Aria menggeleng pelan sambil berdiri dari duduknya. Ia berjalan keluar dari kamar anaknya lalu duduk di atas meja makan sambil menuntup wajahnya dengan tangan.
Kini semuanya tampak terlalu memusingkan tetapi lebih dari pada itu, semua ini tidak sesuai bayangannya. Ia pikir, Xavier akan kaget atau marah atau apapun. Tetapi, lelaki itu diam dan malah memeluk Xaveria begitu rupa. Sesuatu yang sudah ia bayangkan sejak lama. Bayangan akan keluarga utuh yang seharusnya ia rasakan.
Tiba-tiba sebuah pelukan terasa dari belakang. Xavier di sana. Meletakan dagunya di puncak kepala Aria.
"Xavi," panggil Aria kaget. "Mana Xave?"
"Ave? Nama yang lucu. Kamu sengaja?" ejek Xavier sambil mengeratkan pelukan.
Aria tak menjawab. Ia malas meladeni Xavier.
"Ave sudah kembali bermain," ucap Xavier pelan. Ia menarik napas panjang.
Keduanya sama-sama terdiam. Tak ada yang berbicara.
Tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di puncak kepala Aria. "Maafkan aku," bisiknya pelan.
Aria mendongak. Mendapati Xavier yang mengeratkan pelukannya. "Lepaskan pelukanmu," ucapnya sinis sambil menepis tangan Xavier. Gadis itu berdiri dan menjauh. Ia takut jatuh lagi.
Xavier hanya bisa menarik napas melihat kelakuan Aria. "Ave sangat cantik, ya? Ya, dia benar-benar manis."
Bola mata Aria berputar. "Kamu seyakin itu bahwa dia anakmu?" sindirnya.
"Mau dengan siapa lagi kamu tidur, hum?" balas Xavier mengangkat alis. "Kamu bukan tipe orang yang seperti itu."
Decakan lidah terdengar dari Aria. Xavier memang mengenalnya.
"Lagipula, sudah jelas ada namaku di sana. Nama Xaveria dibuat dulu sekali ketika kamu masih belasan, dan aku tak bisa melupakan nama itu barang sedetik pun." Xavier mengangkat bahu. "Apa kini kamu ingin mengarang cerita bahwa kamu tidur atau menikah dengan lelaki lain lalu menamai anakmu dan lelaki itu dengan nama yang kamu buat bersamaku?"
Aria membuang muka. Matanya mulai berair. Ada perasaan sesak dan sedih yang tidak bisa ia tahan.
Melihat tubuh Aria yang mulai bergetar. Xavier menarik perempuan itu. Memeluknya dengan erat.
Aria jelas menggeliat dan memberontak. Ia berusaha keluar dari pelukan itu. Tetapi, Xavier tak bergerak. Ia makin mengeratkan pelukan. Memaksa Aria untuk menyerah.
"Aku benar-benar tidak tahu, maafkan aku." Xavier berucap lirih. "Kenapa kamu harus merahasiakannya dariku? Kamu tahu aku hidup tanpa ayah ketika masih kecil. Berpikir bahwa ayahku sudah mati. Apakah kamu ingin mengulang hal yang sama?"
Aria diam. Ia menunduk. "Aku... aku tidak mau kamu memilihku hanya karena Ave."
Xavier seperti tertusuk dengan pisau di seluruh dadanya. Ia merasa benar-benar berdosa. Tidak, ia benar-benar bersalah. "Aku tidak akan mungkin..." Omongannya terputus.
"Kalau aku katakan saat itu bahwa ada Ave di dalam rahimku, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Aria pelan.
Xavier diam. Ia pasti akan memilih Aria saat itu juga.
"Aku tidak ingin menjadikan Ave sebagai senjata memenangkanmu." Aria menarik napas. "Jika kamu harus memilih, pilihlah di antara aku dan Sesilia. Bukan antara Sesilia atau aku dan Ave."
Kepala Xavier menggeleng. "Keputusan itu tak bisa dilihat dari sebuah situasi yang terbatas," kilahnya.
"Itu bukan situasi yang terbatas, Xavi. Lagipula, kamu sudah menentukan pilihanmu, bukan? Kamu bahkan memintaku kembali untuk membantu kerajaan kekasihmu." Aria menyindir. "Aku tidak bisa. Kamu tahu alasannya, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSIA
RomanceSpin off dari LUCIUSERA (ini tentang Xavier, anak dari Lucius & Sera) ***** Xavier, si putra mahkota yang ditunjuk Ratu Zenith, akan dinikahkan dengan Tuan Putri Sesilia dari Verona demi kepentingan politik. Tak ada yang salah dengan Sesilia. Ia can...