10: One time for the present and two times for the past

6 0 0
                                    

CHAPTER 10: One time for the present and two times for the past

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

CHAPTER 10: One time for the present and two times for the past


Athalia yang sudah tidak tahan di dalam rumah itu akhirnya pergi. Menjauh dari tempat yang bisa dibilang 'rumah' olehnya. Tidak, itu bukan rumah, batin Athalia. Rumahnya sudah menghilang sejak dulu, seorang yang bisa disebutnya sebagai rumah telah meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini.


Langkahnya mulai berjalan menelusuri daerah yang sangat amat ia kenali. Jalan yang selalu ia gunakan saat bersama lelaki itu. Jalan setapak yang selalu ia lalui pada saat dirinya ingin menjauh dari rumah – ingin tersesat di dalam pikirannya.


Hari semakin malam, handphonenya yang daritadi sudah berdering tidak karuan membuatnya lebih muak untuk pulang, dia ingin kembali kepelukan laki-laki dan istirahat.


Sesungguhnya, hal yang paling melelahkan dari semuannya adalah menginggat sebuah memori. Sebuah kejadian atau peristiwa itu melelahkan, membawa beban sebuah ingatan yang belum tentu orang lain dapat mengingat.


Dirinya dibebankan untuk mengingat sesosok yang sangat ia cintai, lebih dari dirinya sendiri. Sebuah tempat singgah yang amat hangat sekarang harus dingin karena dirinya takut, takut jika suatu hari dia lupa, maka tidak ada yang akan mengingat.


Athalia mulai berjalan menelusuri ingatannya, bernostalgia untuk sesaat bukan hal yang buruk bukan? Perempuan itu, terdiam disuatu halte bis yang sekarang terbelangkai. Tempat ini sangat jarang dilalui oleh orang, kecuali Athalia dan Laskar. Mereka bertemu, berbincang di halte ini, sebuah tempat sederhana yang membawa banyak sekali kenangan indah hingga pahit.


Perlahan dirinya duduk di halte yang sudah tidak layak untuk digunakan, atap dari halter tersebut sudah rusak, akibat hujan yang deras yang bisa jadi menimpah atap halte tersebut, kursi yang dulunya masih bersih sekarang mulai memudar warnanya dan mulai berkarat.


Athalia duduk perlahan yang tersenyum, karena jika dirinya duduk disebelah kiri, makan Laskar akan duduk di sebelah kanan.


Hujan pun turun perlahan, rintikan yang amat sangat ia ingat, sebuah kejadian yang membuatnya sangat bahagia, di hari ulang tahunnya seseorang memberikan hadiah terbaik. Sebuah sentuhan lebut dikening perempuan itu, yang menandakan hari itu, bahwa perempuan itu jatuh cinta.


Perlahan dia menutup matanya sambil merasakan setiap rintikan yang terjatuh dan menyentuh kulih perempuan itu, suara hujan yang sangat amat ia kenal.

Langit Samudra | Lee Jeno lokal auTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang