WhatsApp Kekasih Hati

7.4K 481 16
                                    


Arjuna hanya terkekeh gemas melihat keterkejutan gadis di depannya ini. "Haha, bercanda kok."

Zahra bernafas lega mendengar itu. "Huh, kirain beneran. Hehe." Terkekeh juga ia karena reaksi spontannya.

Arjuna terpaku kembali melihat senyuman Zahra. Gigi gingsul gadis itu sangat menarik dan terlihat semakin manis jika terlihat ketika tersenyum. Arjuna berani bertaruh jika ia menikah dengan Zahra pasti anaknya nanti akan good looking semuanya. Paras imut anaknya pasti akan mengalahkan anak kakaknya, Aby.

"Ehm, boleh minta nomor WA-nya?" Meminta nomor WhatsApp adalah cara kedua mendekati wanita versi Arjuna.

"Saya ndak ngecer nomer WhatsApp, Mas." Gurau Zahra. Entah kenapa ia juga nyaman berbincang dengan lelaki di depannya ini.

Arjuna tertawa lagi. "Hahaha, lucu banget sih. Kalo gitu saya beli grosiran aja deh, katanya tadi nggak ngecer nomer WhatsApp." Cocok! Calon istrinya ini selera humornya sama dengannya.

"Hahaha, iya-iya. Nih tak kasih, catat aja sendiri." Zahra menyodorkan handphone kepada Arjuna. Kemudian Arjuna mengambil dan langsung mencatatnya.

"Nanti kalo saya chat, bales ya? Jangan lupa namain 'Mas Juna ganteng', oke?"

Zahra tersenyum. "Iya, nanti tak bales kok."

"Permisi, ini black coffe sama americano-nya. Monggo diminum." Barista itu datang dengan membawa
Arjuna dan Zahra menerimanya lalu mengucapkan terimakasih. Barista itu kembali ke meja bar-nya setelah menyelesaikan 2 pesanan itu.

Arjuna dan Zahra menikmati kopi mereka dalam hening. Mereka masih meresapi rasa kopi masing-masing yang khas. Arjuna lebih dulu menghabiskan secangkir kecil kopi hitamnya. Aneh, kopi hitamnya kenapa jadi manis ketika ia bersanding dengan Zahra.

"Kamu suka kopi?" Tanya Arjuna ketika gadis itu sudah menghabiskan setengah americano-nya.

Zahra mendongak menatap Arjuna. "Hm? Suka, suka banget malah. Kata orang-orang ini turunan dari Abah. Abah suka banget sama yang namanya kopi. Kopi hitam, kopi susu, kopi jahe, semuanya suka. Abah itu maniak kopi, hahaha jadi inget Abah."

"Emang Abah kamu kemana?"

"Ya dirumah, Mas. Lagi ngurusin kucing-kucingnya."

"Rumah kamu dimana?" Tanya Arjuna mengalihkan pembicaraan. Ia ingin berbicara santai dengan Zahra untuk saat ini.

"Di depannya koramil, tuh deket." Zahra menunjukkan arah rumahnya kepada Arjuna dengan jari telunjuknya.

Arjuna melotot kaget. "Kamu anaknya Pak Haji Da'in?" Sungguh kebetulan yang seperti di sengaja.

Pak Haji Da'in adalah calon mertua yang diburu oleh sahabatnya, Alden. Apa Zahra adalah gebetan dari Alden? Jika benar, ia sama saja makan teman dan ia tidak suka itu. Ya Tuhan, apakah perjuangan cintanya hanya berakhir sependek ini? Daripada ia berebut jodoh dengan sahabatnya, lebih baik ia mengalah saja demi perdamaian dunia.

"Iya! Kok tau?" Zahra juga terkejut jika lelaki di depannya ini tahu siapa Abahnya. Perasaan Abahnya juga tidak terlalu famous, kenapa banyak yang kenal?

"Lah? Siapa yang nggak kenal Pak Haji Da'in?" Yang ia tahu, Abahnya Zahra ini adalah salah satu ustadz kondang di kecamatannya. Beliau sering diundang di banyak pengajian dan ceramah yang diadakan oleh warga yang mempunyai hajatan atau pengajian khusus.

"Wah! Abah ternyata terkenal juga ya?"

Arjuna terperangah. "Ini yang anaknya kok malah nggak tau Abahnya terkenal? Impresif banget."

"Ya nggak tau, Mas. Orang saya juga hidupnya ndak disini."
Arjuna kembali dibuat tak percaya dengan kejadian barusa. Terus siapa yang diburu Alden selama ini kalau yang diburu saja tidak ada disini? Karena kata Alden, dia sedang mendekati anak pak haji yang ditemuinya di seminar. Ini sebenarnya bagaimana?

"Lha terus, selama ini kamu tinggal dimana?"

"Saya kan dari SMA sampai kuliah tinggalnya di Surabaya, otomatis sekolahnya juga disana." Papar Zahra kemudian menghabiskan tegukan terakhir americano-nya.

"Oh gitu, tapi lahirnya disini? Atau lahir asli Surabaya?"

"Asli sini, ayahnya Umi yang asli Surabaya." Umi disini adalah Ibu dari Zahra.

"Kamu berap--,"
"Permisi... Mas, seblaknya udah jadi. Monggo diambil." Belum sempat Arjuna menyelesaikan pertanyaannya, kasir seblak yang ia beli mendatanginya karena pesanannya sudah jadi.

"Oh iya, tunggu ya, Mbak. Nanti saya ambil." Kasir itu mengangguk lalu pergi dari kedai itu.

"Eh, saya pulang dulu ya? Nanti kalau saya chat, jangan lupa dibales. Oke?" Pamit Arjuna kepada Zahra.

Sebenarnya ia masih betah mengobrol ria dengan Zahra. Tapi apa dikata, pemesan seblak yang dirumah pasti akan mengamuk jika sampai dirumah seblaknya sudah tidak panas lagi.

"Oke siap! Hati-hati, Mas."
Sebelum pergi, Arjuna membayar tagihan secangkir kopi hitam yang ia pesan tadi. "Mas, pas ya?" Ucapnya sambil menyodorkan selembar uang warna ungu kepada barista itu.

"Pas! Makasih banyak, Mas." Jawab barista itu. Arjuna mengangguk.

"Hati-hati kalo nanti pulang ya? Assalamu'alaikum...Bina."
Zahra sedikit tersentak mendengar panggilan berbeda dari Arjuna. Bina? Kenapa nama lain itu manis sekali jika Mas Juna yang ngomong. Batinnya.

"Bina? Tsabina? Ah, sweet banget sih! Abah, neng baper nih!" Jeritnya dalam hati dengan senyuman cerah terpahat di wajah orientalnya.

Sesampainya di rumah Mama Sonia sudah menunggu dengan beberapa mangkok dan sendok di pangkuannya. Arjuna yang melihat itu jadi merasa heran, apakah seblak seenak ini seenak itu sampai-sampai Mamanya sudah prepare terlebih dahulu?

"Assalamu'alaikum..." Salam Arjuna ketika memasuki pintu utama.

"Wa'alaikumsalam! Cepet bawa kesini, Jun!" Teriak Mama Sonia ketika melihat kedatangan Arjuna dengan satu buntelan hitam menggantung di tangannya.

"Lama banget sih? Mama udah kelaperan tau!" Protes Mama Sonia kesal. Ia sudah menunggu selama setengah jam lebih untuk memakan seblak pesanannya.

Arjuna mendengus. "Ya sallam, udah dibeliin juga. Hargai dong perjuangannya Juna. Tadi tuh rame banget kedainya, apalagi Juna pesen 4 porsi."

"Hm, makasih. Sana ambilin Mama minum, tadi Mama lupa bawa."

"Oh, iya. Tupperware nya Mama yang kamu pinjam kemaren kemana? Kok Mama nggak liat lagi, kamu kemanain?" Arjuna menghentikan langkahnya untuk ke dapur setelah Mamanya berbicara tentang Tupperware yang ia pinjam beberapa hari lalu.

"Hehe, sebenarnya tuh ehm--gimana ya? Ehm, ada tap--,"

"Ketinggalan di rumahnya Alden? Atau rumahnya Ayman? Atau Roy?" Tebak Mama Sonia.

"Enggak, Ma. Ehm, Tupperwarenya Juna ilangin botolnya. Yang ada di Juna cuman tutupnya aja." Ucap Arjuna lirih dengan nada ketakutan.

Ingatlah, Tupperware itu adalah salah satu aset Mamanya. "Apa?!!! Kamu ilangin?!" Sudah Arjuna duga, pasti gunung Krakatau ini akan meletus.

***
Siapa yang emaknya lebih sayang Tupperware daripada anaknya sendiri??

Mas KadesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang