"Bagaimana?"
Pintu mengayun terbuka dan seseorang dengan jaket abu-abu pudar membalut tubuh tegapnya, melangkah masuk. Logo celurit dan samurai yang menyilang tampak berkilau di punggungnya terkena pantulan satu-satunya sumber penerangan di ruang bawah tanah itu.
"Lumayan, kita hampir seri," ujar lelaki itu—Connor. Selama penyerangan phoenix tadi, ia hanya memperhatikan dari tempatnya bersembunyi; bagaimana itu berlangsung, dan seberapa hebat kerja sama diantara anggota Phoenix.
Salah satu lelaki di ruangan itu yang duduk mengangkat kaki ke atas meja, tersenyum miring—memutar-mutar potret kebersamaan ke-8 anggota inti phoenix di tangannya. Tampak usang dan... palsu.
"Well, itu sudah membuktikan semuanya. Bahkan dengan hanya anggota biasa, kita bisa menyamai kekuatan anggota inti mereka; 5 hoplite, dan 3 underleader bodoh itu," pungkasnya. Mencabut salah satu paku dari papan informasi di sampingnya dan memajang foto itu di sana dengan menancapkan paku tepat di tengah-tengah barisan para underleadernya.
"Bukan hanya itu. Pemimpin mereka ternyata tidak cukup loyal untuk membawa pulang anak-anaknya dengan lengkap," ujar lelaki lainnya yang berdiri di sudut ruangan memperhatikan layar interkom yang terhubung dengan cctv di ujung jalan utama. Bisa dia lihat di sana beberapa anggota phoenix berlarian secepat mungkin untuk mencapai mobil yang mereka parkirkan di tepi jalan utama sementara anggota Blade mulai berdatangan dari area hutan untuk mencegatnya.
Beberapa diantaranya berhasil pergi—satu, hingga tiga mobil—sekalipun peluru yang dilepaskan anggota Blade membabi-buta menerjang jendela mobilnya, bahkan sampai ada yang melompat ke atas kap mobil tapi terlempar begitu saja ketika pengemudi mobil itu membanting stirnya dengan brutal. Tapi tidak dengan satu mobil terakhir. Peluru berhasil memecahkan bannya. Dan sedikitnya ada 5 anggota phoenix di sana—yang kini jadi sasaran anggota Blade untuk segera di bawa ke markas.
"Lihat. Mereka berlima ini sengaja dijadikan umpan untuk mereka bisa kabur."
Ego, lelaki yang duduk berselonjor kaki itu tertawa puas. Informasi dari Thiago itu benar-benar membuat harinya. Ia tidak sabar menyusun list urutan penyiksaan yang bermakna untuk ia terapkan pada sandera barunya itu.
⏳
Sudah jam 9 malam ketika mobil pertama yang membawa anggota phoenix meraung-raung di tengah belantara hutan yang sepi sebelum akhirnya menepi di sebuah bar kumuh—markas mereka—disusul 2 mobil kelompok lainnya.
Gilder yang pertama keluar dari mobil, sembari membopong Remus yang sudah pucat menahan perih peluru yang masih bersarang di perut bawahnya. Beberapa anggota lainnya juga mulai keluar dari mobil dan beranjak masuk menuju pugh untuk mengobati wajah dan tubuh mereka yang babak belur, hancur, lebam, dan berdarah.
"Derek, kau sudah hubungi Flynn?" tanya Luca. Flynn adalah dokter kenalan mereka selama menetap di New York. Di pugh memang sudah tersedia begitu lengkap alat dan bahan pengobatan, tapi jika itu berhubungan dengan peluru, mereka tetap memakai jasa dokter.
"Aman," Derek mengacungkan jempol, juga membopong salah satu ouragos yang terluka cukup parah.
Keadaan pugh yang tadinya sepi, mati dan sunyi, kini telah mendapatkan nyawanya kembali. Natly langsung berlari keluar dengan segala jenis alat p3k yang ia punya ketika mendengar kedatangan mereka. Anggota phoenix bertebaran dengan perawakan yang kacau. Ada yang terbaring begitu saja di atas lantai, di atas sofa, bahkan ada yang langsung terjerembab jatuh ketika baru saja melewati pintu masuk. Ia juga terkena luka tembak di kakinya.
Untungnya, Troy tepat muncul di belakangnya dengan tas berisi senjata yang ia sampirkan di bahunya dan tas lainnya ia tenteng berisi meriam mini yang tersisa. Dengan cekatan, diraihnya lengan remaja pria itu untuk berdiri. Lalu ia kalungkan di sekitar lehernya dan membawanya ke tengah-tengah pugh di mana yang lain berkumpul. "Ku kira kau semobil dengan Thorne," tukas Troy tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Time Made US
AcciónSetelah rentetan kejadian mengenaskan terjadi padanya, Raquel sadar hidupnya sudah terbilang hancur untuk ukuran hidup normal. Pikirnya, kematian ibunya adalah akhir dari semuanya. Nyatanya, itu adalah awal dari riak kehancuran yang sebenarnya. Samp...