Intro: Vano Adipati Maheswara

423 46 0
                                    

"When people are far from my eyes, that's where I realize that loneliness is my friend."

.-.

Dahulu, Vano adalah seorang yang bringas. Ia akan merundungi siapapun yang berani menganggu dirinya, bahkan ia menjadi orang yang paling ditakuti di SMA Bumi Langit karena sifatnya yang temperamen.

Wajahnya yang sangar, banyaknya bekas luka di tubuhnya, dan suara yang sangat rendah. Bukankah wajar orang-orang takut akan dirinya? Namun walaupun begitu, nilai akademik Vano merupakan salah satu yang tertinggi di kelas. Sayangnya citranya sebagai 'pem-bully' disana sudah terukir sempurna di otak murid-murid disana, termasuk guru-guru yang sering memberikan sanksi kepada Vano.

Semua sifat toxic-nya didapatkan dari cara orang tua Vano mendidiknya. Mulai dari kekerasan, kata kasar, dan seterusnya. Orang tua Vano berada diambang perceraian, mereka sering beradu mulut satu sama lain hingga membanting barang sehingga psikis Vano kian lama terganggu. Vano berpikir dengan ia membully orang lain, pikirarannya bisa bebas dari tekanan yang ia miliki selama ia di rumah. Tetapi satu hal yang ia tak sadari selama hidup adalah, ia hanya butuh seseorang yang bisa memeluk dan menemaninya.

Apakah orang yang dibutuhkan Vano kala itu datang? Tidak. Di sekolah, Vano hanya beraksi sendiri. Tidak ada teman yang mau menemaninya walaupun Vano yang berkuasa. Disaat murid lain berkumpul di kantin, Vano hanya bisa duduk sendiri di taman belakang sekolah.

Tetapi suatu hari, ada seseorang yang berani datang kepada dirinya.

Flashback:

"Lo sendiri di sini?" Tanya orang itu balik.

Vano berdecih lalu mengatakan, "Lo gak usah peduli sama gue."

"Emang kenapa kalo gue peduli ama lo?" Tanya orang itu. Vano memalingkan wajahnya, tak bisa dipungkiri kalau ia juga membutuhkan kepedulian orang lain. Dan orang tadi bisa merasakan hal itu, Vano membutuhkan orang lain yang mengerti terhadal apa yang ia rasakan.

"Nama gue—"

"—Gio," sela Vano. Gio tersenyum lalu duduk di samping Vano.

"Lo gak usah ngenalin diri, satu sekolah pun tau nama lo siapa," terang Vano. Gio terkekeh pelan dan berkata sesuatu kepada Vano.

"Gue tau lo lagi ngadepin masalah. Makanya gue dateng ke sini."

"Gue gak butuh rasa kasian lo," ketus Vano.

"Justru yang paling butuh rasa kasian gue itu lo." Perkataan Gio membuat emosi Vano meninggi. Ia berdiri dan menghadap kearah Gio yang sedang duduk.

"Lo tau apa tentang gue?" Tanya Vano sedikit tegas. Tetapi bukannya takut, Gio menatap Vano dengam tatapan tajam.

"Mata lo gak bisa boong, No. Mau gimanapun cara lo nyembunyiin, mata lo ngejelasin semuanya," jelas Gio. Vano terdiam, kata-kata Gio tadi membuatnya sadar kalau ia membutuhkan rasa kasihan dari orang lain. Selama ini Vano selalu denial tentang apa yang ia butuhkan, dan hanya Gio yang tahu soal itu.

"Cuma lo yang peka," ujar Vano.

"Kenapa cuma lo ... ?"

Gio menatap kedua netra Vano yang mulai melunak. Ia merasakan gejolak emosi yang Vano rasakan.

"Biarin gue nemenin lo disini. Kalo gue dibenci, gue gak peduli. Gue bakal ngenalin lo ke orang-orang kalo lo itu orang baik."

MAHESWARA | ATEEZ FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang