22☁️🦒

21 2 0
                                    

Hujan tiba-tiba saja turun. Tak besar, rintik pelan. Setelah Jef hilang dari jangkauan pandangnya kini ia tak berlari lagi. Ia berjalan pelan, wajahnya ia biarkan menatap ke atas langit. Membiarkan wajah itu terkena rintik hujan yang tak membuatnya sakit.

"Langit, makasih sudah menurunkan rintik hujan sekarang. Kalian bisa menyamarkan air mataku yang aku benci ini. Aku nggak mau menangisi orang jahat. Jef jahat. Semua yang keluar dari mulutnya selama ini memang omong kosong. Kenapa bisa aku sampai salah mengartikan. Dari awal dia yang sudah menyakitiku, tapi dia berlagak untuk mau membahagiakanku, selama ini dia yang membuat luka untukku".

Alesa lalu menundukkan kepalanya. Air matanya terus saja keluar sia-sia. Ia menurunkan kepalanya perlahan. Tak menunduk lagi, matanya lurus kedepan. Entah sekarang dia ada dimana, dia terus saja berjalan tanpa arah. Tubuhnya sudah dibasahi dengan air hujan yang masih saja turun.

"Lihat, Jef tidak mengejarku. Dia membiarkanku. Jadi ini maunya selama ini?, membiarkanku akhirnya pergi begitu saja dengan luka yang sudah ia buat?".

"Sudahlah Alesa. Memang ini kenyataannya. Kamu nggak berhak mengharapkan Jef datang, bagus dia betulan pergi. Aku juga tak mau bersama pembohong seperti dia. Cinta yang sempat mau aku berikan, akan hilang begitu saja".

"Gie, kamu dimana?. Kamu nggak akan kembali seperti yang dibilang Jef?. Lalu untuk apa kamu memberiku surat-surat itu?. Kamu hanya mau membuatku berharap saja?. Mimpi apa yang sedang kamu kejar?. Jawabannya mungkin ada adi surat itu, tapi aku lupa mengambilnya. Aku lupa mengambil surat-suratmu karena dikepalaku hanya ada Jef. Aku tak butuh surat itu Gie, aku butuh kamu mengatakannya langsung".

Beberapa langkah, ia masih berjalan tanpa arah. Jalanan sangat sepi, ia juga tak tahu sekarang dimana. Dia melangkah kemanapun untuk menghindari Jef tadi. Alesa, takut. Jalanan benar-benar sepi, hanya ada pepohonan di kanan kiri jalanan.

"Aku dimana?. Jef, kamu benar-benar tak mau menolongku?. Kamu biarkan aku pergi begitu saja?. Aku kedinginan Jef. Dewa segalanya, bantu aku dari masalah ini. Ah, aku lupa. Dewa segalanya lah yang sudah membuat kekacauan ini semua".

Sebelum Jef hadir, hanya Gie yang selalu ia ingat dalam kesedihannya, dalam ketakutannya, berharap Gie akan datang menolongnya. Sekarang Alesa berharap, seseorang yang hadir bukan lagi Gie, tapi Jef.

"Aku benci rasa cinta yang sudah kurasakan untuknya. Aku benci harapan 'fakta' bahwa dia bukan orang yang menyebabkan luka. Semakin berharap, hatiku semakin sakit".

Alesa, masih mengharapkan kehadiran pria yang sudah jahat padanya.

Beberapa langkah sampai matanya tak sengaja melihat mobil yang melewatinya, mobil itu melawan arah dengan Alesa. Mata Alesa melihati mobil itu, berharap orang yang ada di dalamnya menolongnya, membawanya pulang. Tapi ternyata tidak, mobil itu melewatinya begitu saja.

Beberapa detik kemudian ada suara langkah kaki seseorang dibelakangnya. Orang itu seperti berlari. Alesa takut kalau orang dibelakangnya adalah orang jahat, ia melangkahkan kakinya menjadi lebih cepat. Orang dibelakangnya juga menambah kecepatan langkahnya.

"Dewa segalanya, tolong aku. Aku benar-benar takut". Ucapnya dalam hati. Ia tak berani melihat siapa orang yang mengikutinya. Sampai akhirnya Alesa berlari. Orang dibelakangnya ikut mengejar. Hujan masih saja turun.

Orang itu berhasil menahan tangan Alesa, ia berhasil meraih tangannya. Alesa memejamkan mata kuat kuat, sudah pasrah dengan semuanya.

"Dewa segalanya, kamu benar-benar tak berguna".

Alesa tak berani menengok ke arah belakang. Ia masih mematung di tempat, matanya masih terpejam.

"Hujannya udah reda ya?. Ah nggak peduli reda atau enggak. Jef, kamu tolong aku dulu sebelum kita benar-benar tak saling mengenal lagi. Aku takut".

Ruang TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang