Bab 22: What To Do?

1.6K 170 5
                                    

Mumpung idenya sedang deras KWKWKWK

*****

Phyrius merangkul Aria pelan untuk masuk ke dalam kamar. Ia mendudukan perempuan itu di tepi kasur sementara dirinya sendiri duduk di atas kursi. Ia melirik ke arah makanan yang belum disentuh sama sekali.

"Kamu belum makan?" tanya Phyrius cepat.

Aria menggeleng. "Aku tidak bisa makan."

Phyrius hanya menghela napas. Ia mendorong meja itu ke depan Aria. Mata hijau lelaki itu bertatapan dengan bola mata Aria yang berwarna hitam gelap. "Makanlah. Aku tidak ingin keponakanku sakit."

Aria diam. Sejujurnya, ia benar-benar tak tahu apa dirinya masih menginginkan anak ini atau tidak.

"Jangan sekali-sekali kamu berpikir untuk membunuh anak itu, Aria." Phyrius berucap tajam seolah bisa membaca pikiran Aria. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu untuk itu. Ia sama sekali tidak bersalah, Aria."

Aria tak bisa mendebat. Ia memegangi perutnya sendiri.

"Sekarang, makan!" perintah Phyrius dengan tajam.

Aria mau tak mau menurut. Ia mengambil alat makan dan menyuap kentang tumbuk dengan daging ke mulutnya. Perempuan itu melihat ke arah Pyrius sejenak. Ia memicingkan mata.

"Kenapa?" tanya Phyrius menyadari dirinya ditatap dengan pandangan aneh oleh Aria.

Aria menggeleng. "Bukankah kamu sudah seharusnya bersiap?" Ia menengok ke arah jam dinding. "Sebentar lagi, makan malam pertunangan Xavier akan dilakukan, bukan?" Ia menatap ke arah Pyrius yang masih mengenakan pakaian santai, bukan formal seperti seharusnya.

Phyrius menggeleng cepat. "Aku tidak diundang."

"Apa?" Mata Aria membelalak mendengarnya.

"Atau lebih tepatnya, aku menolak undangan itu." Ia tertawa kecil di sela-sela kalimatnya. "Jadinya, kurasa, tidak akan ada kursi tersedia untukku."

"Kenapa?" tanya Aria tak mengerti.

"Kenapa? Kenapa apanya?" Dahi Phyrius berkerut. Ia tidak menangkap pertanyaan Aria.

"Ya, kenapa? Bukankah seharusnya kamu datang?" tanya Aria lagi.

Phyrius menghela napas. "Aku pikir, acara itu akan batal." Ia berkata pasrah. "Aku pikir, Xavier bisa menentukan sesuatu yang penting dalam hidupnya."

Aria tercekat. Ia mendengar keputusasaan dari nada bicara Phyrius.

"Tetapi, tidak bisa, bukan?" Tawa mengejek terdengar dari mulut Phyrius. "Aku tidak tahu harus memuji keberanian dan pengorbanannya atau membunuhnya sekarang."

Aria mengangguk paham. Ia kenal betul Xavier luar dalam. Lelaki itu bisa jadi lelaki paling lembut yang paling ia kenal. Dan, mungkin itu letak salahnya.

"Xavier selalu menggunakan akalnya, tetapi tidak punya akal di saat yang sama." Phyrius berucap dengan nada ejekan. "Aku tahu, logis untuknya meninggalkanmu. Dengan segala pertimbangan, menikahi Sesilia akan menguntungkan." Ia diam lalu melirik ke arah Aria. "Maaf, tetapi..."

"Ya, aku mengerti." Aria menghela napas. Menikahi Sesilia punya banyak keuntungan untuk Xavier.

Phyrius menggeleng pelan. "Sejak diputuskan dirinya yang akan menjadi putra mahkota, Xavier jadi agak aneh." Phyrius mendesis pelan. "Ia mencoba menjadi raja yang sempurna. Begini, begitu, melakukan ini dan itu. Mendahulukan rakyat, mendahulukan negara, ia lupa bahwa dirinya itu manusia. Kadang, aku kesal sendiri jika terus memikirkan hal tersebut."

Aria diam mendengar gerutuan Phyrius. 

"Dulu, kami sering bermain bersama. Kamu tahu, kan? Lalu sejak saat ia harus ikut dengan Yang Mulia Zenith, jangankan bermain, bertemu saja sulit!" Phyrius menggerutu lagi. Ia menengok ke arah Aria sejenak. "Kupikir, kamu bisa memberikannya sedikit kesadaran bahwa ia juga seorang manusia yang berhak dengan segala kebahagiaannya."

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang