Bab 24: Tidak Ada

1.5K 187 6
                                    

Xavier mengepalkan tangan di dalam kantong celananya. Ia sudah lupa berapa kali ia menghela napas. Di hadapannya tampak perkebunan luas dengan berbagai tanaman buah yang tampak subur. Beberapa petani tampak memetik buah-buahan mulai dari tomat, apel juga anggur.

Kali ini, Xavier mengenakan pakaian seadanya. Kemeja putih dan celana cokelat yang tak begitu mencolok. Walaupun, ia tak yakin bahwa penyamarannya cukup baik, setidaknya, beberapa orang tak terlalu menaruh curiga.

Xavier berjalan di arah jalan setapak menuju sebuah rumah yang terletak di ujung. Rumah itu paling besar di antara yang lain dengan cerobong asap mengepul ke langit biru. Kalau memang benar Aria berada di sini, apa yang akan pertama kali ia katakan?

Lelaki itu berdeham pelan. Ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu dari kayu yang menghalanginya dengan apapun. Tiga kali ketuk, Xavier menunggu.

Suara berlarian terdengar dari dalam. Berikutnya, seorang anak lelaki membukakan pintu. Berusia sekitar tiga atau empat tahun, anak lelaki itu berambut cokelat dengan mata hijau yang menyala. 

"Theo, siapakah yang berada di depan?" tanya sebuah suara dari belakang. Suara itu suara perempuan dan Xavier kenal baik suara itu. Sayangnya, itu bukan suara Aria.

Seorang perempuan berambut kecokelatan dengan bintik-bintik di pipi dan hidungnya keluar. Ia terkejut sejenak sebelum membungkuk hormat. "S-salam, Yang Mulia Xavier."

Xavier memerhatikan perempuan itu lalu anak kecil yang kini tampak ikut-ikutan membungkuk. "Tidak usah terlalu formal begitu, Sarah," ucap Xavier cepat. Ia menelisik ke seisi rumah, berharap menemukan Aria.

Canggung mengisi keduanya. Sarah tampak kikuk didatangi orang sepenting itu.

"Si-silahkan masuk, Yang Mulia. Maaf, saya bahkan tidak mempersiapkan apa-apa." Sarah mempersilahkan masuk Xavier.

Xavier mengangguk pelan seraya menjejakan kaki ke dalam rumah itu. Ia tersenyum pada bocah yang ia lewati. "Apakah ini putramu?"

"Ya, Yang Mulia. Namanya Theo," jawab Sarah pelan.

"Ah, Theo. Namanya yang manis." Xavier mengulurkan tangannya, mengacak-acak rambut anak lelaki itu pelan sebelum duduk di kursi yang telah disediakan.

"Saya permisi sebentar, Yang Mulia. Apakah Yang Mulia ingin minum sesuatu?" tawar Sarah.

Xavier menggeleng. "Tidak usah, Sarah. Ada hal yang lebih penting yang ingin kutanyakan padamu. Duduklah."

Sarah terlihat bingung namun pada akhirnya mengambil tempat duduk di hadapan Xavier. Sementara itu, Theo duduk di sebelah Sarah.

"Ada apa, Yang Mulia?" Sarah memain-mainkan jari jemarinya. Sedikit khawatir dan gugup.

Xavier menarik napas. "Mungkin, ini terdengar gila. Tetapi, apakah kamu tahu di mana Aria berada?"

Sara menarik napas. Ia menggigit bibir atasnya. Diam. Dan diamnya sudah dapat ditebak oleh Xavier.

Si putra mahkota itu masih diam. Ia menunggu jawaban Sarah.

"Saya, tidak bisa menjawab, Yang Mulia." Sarah berkata pelan.

Mendengar itu, Xavier menaikan alis. Ia memiringkan kepala sambil menatap perempuan di depannya. "Seorang putra mahkota memintamu dan kamu tidak bisa menjawabnya?"

Sarah terdiam sambil menunduk. "Maaf jika saya lancang, tetapi, Aria sendiri yang meminta saya untuk merahasiakan ini dari siapapun. Dan saya ingin menghormati keputusan Aria."

Xavier mendecih pelan. Ia menarik napas panjang.

"Saya tahu terkait hubungan Anda dengan Aria. Anda tahu bahwa kami berdua berteman cukup dekat saat di istana." Sarah berkata pelan.

Xavier mengangguk menyetujui ucapan Sarah. Sarah adalah satu orang lain yang tahu terkait hubungannya dan Aria.

"Jika saya boleh tanyakan, bukankah Anda akan menikah dengan Tuan Putri Sesilia? Lalu... mengapa Anda masih mencari Aria sampai kemari?"

Pertanyaan Sarah membuat Xavier terhenyak sebentar. Lelaki itu menarik napas lalu menghelanya keras-keras.

"Aku ke sini dan ingin menemui Aria bukan untuk bercinta, Sarah." Xavier berdeham pelan, menyembunyikan kebohongannya. "Keadaan sedikit genting di Edessa. Dan aku butuh bantuan komandan terbaikku."

Bohong. Xavier ingin memukul dirinya sendiri. Memang, ia juga ingin meminta bantuan soal itu. Tetapi, keinginan terbesarnya hanyalah bertemu Aria. Memastikan sekali lagi perasaannya. Sekali lagi. Ia harus memutuskan dengan benar kali ini.

"Kalau begitu, saya rasa, saya khawatir Aria juga tidak akan bisa melakukan apa yang Anda inginkan," ucap Sarah menjaga nada.

Xavier mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" Nadanya meninggi. Apa-apaan ini? Mengapa semua orang menyembunyikan Aria?

Sarah menunduk. Kilat amarah pada mata Xavier terlalu menakutkan. "Itu..."

"Lebih baik kamu katakan padaku di mana Aria atau--"

"--Atau apa?" Suara berat tiba-tiba terdengar. Seorang lelaki berbaju zirah masuk begitu saja. 

Theo tampak berbinar. Anak lelaki itu berlarian menghampiri sosok yang baru masuk tersebut.

"Ayah!" pekik anak itu sambil langsung memeluk lelaki berbaju zirah tersebut. Dari manapun, lelaki yang baru masuk itu seratus persen mirip dengan Theo. Berambut cokelat dengan mata hijau dan kulit kemerahan. 

Mata Xavier dan lelaki itu saling bertatapan intens. Xavier mengepalkan tangan lalu melirik ke arah Sarah dan Theo yang berada dalam gendongan lelaki itu.

"Sejak awal aku sudah curiga bahwa dia adalah anakmu, Phyrius," desis Xavier pada sosok di hadapannya.

Phyrius mengangkat bahu. "Ia terlalu mirip denganku, bukan?" Ia memiringkan kepala. 

"Kamu benar-benar menikah bahkan tanpa memberitahuku?" Xavier menaikan nada. "Apa kamu benar-benar tidak waras?"

Phyrius mendecih. Ia duduk di sebelah Sarah dengan Theo masih dalam pangkuannya. "Kami menikah di Methia, bukan Edessa. Tidak ada kewajiban untuk aku memberitahukannya padamu."

"Tetapi aku ini kakakmu!"

"Kamu bukan kakakku setelah kamu memutuskan akan menikah Sesilia, Xavier." Phyrius memicingkan mata. "Jadi, apa maumu ke sini?" Phyrius menurunkan Theo sejenak. Dengan gestur kepalanya, ia menyuruh bocah tersebut masuk ke dalam kamar.

Xavier menarik napas. Adiknya ini memang benar-benar bebal. "Aku ingin mencari Aria." 

Phyrius mengangkat alis. "Bukankah kamu sudah mencampakannya?"

"Aku tidak melanjutkan hubunganku dengan Aria, bukan artinya kami bermusuhan, kan?" Xavier menaikan nada. Ia mulai tidak sabar. "Lagipula ada situasi genting, bukankah kamu sudah tahu? Atau kamu pura-pura menutup mata karena meminta pindah tugas ke Methia?"

Tangan Phyrius terkepal. "Sejak awal, aku memang memilih Methia dan aku merupakan tentara kesatuan Methia yang dikirim ke Edessa, Xavi." Ia berkata tajam. "Jadi, tugasku memang menjaga Methia."

Xavier berdecak. Ia tak bisa melawan Phyrius. "Aku butuh bantuan Aria. Ia adalah komandan yang cukup ahli. Ada pemberontakan yang terjadi di Verona dan--"

"--Verona?" Phyrius semakin memanas. "Ada masalah di negara tunanganmu dan kamu meminta mantan kekasihmu? Apakah kamu sudah tidak waras?"

"Ini bukan tentang Verona. Tetapi, beberapa orang melakukan gerilya untuk melawan Edessa di daerah sana dan aku membutuhkan Aria!" Xavier berucap lagi. Ia benar-benar putus asa.

"Kalau kamu memang menemui Aria hanya untuk alasan seperti, kurasa lebih baik kamu pulang, Xavi," usir Phyrius halus. "Aria tidak akan bisa bertarung lagi."

Xavier memiringkan kepala. "Apa maksudmu?" Ia tampak penasaran. "Sedari tadi, Sarah juga berucap demikian."

"Kalau memang Sarah sudah memberitahumu, mengapa masih kamu pertanyakan lagi?" Xavier berdecak kesal. "Pulanglah Xavier. Tidak lucu jika aku harus menyeret putra mahkota keluar pintu, bukan?"

==BERSAMBUNG==

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang