mana-mana. Malahan dia selalu nyuruh gue pergi. Apa gue kecepeten ya?, harusnya pelan-pelan aja. Tapi gue nggak bisa nahan, kenapa bisa dia udah buat gue begini?. Padahal dia sama sekali nggak lihat gue".

"Gue juga nggak tahu, dia susah ditebak. Tapi langkah lo nggak salah, deketin terus aja. Jangan sampai nyerah, kalau emang udah bener-bener nggak bisa ya mau gimana lagi". Bimo yang sudah menjadi teman Alesa pun terkadang masih belum bisa mengerti temannya itu.

"Bang tapi sebenernya Alesa seneng pas ada orang yang mau nanggepin ucapan anehnya. Gue yakin dia seneng pas lo nanggepin kalimat anehnya, sama kaya dulu bang Bimo juga kaya gitu. Dia bahagia bisa dapet temen kaya bang Bimo waktu itu, tau sendiri kan dia nggak bisa akrab sama orang-orang. Bedanya Bimo nggak nganggep Alesa lebih dari teman, jadi Alesa fine fine aja. Tapi lo beda, lo suka sama dia. Jadi dia agak kaget aja. Kayanya dia juga takut memulai hubungan baru, dia belum selesai sama dirinya sendiri, sama masa lalunya. Dia takut kalau nantinya dia malah akan nyakitin orang yang suka sama dia, jadi dia memilih buat nggak akan memulai hubungan baru sebelum semuanya bener-bener selesai. Mungkin dia mau menyelesaikan semuanya dulu, sama Gie. Baru dia akan lega, dan akan mulai lagi pelan-pelan. Atau emang dasarnya dia mau selalu nunggu Gie. Tau lah pusing gue". Satya mengungkapkan semua kemungkinan yang mungkin terjadi. Kakaknya itu memang sulit dimengerti.

Ruang TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang