Bab 2: Crazy

2.8K 230 8
                                    

Gengs, maafin aku karena harus ganti visualnya Aria. I think, black hair suits this girl better.

*****

"Sialan!"

Umpatan bersuara berat itu mengudara ketika seorang perempuan berambut hitam legam menghunus pedangnya tepat ke arah seorang lelaki berambut cokelat gelap yang tadi mengumpat itu. Senyum tampak dari perempuan itu seraya ia menarik pedangnya dan mengubah posisi.

Tepuk tangan terdengar setelahnya. Seorang lelaki lain berambut pirang emas tampak tersenyum menghampiri mereka. "Kamu hebat sekali, Aria." Ia memuji.

Mendengar pujian dilayangkan pada lawannya. Si laki-laki yang tadi kalah hanya memajukan bibir kesal. "Kamu itu sebenarnya kakak dari siapa, Xavier?" Ia mendesis seraya menyarung pedangnya.

"Oh, jangan merajuk begitu, Phyrius." Xavier tertawa. "Kamu dilatih hampir seumur hidup di sini tetapi kalah dengan seorang anak perempuan yang lebih muda juga baru berlatih selama kurang dari tiga tahun. Ya, Tuhan!"

Phyrius memajukan bibir. Ia menatap kesal Aria.

Sudah tiga tahun gadis itu berada di dalam istana. Zenith benar-benar mengangkatnya menjadi seorang anak. Sangat khas dari Zenith, Aria dilatih lebih banyak menjadi seorang prajurit alih-alih tuan putri yang anggun.

Entah beruntung atau sial, Aria rupanya sangat amat tangguh. Ia bahkan bisa mengalahkan Phyrius dalam pertarungan duel seperti tadi. Padahal usia Phyrius sudah enam belas.

"Akui saja kalau kamu memang tidak berkompeten, Phyrius." Xavier makin mengejek.

Mendengar itu, Phyrius memutar bola mata. "Coba saja kalian berduel!" tantangnya kesal.

Aria yang sedang membereskan pedangnya kaget. Ia buru-buru menggeleng. "Maaf, tetapi, saya tidak berani melawan Yang Mulia Xavier."

Mendengar gelar yang disematkan padanya, Xavier mendesis pelan. Zenith memang meangkat Aria menjadi anaknya juga seorang tuan putri. Tetapi, kedudukan putra mahkota jatuh ke tangan Xavier tahun lalu ketika lelaki ini berusia delapan belas.

"Bisakah kamu memanggilku Xavier saja?" tanya Xavier pada gadis itu. "Seperti yang kamu lakukan dulu. Biar bagaimanapun, kita sudah saling mengenal sebelum aku menjadi putra mahkota."

Aria tampak menunduk. Ia bingung dan takut. Tetapi senyum manis dari Xavier membuat jantungnya berdebar. Si gadis yang baru menginjak usia remaja itu mulai merasakan perasaan aneh. Seperti ada kupu-kupu di dalam perutnya. Dan itu itu benar-benar sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelum ini.

Kalau kata Maya, salah seorang anak pelayan yang sering bermain dengan Aria, itu namanya perasaan cinta. Tetapi, cinta? Apakah pantas Aria mencintai seorang putra mahkota? Mungkin, Xavier hanya menganggapnya sebagai anak kecil saja, ya, kan?

Dan bagaimana Aria bisa berharap dengan Xavier? Xavier memang selalu baik pada siapapun.

"Ayo, aku lapar!" Phyrius mengambil tasnya sementara Xavier dan Aria mengikuti.

"Ingat, kamu kalah dari Aria. Jadi, kamu harus membelikannya kue cokelat itu besok!" Xavier mengingatkan seraya berjalan bersisian dengan Aria.

"Iya! Kenapa jadi kamu yang bawel begini?" Phyrius berdecak. Ia melirik ke arah Aria yang kikuk luar biasa. Ia lalu menengok ke arah Xavier yang tampak malu-malu. Menjadi seseorang di antara pasangan yang tengah jatuh cinta memang menyebalkan. Ia tampak seperti nyamuk menyedihkan. 

Ya, tanpa harus Phyrius konfirmasi sekalipun, ia tahu, kakaknya diam-diam sangat peduli dengan Aria. Walaupun belum bisa menyimpulkan bahwa ia benar-benar menyukai Aria karena kakaknya ini terlalu baik, tetapi, sepertinya sudah memberikan sinyal ke sana. Sementara, Aria jelas sekali tampak malu-malu seperti seekor anak kucing padahal sangat keras dan kuat seperti badak jika berhadapan dengan lelaki lain apalagi Phyrius.

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang