Xavier duduk di lubang angin besar yang menyerupai jendela di dalam kamar. Sebuah buku bersampul biru tampak berada di pangkuan. Tetapi, matanya tak mengarah ke buku tersebut.
Mata putra mahkota itu tak lepas dari seorang perempuan yang tengah menembakan anak panahnya ke target berbentuk bulat. Beberapa kali tembakan, anak panah itu selalu tepat sasaran.
Lelaki-lelaki lain yang memakai baju zirah dan berdiri di sekitar tampak terkagum. Sedikit kaget dengan kemampuan perempuan yang akan berusia delapan belas dalam beberapa minggu lagi. Sementara, Xavier menatap dengan sorot kebanggaan taktala mengetahui, gadis itu adalah kekasihnya.
Tak lama, latihan tampak terlihat usai. Seluruh peserta pelatihan bubar dari lapangan. Melihat itu, Xavier mengulum bibir. Ia tidak tampak kecewa. Sebaliknya, senyum tampak di wajah putihnya. Dengan bergegas, ia turun dari duduknya.
Kakinya melangkah menuju cermin besar. Ia merapikan pakaiannya lalu buru-buru duduk di sofa besar beraksen biru emas. Tangannya pura-pura membuka buku tetapi hatinya terus menghitung dalam hati. Satu, dua, tiga...
Tepat di hitungan yang ke seratus, suara ketukan pintu terdengar. Xavier berdeham pelan. Memasang wajah sedikit serius sebelum berkata, "Masuk saja, tidak terkunci."
Xavier menahan napas ketika matanya bertemu seorang perempuan berambut hitam legam yang masih disanggul ke atas. Tanpa baju zirah, gadis itu hanya mengenakan manset hitam. Dan percayalah, kain ketat yang membalut tubuhnya benar-benar memberikan cetakan jelas atas bentuknya yang kini sudah sempurna. Lelaki manapun pasti akan menelan ludah, termasuk Xavier.
"Aria." Xavier berkata dengan napas tertahan. Ia tak ingin terlihat terlalu senang, padahal gejolak di dadanya membuncah tak karuan.
Aria menutup pintu. Kakinya berjalan gontai ke arah sebuah lemari besar.
"Sejak kapan kamu berada di sini?" tanya Aria pelan.
"Mungkin, beberapa puluh menit yang lalu." Xavier mengangkat bahu. "Entahlah, aku tak ingat. Aku membaca buku sedari tadi." Lelaki itu mengacungkan buku yang sejujurnya tak ia baca sama sekali.
Aria memutar bola mata. "Kupikir, kamu akan datang saat aku selesai latihan."
Senyum simpul tampak pada wajah Xavier. "Aku suka kamarmu."
"Uhum?" Aria menautkan alis lalu mendecih sebagai isyarat tak habis pikir dengan putra mahkota itu. "Kamarmu lebih besar."
"Ya," jawab Xavier cepat. "Tetapi, aku bisa mencium aromamu di kamar ini, dan aku menyukainya."
Aria menghela napas ketika Xavier berucap demikian. Lima tahun terikat dengan Xavier, Aria sudah tahu benar kebiasaan lelaki satu itu. Kini di tangannya, ia sudah mengambil sebuah tunik tipis berwarna krem.
"Berbalik!" kata Aria dengan nada tajam seperti memerintah.
Xavier berdecak mendengar kalimat perintah itu. Ia membalik tubuhnya walaupun setan sudah menggoda untuk mengintip apa yang gadis itu lakukan. "Sekarang, kamu bahkan bisa memerintahku, Aria," godanya.
Decakan terdengar dari bibir Aria. "Katamu, aku calon ratu Edessa," balasnya sengit.
Xavier hanya tertawa kecil mendengar Aria yang kini punya keberanian. Setidaknya, ia tak usah mendengar panggilan 'Yang Mulia' dari mulut gadis itu di setiap kalimat yang ditujukan padanya.
Xaiver melirik pelan. Ada satu rahasia yang Aria tak tahu. Rahasia yang Xavier pegang rapat-rapat. Cermin yang berada di sisi kamar memantulkan apa yang terjadi di belakangnya. Lelaki itu kemudian membuang muka. Mau berapa kalipun dilihat, Aria tetap selalu menggoda iman.
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSIA
RomanceSpin off dari LUCIUSERA (ini tentang Xavier, anak dari Lucius & Sera) ***** Xavier, si putra mahkota yang ditunjuk Ratu Zenith, akan dinikahkan dengan Tuan Putri Sesilia dari Verona demi kepentingan politik. Tak ada yang salah dengan Sesilia. Ia can...