27☁️🦒

36 1 0
                                    

Hati-hati di jalan- Tulus.

Di bandara, mengantar Gie pergi. Kali ini kepergiannya disaksikan langsung oleh Alesa, tidak seperti kepergian sebelumnya.

Kini Alesa dan Gie berdiri berhadapan. Mata mereka bertemu. Saling berucap 'sampai jumpa'. Beberapa menit lagi Gie akan Take Off.

Bertatapan seperti sekarang kenapa rasanya sudah tak mendebarkan seperti tatapan sebelumnya?. Sebelum Alesa mengenal Jef. Sekarang tak ada lagi perasaan menyenangkan itu lagi. Alesa selalu mencarinya, diberbagai situasi. Dipelukannya, ditatapannya, dibelaian tangannya, semuanya rasanya biasa saja, tak ada yang spesial.

Bahkan kepergiannya sekarang yang buat resah bukan ketakutan rasa rindu yang akan Alesa rasakan, bukan perasaan takut kalau mungkin saja ia pergi lama. Tapi, yang membuat resah adalah ketakutan Alesa semakin tak bisa mengendalikan perasaannya untuknya, ia takut rasa cinta untuknya yang sekarang Alesa tak tahu bersembunyi dimana akan benar-benar hilang karena kepergiannya.

Gie sadar, kalau kedua mata itu bukan lagi miliknya. Kepulangannya benar-benar bukan kepulangan yang Gie bayangkan. Perasaan saling rindu itu, hanyalah ucapan belaka. Ungkapan rasa cinta yang tak lagi berbalas. Obrolan panjang yang membosankan baginya. Gie, menyadari itu semua. Pelukan pertama kali setelah waktu yang lama hanya berkisah tentang seorang gadis yang menangis karena kekecewaannya pada pria lain. Bukan sebuah pelukan hangat dengan segala rasa rindu dan cinta yang tertahan. Apa masih bisa dipaksakan?, kalau iya Gie akan bertahan. Paksa?, bukankah itu berlebihan?. Masih banyak hal yang bisa dilakukan dibandingkan dengan harus memaksa sesuatu yang pada akhirnya akan membuat sakit. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi dia juga akan merasakan sakitnya.

"Gie, jangan lama perginya".

Gie aku takut aku tak bisa merasakan rasa rindu seperti rinduku dikepergianmu sebelumnya. Aku takut aku tidak bergairah lagi menunggu kepulangan kamu, tidak seperti aku menunggumu dikepergian sebelumnya. Karena kalau sudah begitu, rasaku padamu benar-benar sudah hilang. Aku tidak mau, aku takut. Batinnya.

Sebelum semuanya terlambat Gie akan memastikan semuanya satu kali lagi.

"Alesa, i love you". Pengakuan cintanya lewat tiga kata ia berharap akan dibalas dengan kalimat 'i love you too'.

"Ya, i know. Makannya kamu harus cepat pulang".

Jawaban yang tak Gie inginkan.

Gie tersenyum miris. Semuanya memang sudah berubah. Tak akan ada lagi balasan cinta darinya. Bukan hanya lewat kata, matanya, senyum yang ia berikan sudah tak lagi sama. Gie, benar-benar kehilangan Alesa. Maka dari itu, Gie sudah tahu keputusan akhirnya.

Gie kemudian menaruh kedua tangannya diatas pundak Alesa. Melihat kedua matanya lamat-lamat, mencari sesuatu yang mungkin saja terselip disana. Tidak ada, sudah benar-benar hilang.

"Alesa, kamu bukan lagi milikku. Hatimu bukan lagi milikku". Ucapnya dengan nada datar. Terselip luka didalamnya bersamaan ketika ia mengatakannya. Sulit sekali mengatakan hal seperti itu didepannya persis. Tak pernah ia bayangkan akan berakhir seperti ini.

Alesa menggeleng beberapa kali mendengar ucapannya. Kalimat macam apa itu?, hati ini akan selalu aku usahakan kuberikan hanya untukmu saja. Usaha?, seharusnya tanpa usaha apa-apa. Tapi aku mau hanya kamu saja yang memiliki hatiku Gie. Itu maumu, bukan hatimu. Lalu aku harus bagaimana?. Pikirnya.

"Gie jangan bilang macam-macam. Sudah, pokoknya kamu harus cepat pulang. Aku selalu menunggu".

Semakin ia melawan hatinya, semakin Gie sadar kalau Gie bukan lagi pemilik hatinya.

"Jangan tunggu aku. Aku akan melanjutkan mimpiku menjelajahi langit. Alesa, tujuanku pulang adalah kamu. Tapi nyatanya hatimu tak mau lagi untuk aku jadikan tempat pulang. Kamu menginginkan orang lain yang menyinggahinya. Bukan aku lagi pemiliknya, maka dari itu aku akan cari rumahku yang baru. Diatas langit sana".

Ruang TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang