14☁️🦒

9 2 0
                                    

Tangan Jef masih tertahan di sana. Lalu ia membawa tangan Alesa ke atas pahanya. Mata keduanya masih saling bertemu. Hembusan nafas bisa saling terasa satu sama lain.

"Ayo obatin luka kamu". Ucap Alesa dengan sangat pelan.

"Sudah nggak papa".

"Merah mata kamu Jef".

"Alesa, bisa nggak waktu berhenti sekarang juga?".

"Nggak bisa. Manusia nggak punya daya untuk melakukan itu".

"Kalau begitu, kita begini terus sampai selamanya bisa nggak?".

"Nggak bisa, nggak usah ngaco".

"Alesa, i love you". Ucap Jef dengan suara pelan.

Lama diam, Alesa tak menjawab apa-apa. Bibirnya kelu untuk bicara. Sudah sering ia mendengar pengankuan cinta darinya. Tapi sekarang kenapa ia tak punya daya apa-apa untuk menampik ucapannya, menganggap ucapannya hanya sebagai lelucon belaka, seperti sebelum-sebelumnya. Dia harus bergelut dulu dengan hati dan pikirannya yang tak sejalan. Alesa, kamu sudah jatuh, tapi kamu tak mau menyadarinya. Karena ia pikir ini hanya perasaan sementara saja. Atau ia hanya sedang memaksa diri untuk menunggu seseorang lain, tanpa ada pengganggu dari siapapun.

"Nggak bisa, Jef". Pada akhirnya, jawabannya akan selalu sama. Alesa menjauh dari Jef, ia berdiri.

Jef menunduk. Masih belum ya Al?, batinnya. Jef masih diam saja.

Alesa mengulurkan tangannya, berniat membantu Jef untuk berdiri.

"Ayo, buburnya dimakan".

"Iya". Jef menerima tangan Alesa. Mereka kemudian berjalan ke tempat mereka menaruh bubur ayamnya.

Mereka masih saling diam, berjalan beriringan. Beberapa langkah sampai akhirnya mereka sama-sama duduk di atas pasir.

Alesa mengambil air mineral yang tadi Jef beli bersama bubur dan teh hangat. Alesa membuka tutup botol itu, tapi tak bisa, ia kesusahan. Beberapa kali mencoba tapi tetap tak bisa. Jef berdecak melihat Alesa sekarang. Ia mengambil alih botol yang tadinya Alesa pegang. Ia membuka tutup botol itu dengan sekali coba. Memberikannya pada Alesa.

"Kalau nggak bisa itu minta tolong. Nih". Ucap Jef dengan nada dingin. Bukan karena kesal, tidak tahu suasana hatinya menjadi tak enak setelah kejadian tadi. Alesa, padahal aku sudah merasa kamu sudah mencintaiku. Tapi kenapa jawabannya tetap tidak bisa?. Atau itu hanya perasaanku saja?, pikir Jef.

"Itu buat kamu, bilas mata kamu".

Jef menurut saja, ia membilas matanya yang sedikit masih memerah menggunakan air itu. Sedangkan Alesa kini tengah membuka bungkus bubur ayam, ia menaruh kuah bubur ayam yang terpisah ke dalam wadah. Menyiapakannya untuk Jef dan juga dirinya.

"Dimakan buburnya".

Jef menerima bubur dari Alesa, tanpa bicara apa-apa. Jef mulai memakannya dalam diam.

"Aku nggak suka kacangnya". Adu Alesa. Bisa saja dia memisahkan kacangnya di tempat lain. Dia, hanya ingin Jef bicara seperti biasanya. Mengoceh tanpa henti, bukan diam seperti ini. Padahal Jef diam hanya beberapa menit saja.

Alesa kamu aneh. Bukannya ini yang kamu mau?, Jef diam, berhenti mengganggu kamu dengan banyak kata yang keluar dari mulutnya?. Tapi kenapa kamu sekarang menginginkan dia berbicara banyak lagi?. Ucapnya pada diri sendiri, di dalam hati.

"Kamu pindahin kacangnya ke tempatku". Jawab Jef seadanya. Sungguh, Jef tak mau bersikap sok dingin seperti ini padanya. Ini menyiksa dirinya sendiri. Jef hanya mau lihat saja reaksi Alesa. Apa dengan Jef diam Alesa merasa akan ada kesempatan untuk membuat Jef benar-benar pergi, mungkin dia merasa Jef benar-benar mau menyerah. Atau dia akan merasa kehilangan Jefri yang biasanya, yang selalu mengganggunya.

Ruang TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang