18☁️🦒

14 1 0
                                    

"Besok Alesa libur nggak?". Tanya Jef pada Alesa. Mereka masih berada di rooftop sembari memakan sandwich buah yang dibawakan mama.

"Libur". Jawab Alesa singkat.

"Temenin aku bawa Nana ke dokter hewan yuk, mau nggak?". Nana, kucing perempuamnya tengah sakit.

"Nana sakit apa?". Tanya Alesa penasaran.

"Telinganya luka, habis berantem sama Yongie, kucing sebelah".

"Kenapa bisa berantem?".

"Aku nggak tahu persis. Menurut saksi si Nana dipaksa buat kawin sama Yongie, Nana nggak mau, berantem deh. Yongie itu maksa banget. Nana kayanya cintanya sama Liam".

"Liam nama kucing juga?".

"Iya, kucing tetangga juga. Tapi dia udah nggak pernah kelihatan, nggak tahu kemana". Jelas Jef.

"Cinta kan memang nggak bisa dipaksa, itu akan menyakiti keduanya". Jawab Alesa asal.

Perkataan Alesa mengusik hati Jef. Selama ini ia juga sama seperti Yongie, memaksa dirinya untuk bersama Alesa walaupun gadis itu berulang kali menuruhnya pergi.

"Aku menyakiti kamu ya karena aku terus mencintai kamu padahal kamu selalu menyuruhku pergi?". Tanya Jef, dia tidak seperti biasanya begini. Tak memikirkan Alesa yang selalu menyuruhnya pergi, dia akan tetap mencintainya, tak memikirkan kalau hal itu benar-benar bisa menyakiti hatinya.

Alesa tertegun mendengar pertanyaannya.
"Eh bukan begitu. Kamu nggak menyakiti aku Jef, kamu yang menyakiti diri kamu sendiri dengan mencintaiku. Lagian kamu nggak pernah meminta aku balik menyukaimu kan?, jadi yasudah. Aku hanya mengkhawatirkan perasaanmu yang akan sakit karena aku. Aku sudah sering memperingatimu".

"Sudah kubilang, mencintai kamu bukan hal yang menyakitkan".

Jef membalikkan badannya, matanya beralih sepenuhnya pada Alesa. Ia memegang tangan Alesa.

"Alesa, kalau kamu sudah temukan bahagiamu sesungguhnya, siapapun orangnya, apapun itu, aku akan pergi". Lanjut Jef, nada bicaranya penuh dengan keseriusan, tapi ada keraguan di sana.

"Karena aku hanya ingin kamu bahagia. Kalau aku hanya akan selalu menjadi pengganggu buat kamu, aku akan pergi. Aku memang selalu ingin menemani kamu. Tapi kalau kamu sudah menemukan hal yang lebih buat kamu senang aku akan senang juga. Aku akan membiarkanmu dengan pilihanmu. Atau kalau kamu lebih merasa senang menunggu seseorang yang selama ini kamu tunggu, aku bisa apa?. Aku hanya bisa membiarkanmu. Yang harus selalu kamu ingat, kapanpun kamu butuh aku, aku akan selalu ada. Kamu harus selalu ingat itu.".

Kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti itu?. Biasanya kamu tak peduli seberapa kuat aku mengusirmu dari hidupku. Kamu bilang, kamu akan tetap tinggal. Jef, kamu betul-betul mau pergi?. Kamu pengganggu yang terkadang membuatku senang, membuatku lupa dengan semua hal yang menyakitkan. Aku juga nggak tahu siapa tempat bahagiaku. Diriku sendiri?, aku bahkan tidak tahu persis siapa diriku. Gie?, dia juga entah pergi kemana. Tapi kamu benar, menunggu Gie adalah hal yang menyenangkan tapi juga selalu membuatku menangis. Aku nggak tahu Jef. Batin Alesa, ia bingung dengan dirinya sendiri.

Jef tidak berniat pergi sama sekali, apalagi mau menyerah. Dia hanya takut kalau kehadirannya akan mengusik hidup Alesa. Dan membuatnya menderita, karena Jef selalu memaksa.

"Kalau gitu kamu pergi Jef, jangan hadir lagi. Kamu pergi". Pintanya dengan lirih, berat sekali mengatakan hal itu. Ia sudah mulai menyukai tingkah konyol Jef. Tapi ia juga tak mau jatuh lebih dalam pada Jef. Dia, hanya akan selalu menunggu Gie. Dan Jef akan mencintai orang baru yang lebih baik darinya.

"Itu mau kamu? Sungguh?". Jef bertanya dengan nada lemas, sungguh sebenarnya ia tak sanggup.

"Iya". Jawab Alesa dengan keraguan.

Ruang TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang