Bab 35: The Stabber

1.6K 146 3
                                    

Sebenenarnya beberapa bab lagi sebelum tamat, sih. Hehehe

****

Aria duduk di salah satu bangku panjang di taman. Menatap Xaveria dan Theo yang bermain bersama. Wanita itu meletakan buku di pangkuannya. Seraya membaca, ia sesekali mengawasi dua balita yang masih bermain di taman tersebut.

Sarah sedang mengatur pengiriman anggur yang datang ke istana. Ia memang wanita yansg selalu suka bekerja. Phyrius diminta membantu pelatihan keprajuritan sehubungan dengan keberadaan dirinya di istana Edessa—yang sangat langka terjadi beberapa tahun belakangan ini.

Aria tak keberatan. Ia memang tak punya kesibukan berarti. Jadi, ia putuskan untuk menjaga anak-anak ini selagi orangtua mereka bekerja. Lagipula, ia sudah terlalu banyak berhutang pada Phyrius dan sarah.

Sesosok bayangan lelaki yang tiba-tiba duduk di sebelah membuat Aria menengok. Xavier di sana. Tersenyum lembut tanpa melepas pandangannya dari Xaveria.

"Aku mencarimu ke mana-mana." Xavier berkata pelan.

Aria menarik napas. Bingung harus merespon apa.

"Ayah dan ibu mendesakku untuk menikahimu segera." Xavier berkata lagi. "Dan sejujurnya, aku tidak keberatan dengan itu, hanya saja... sepertinya, kamu..."

"Aku belum ingin menikah untuk saat ini." Aria langsung memotong. "Setidaknya, bukan sekarang."

Xavier tersenyum simpul. "Aku tahu tentang itu." Ia menarik napas panjang-panjang. "Sepertinya, aku harus menunggu."

Aria diam. Lagi-lagi tak menjawab. Ia belum ingin seratus persen memercayai Xavier. Ia ingin menunggu sebentar, meresapi semuanya sebelum meutuskan sesuatu yang hanya berlandas perasaan saja.

"Aku akan menunggu." Xavier berkata pasti. "Kini, giliranku yang menunggu dirimu, bukan?"

Aria mengangguk pelan. Ia kembali menatap anaknya yang masih bermain. Xavier juga ikut-ikutan menatap Xaveria. Keduanya diam dalam lamunan masing-masing hingga seorang prajurit menghampiri mereka.

Xavier menghela napas. Waktu tenangnya telah usai. Ia harus kembali pada pekerjaannya lagi.

"Aku harus pergi," ucap Xavier pelan. "Lionel mengajakku bertemu. Mungkin Raja Alderon muak melihatku setelah apa yang telah kuperbuat." Xavier tertawa kecil, seperti menertawakan dirinya sendiri.

Aria untuk kesekian kalinya hanya bisa mengangguk. Ada sebelah hatinya tak ingin melepas Xavier. Ia ingin bercengkrama layaknya orang tua yang membicarakan anak mereka. Tetapi, semua itu tertahan di ujung lidah. Tak bisa ia ungkapkan sama sekali.

"Aku tidak akan lama, kami hanya bertemu di dekat sini, di daerah Rastave." Xavier berdiri, ia mengulurkan tangannya, mengacak-acak rambut Aria pelan. Bibirnya menyungging senyum. "Bahkan jika ada Xaveria sekalipun, kamu tetap anak kecil menggemaskan untukku, Aria." Ia berkata dengan kekehan kecil. "Kalau begitu, sampai nanti."

Tubuh si putra mahkota itu berbalik. Ia tak menunggu jawaban Aria. Lelaki itu berjalan ke arah prajurit yang mengawal lalu berjalan pergi meninggalkan Aria.

Kosong. Rasanya, ada kosong yang kembali hinggap. Tetapi, kali ini seperti sesuatu yang aneh menyergap. Seolah-olah, ada yang salah dengan kepergian Xavier.

Aria menggelengkan kepala sambil kembali menatap Xaveria yang masih berlari-larian dengan Theo. Xaveria tampak terjatuh dan wajah Aria langsung panik seketika. Tetapi, secara cepat, Theo menghampiri adik sepupunya. Sebelum sempat Xaveria menangis, anak lelaki itu sudah membelai rambut Xaveria, menenangkan dan membuat adik kecilnya tak menangis.

Walau begitu, Theo tetap menuntun Xaveria berjalan pelan ke arah Aria. Dari tempat duduknya, Aria diam. Ia melihat lutut Xaveria yang terluka, tetapi, berusaha tetap tenang. Melihat putrinya tak menangis, ia tak boleh gegabah atau terlihat terlalu panik, atau si anak juga ikut menangis—itu yang diajarkan Sarah dulu.

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang