Jef, sekarang senang sekali berdiam diri di kamar. Mau ke tongkrongan tapi teman-temannya tak ada satupun yang ada di sana. Sibuk masing-masing.
Lalu ia memutuskan untuk pergi ke rumah Gie. Ia ingin meminta maaf pada adiknya karena dia sudah buat salah padanya.
Jef sudah bersiap-siap untuk pergi. Setelah ini, maka semuanya akan benar-benar selesai.
Baru saja mau kaluar ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya. Dia, Gie.
"Gie masuk ya?". Tanya Gie persis dipintu kamar Jef. Ia masih memegang gagang pintu itu.
Jef masih agak tersentak kaget. Kebetulan sekali. Anak itu, adiknya, masih saja manis.
"Ah iya, masuk Gie". Ucap Jef dengan nada canggung.
Diam, keduanya sama-sama diam. Gie duduk di kasur Jef dengan tenang. Sedangkan Jef berdiri saja, ia bingung memulai percakapan darimana.
"Lo pulang kapan?. Udah ketemu ibu?". Jef akhirnya bersuara. Ia basa-basi menanyakan hal itu.
"Tiga hari lalu. Udah tadi di bawah. Gie bilang mau bertemu abang, lalu ibu suruh Gie ke kamar saja". Jelasnya. Lalu ia berjalan ke meja yang ada di kamar Jef. Di sana ada kardus berisi tumpukan surat.
Jef menunggu apa yang akan Gie katakan setelah melihat surat-suratnya. Mungkin ia akan marah, lalu memukuli Jef. Ya, sepertinya sebentar lagi ada kejadian seperti itu, seperti yang ada dibayangan Jef sekarang.
Gie melihat surat-surat didalam kardus sebentar, lalu ia mengabaikannya. Sekarang tubuhnya ia biarkan tersender di meja.
"Kenapa tidak dibuang sekalian?, atau dibakar?. Lebih aman".
Sudah bisa ditebak, Gie sudah tahu. Alesa yang memberitahunya. Pikir Jef.
"Sorry". Hanya itu yang bisa Jef katakan.
"Kenapa?, kenapa abang lakukan ini semua?. Aku sudah percaya dengan abang, Gie minta tolong abang karena Gie cuma punya abang di sini".
"Kenapa nggak dikasih sendiri aja ke Alesa?".
"Bang, papa tidak akan membiarkan hal itu. Dia tidak mau Gie menghubungi siapa-siapa, hanya boleh dengan abang dan ibu".
"Udah tahu begitu. Lo pikir papa nggak tahu lo kirim suratnya ke gue dan lo minta gue buat kasih ke Alesa?. Papa tahu Gie, gue disuruh papa buat lakuin itu".
"Kenapa abang dengerin mau papa?. Harusnya abang kasih saja bang".
"Gie, papa ngancem gue. Dia ngancem kalau gue tetep kasih suratnya, dia bakalan nggak mau lagi ketemu gue. Abang tahu abang kekanak-kanakan, nggak seharusnya abang begitu. Tapi Gie, setelah papa pergi dari abang, sejak dia milih lo dan mama lo gue nggak bisa lagi ketemu papa. Bahkan dia pindah ke tempat yang nggak gue tahu sama sekali. Selama ini gue selalu pengen ketemu papa. Udah lama banget gue nggak ngobrol sama dia. Dengan papa ngancem begitu gue jadi takut kalau nantinya nggak akan ada kesempatan lagi buat gue ketemu dia. Gue nggak bisa Gie waktu itu, gue,,,, gue sayang papa. Gue minta maaf udah egois".
Alasan yang mungkin didengarnya sebagai alasan kekanak-kanakan. Tapi, itu adalah alasan yang sebenarnya. Waktu itu Jef sangat takut kalau nantinya benar-benar tak akan bertemu dengan papanya.
"Semenjak papa milih lo dan mama lo, gue udah bener-bener kehilangan papa Gie. Gue cuma mau bertemu dia aja, sesekali. Tapi ternyata harus ada syaratnya dulu. Harusnya gue sadar, dengan dia mengancam hal seperti itu, dia sebenarnya memang udah nggak mau lagi bertemu anaknya. Sebelum menyuruh gue hal itu, dia memang sudah nggak mau lagi menganggap gue sebagai anaknya. Dia cuma memanfaatkan keadaan".
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Tunggu
RomanceKepercayaanku sudah dihabiskan oleh satu orang, begitupun cintaku. Cintaku sudah habis kuberikan pada dia. Tapi dia menghancurkannya. Lalu ada orang lain menawarkan rasa percaya dan cinta yang baru. Tapi, dia juga menghancurkannya. cover by @wira.p...