Aria menatap Xavier dengan tajam sebelum memutar bola matanya. Ia menarik napas, kesal setengah mati. Xavier memang keras kepala, tetapi, kali ini, ia benar-benar seperti batu untuk Aria.
"Aku janji. Kamu boleh pegang kata-kataku," kata Xavier penuh keyakinan.
Xavier melepaskan tangan Aria. Ia tersenyum kecil. Wajahnya menengok ke arah jendela. Langit mulai menguning dan ia tak punya banyak waktu.
"Aku ingin menginap," ucap Xavier lagi. "Tetapi, aku tidak bisa."
"Aku juga tidak mengijinkanmu menginap!" balas Aria sengit.
Xavier tertawa kecil. "Ya, ya, ya." Ia mencubit pipi Aria pelan.
Perempuan di depannya benar-benar manis bahkan ketika tengah merajuk seperti ini. Xavier tahu Aria tak bisa memendam dendam terlalu lama.
"Aku akan menjemputmu lagi." Xavier menengok ke arah kamar kecil di ujung. "Juga Ave. Kalian berdua."
Aria mendesis. "Aku bahkan tidak menaruh satu harapan pun untuk itu."
Xavier tertawa kecil. Ia mengulurkan tangannya, mengacak-acak rambut Aria. "Aku akan menang lagi."
Dagu Aria mendongak. Menatap Xavier dengan bingung. "Menang?"
Xavier mengangguk seperti anak kecil. "Memenangkan hatimu lagi. Aku pernah menang satu kali, kalah satu kali. Untuk yang kali ini, aku akan menang lagi."
Aria tak tahu harus bersikap bagaimana. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup kencang, tetapi logikanya menutup semua bahagia itu. Ia tak ingin berharap banyak pada Xavier lagi. Ia takut. Bagaimana kalau Xavier meninggalkannya lagi?
"Bolehkah aku berpamitan pada Ave?" izin Xavier. Ia diam sejenak. "Sebaiknya jangan." Lelaki itu tiba-tiba bergumam sendiri. "Aku takut ia menangis."
Aria diam. Ia tahu kalimat itu benar. Xaveria pasti menangis kencang jika tahu Xavier akan pergi. Tak usah Xavier, ketika Phyrius pergi saja, anak kecil itu menangis sekencang-kencangnya.
Xavier menarik napas sambil memutar tubuh. Tetapi sesaat kemudian, lelaki itu kembali menghadap Aria. Ia menarik tangan perempuan itu dan memeluknya erat-erat. Ia tak butuh yang lain, hanya pelukan paling erat yang bisa ia berikan.
Hatinya berdegup. Khawatir Aria akan menolaknya. Tetapi, Aria diam. Hanya diam membatu seperti orang bodoh.
"Aku duluan," pamit Xavier pelan seraya berbalik. Kali ini, ia benar-benar keluar dari pintu. Bibirnya melempar satu senyum terakhir sekali lagi sebelum menutup pintu.
Ia menatap langit kekuningan sambil berjalan melewati jalan setapak. Kini, ia tahu harus berbuat apa. Ia belum bisa melepaskan Aria. Ia tidak akan pernah bisa.
Xavier berjalan hingga menuju gerbang keluar. Isi kepalanya tengah memikirkan apa yang harus ia katakan pada Sesilia atau Zenith. Dan kira-kira, respon apa yang akan diberikan orang-orang itu.
"Sudah mau pulang?" Suara berat tiba-tiba menyadarkan Xavier.
Xavier berbalik. Menemukan Phyrius di belakangnya. Lelaki itu meletakan kayu bakar yang tadi berada di pundaknya ke tanah.
Xavier mengangguk. "Ya," jawabnya.
Phyrius memiringkan kepalanya. "Mau minum dulu?"
Kalimat itu membuat Xavier mengangkat alis. Tadi siang, adiknya ini membentak dan memarahi seperti orang gila. Sekarang, tiba-tiba mengajak minum? Tetapi, pada akhirnya, Xavier menganggukan kepalanya.
"Tunggu di sini," ucap Phyrius cepat.
Phyrius berjalan ke arah rumahnya yang tak jauh dari sana. Ia meletakan kayu bakar yang tadi ia bawa-bawa lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama, ia kembali keluar dengan sebotol anggur besar dan dua gelas.
Tanpa banyak bicara, Phyrius membawa botol itu sambil berjalan ke sebuah batang kayu yang dipakai untuk ia duduk. Xavier mengikuti. Duduk di sebelah adiknya yang kini sudah membuka botol dan menuangkan anggur itu di gelas yang kemudian disodorkan pada Xavier.
"Buatan kebun ini?" tanya Xavier sebelum menyesapnya.
Phyrius mengangguk seraya menegak cairan ungu kemerahan yang ada dalam gelas itu. Ia melirik ke arah Xavier yang menegaknya pelan. Benar-benar kualitas seorang pangeran. Sesuatu yang sudah hilang dari Phyrius sejak lama.
"Kupikir kamu akan membunuhku." Xavier berkata dengan kelakar.
"Hampir," balas Phyrius sambil mendecih. Ia kemudian menengok ke arah lain. "Kamu sudah bicara dengan Aria?"
"Ya," jawab Xavier singkat. Ia menatap ke arah cairan kemerahan yang ia minum. Rasanya manis dan sedikit pahit, tidak asam sama sekali.
"Sudah bertemu Ave?" tanya Phyrius lagi.
"Sudah."
Kalimat itu membuat Phyrius diam. Ia tak berkata apapun selain menuang cairan ungu itu lebih banyak ke gelasnya.
Xavier mengulum senyum. Ia mengambil botol yang diletakan di antara mereka lalu menuangkan cairan memabukan itu juga.
"Kamu bisa-bisa tidak sanggup pulang jika minum kebanyakan," nasihat Phyrius.
Xavier tertawa kecil. "Ada prajuritku menunggu di sana. Aku berkata aku ingin menemui Sarah pada mereka."
Phyrius memutar bola matanya. "Kamu bahkan belum berani mengatakan bahwa kamu ingin bertemu dengan Aria, hm?" ejeknya.
"Aku tidak tahu jika Aria ada di sini atau tidak," kilah Xavier. "Aku memang ingin bertemu dengan Sarah untuk bertanya. Walaupun ibu berkata, kemungkinan besar, Aria pasti di sini."
Mata Phyrius membelalak lebar. "Ibu memberitahukannya padamu?" Ia menaikan nada.
"Tidak spesifik. Hanya ia berkata, mungkin, Aria di sini. Ke mana lagi Phyrius akan membawa Aria kalau bukan ke rumahnya sendiri, ya kan?" balas Xavier sambil mengerling penuh ejekan terkait si adik yang merahasiakan pernikahannya dengan Sarah.
Phyrius diam. Ia menatap langit berwarna jingga sambil menghela napas. "Lalu, apa yang akan ingin kamu lakukan kemudian?" tanyanya pasrah. Ia sudah siap jika kakaknya masih sinting dan memilih Sesilia.
Xavier melirik ke arah adiknya sejenak. "Kurasa, kamu tahu tentang aku yang menunda pernikahanku setelah menggantung Sesilia cukup lama." Ia tertawa kecil. "Aku terus dan terus berpikir, apakah aku seharusnya sudah menikahi Sesilia? Tetapi, aku masih terus memikirkan Aria."
Phyrius menarik napas. "Jadi, apa yang kamu putuskan sekarang?"
"Memilih Sesilia?"
Kalimat itu membuat Phyrius langsung membelalakan matanya lebar. "APA?" teriaknya. Ia berdiri, menatap tajam Xavier.
Xavier langsung tertawa melihat wajah Phyrius yang siap membunuhnya. Ia terpingkal hingga jatuh ke tanah. "Tidak! Ya Tuhan! Lihat wajahmu!" Ia tertawa terbahak.
Phyrius mendecih pelan sembari duduk di sebelah Xavier. "Kamu itu gila! Kamu tahu? Kamu bahkan memilih gadis yang tak kamu kenal daripada Aria!"
"Tidak lagi." Xavier mengulum senyum.
Alis kiri Phyrius terangkat. "Kamu yakin?"
Sebuah anggukan penuh kepastian dilakukan Xavier. Ia menarik napas lalu menghelanya keras-keras. "Aku rasa, kamu harus bersiap naik tahta jika sesuatu terjadi padaku. Kamu mengerti, kan?"
Phyrius diam. Menjadi raja adalah keinginan Xavier sejak lama. Kalau Xavier bisa mengatakan hal itu, apakah ia sungguh-sungguh menyatakannya?
"Aku sungguh-sungguh." Xavier seperti membaca pikiran Phyrius. "Aku tahu kamu benci jadi raja. Tetapi, kurasa, kamu harus siap jika itu terjadi karena kali ini, aku memilih Aria."
Phyrius kelu. Ia pikir, kakaknya akan tetap bebal.
"Bahkan, jika Aria ternyata tidak sudi kembali padaku. Aku akan tetap mengetuk dan menunggunya." Xavier tertawa kecil. Menertawakan dirinya sendiri yang terlalu bodoh.
Tanpa menunggu jawaban selanjutnya dari Phyrius, Xavier berdiri. Ia menengok ke arah si adik dengan senyum.
"Aku pergi," pamit Xavier singkat. "Aku titip Aria dan Ave sebentar, ya?"
==Bersambung==
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSIA
RomanceSpin off dari LUCIUSERA (ini tentang Xavier, anak dari Lucius & Sera) ***** Xavier, si putra mahkota yang ditunjuk Ratu Zenith, akan dinikahkan dengan Tuan Putri Sesilia dari Verona demi kepentingan politik. Tak ada yang salah dengan Sesilia. Ia can...