Selamat membaca
====
Aria mengaduk-aduk panci di atas tungku. Wangi sup tercium ke seluruh ruangan. Matanya sesekali awas menatap sebuah kamar dengan pintu yang sedikit terbuka. Ada suara benda-benda dari kamar itu juga celotehan anak perempuan yang berusia satu tahun bermain dengan mainannya.
Sudah hampir dua tahun Aria pergi dari istana. Seperti kata Phyrius, ia meminta ijin untuk pergi ke rumah Sarah dengan tujuan belajar. Walaupun ternyata, ia ke rumah Sarah untuk menyembunyikan kehamilannya, juga anak yang kini ada di dalam kamar itu.
Aria belum tahu kapan ia akan kembali ke istana, mengungkapkan itu kepada publik, pada ibu angkatnya, Zenith, juga, pada Xavier. Apa yang akan lelaki itu katakan? Apakah lebih baik Aria tidak usah memberitahu dan tetap bersembunyi di sini?
Di tempat Sarah pun, Aria belajar banyak hal. Ia juga dipercaya Sarah untuk membantu karena tak ingin tinggal dengan cuma-cuma. Pekerjaannya cukup baik dan ia bisa tinggal di sini untuk waktu yang lama.
Aria menggeleng pelan. Ia belum bisa memutuskan.
Tok! Tok!
Suara ketukan membuat Aria menengok ke arah pintu. Ia memeriksa sekali lagi sup di dalam panci, mematikan tungku lalu berjalan ke arah daun pintu. Ia yakin, itu pasti Phyrius. Pasalnya, hari ini ulang tahun Theo dan lelaki itu akan pulang seawal yang ia bisa untuk merayakan ulang tahun putranya.
Aria sudah lama mengetahui hubungan Phyrius dan Sarah. Phyrius menyukai Sarah sejak dulu, Sarah menyukai Xavier dan Xavier menyukai Aria. Kurang lebih, begitu dinamika yang terjadi.
Tidak, Sarah sama sekali tidak pernah menjahati Aria. Sebaliknya, ketika tahu Xavier dan ARia saling mencintai, ia melepas Xavier. Aria hanya tak menyangka Sarah tiba-tiba bersama Phyrius, bahkan memiliki anak bersama.
Aria sudah menyiapkan ejekan untuk Phyrius tetapi ketika pintu itu terbuka, ia malah mendapati seorang lelaki lain yang berdiri di depan pintu. Seorang lelaki berambut pirang dengan mata biru yang tak dijumpai Aria sangat lama.
"Xavier?" Aria terbata melihat Xavier di depan pintu.
Lelaki itu tersenyum lembut. Amat lembut dan manis. Ia menarik napas ketika aroma sup tercium ke luar rumah.
"Kamu sedang memasak? Sejak kapan kamu bisa memasak?" Tanpa basa-basi, Xavier berjalan masuk ke arah rumah Aria.
Perempuan itu tampak bingung. Ia masih belum bisa mencerna apapun. Mengapa Xavier di sini? Apa yang terjadi?
"Jadi, apa yang kamu masak? Sup labu?" Xavier membuka tutup panci. Melihat sup berwarna oranye yang tampak menggiurkan. "Aku mengenal aroma ini, apakah kamu belajar dari ibuku?"
Aria hanya diam. Ia benar-benar tak bisa menanggapi Xavier sama sekali. Lelaki itu bisa dengan mudah masuk lalu berbicara sesuka hati. Apakah ia sudah gila? Tetapi, kalau dipikir-pikir, Xavier bahkan tidak tahu sama sekali tentang apapun yang terjadi. Sikapnya kali ini, bukan salahnya.
"Kamu diam?" Xavier melirik ke arah Aria. "Biasanya, kamu akan berceloteh panjang lebar."
Aria memutar bola mata sambil menarik napas sepanjang-panjangnya. "Bisakah kamu menjelaskan padaku mengapa kamu berada di sini sekarang?"
Xavier mengangkat bahu. "Aku ingin mengajakmu kembali."
"Kembali?"
"Ya, kami butuh bantuanmu. Verona tengah dilanda banyak guncangan dari pemberontak, kurasa, kamu bisa mengatasinya," bohong Xavier.
Putra mahokta itu masih enggan menyatakan bahwa ia merindukan Aria. Xavier ingin Aria kembali.
Xavier yang biasanya lancar saat berpikir, selalu buntu jika menyangkut Aria. Semuanya terasa membingungkan. Isi kepalanya tak bisa bekerja. Xavier tak tahu bagaimana mengucapkan kata yang tepat. Juga, ia tak tahu bagaimana membujuk Aria kembali. Apakah ia harus memohon? Jika ya, apakah Aria mau menerimanya kembali? Xavier tidak tahu. Jadi, ia putuskan untuk bersikap kasual. Setidaknya, biar Aria kembali ke istana dulu.
Pembicaraannya dengan Sarah membuat matanya terbuka dan pertemuannya dengan Aria beberapa belas menit yang lalu membuatnya sadar satu hal: bahagianya masih dengan Aria.
Walaupun, ia tak tahu atas apa yang akan terjadi. Ia juga tidak tahu bagaimana membatalkan pertunangannya dengan Sesilia tanpa mengganggu kerja sama dengan Verona? Apakah salah jika ia mengorbankan negara demi kebahagiaannya sendiri? Apakah tindakan itu tepat dilakukan seorang putra mahkota?
"Memintaku kembali?" Aria tampak tak senang. "Untuk Verona? Apa kamu sedang bercanda?"
"Aku tidak bercanda! Kamu adalah komandan terbaik, kamu tahu itu, bukan?" tanya Xavier lagi.
Aria menggeleng. "Kamu gila! Aku tidak bisa bertarung lagi."
"Kenapa?"
"Apakah itu urusanmu?" sengit Aria pada Xavier.
Xavier mengerutkan dahi. Matanya menyipit. Nada Aria yang meninggi membuat lelaki itu kebingungan. "Woah, apa yang terjadi? Kamu seperti... tidak suka."
Aria menghela napas panjang. Sangat panjang. "Aku tidak suka? Ya, Xavier! Aku tidak suka dengan kehadiran mu," katanya dengan nada tinggi.
"Apa maksudmu? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?" Kini, kebingungan tergambar di wajah Xavier. Lelaki itu benar-benar tak mengerti. "Bukankah kita berkata bahwa semua akan baik-baik saja? Bukankah kita kembali menjadi teman? Sepupu? Atau apapun hubungan kita yang seharusnya?"
"Ternyata, ini benar-benar mudah untukmu, bukan?" balas Aria dengan sedikit memekik.
"Mudah?"
"Memilih Sesilia daripada aku!" Aria tak peduli. Secara tiba-tiba, emosinya meledak. Sudah dua tahun ia memendamnya. Mengalah dan mengalah. Tetapi kini, semua terasa tak bisa ditahan lagi.
Xavier memijat pelipisnya. "Kamu yang menyatakan padaku bahwa kamu sudah rela, Aria!"
"Dan kamu tidak menahanku sama sekali!" pekik Aria keras.
Sepersekian detik setelah pekikan tersebut, suara tangis bayi pecah dari dalam ruangan. Aria mengangakan mulut. Ia menatap Xavier sebelum berlari ke arah sebuah ruangan dengan pintu sedikit terbuka.
Aria langsung memeluk anak perempuan yang menangis tersebut. Ia mencoba menenangkan gadis kecil itu tetapi tangisan masih terus terdengar.
"Tenang, Nak. Ibu di sini. Apakah kamu kaget?" bisik Aria pelan.
Xavier yang mengikuti dari belakang langsung diam begitu melihat gadis yang dipeluk Aria. Ia mengulum bibir ketika mendengar Aria mengucapkan kata 'ibu'.
Xavier tidak perlu bertanya. Ia sudah tahu jawabannya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan mendekat ke arah Aria dan gadis kecil itu. Tangannya mengambil gadis itu dari pelukan Aria. Ia memeluk anak kecil itu erat-erat.
"Ssh, tenang, maaf, apakah kami mengagetkanmu?" Ia berkata lembut sambil menimang-nimang gadis kecil itu.
Aria tampak kaget. Ia ingin marah. Namun, melihat gadis kecilnya tenang di pelukan Xavier membuat Aria mengurungkan niatnya.
"Siapa namamu?" tanya Xavier sambil membelai rambut ikal berwarna kepirangan milik gadis kecil itu.
"Xaveria," jawab anak itu pelan.
"Xaveria." Xavier tersenyum simpul sambil mengeja nama anak itu. "Nama yang cantik."
Sekali lihat, ia sudah bisa membaca semuanya seperti buku yang terbuka. Anak itu adalah anaknya. Dan ia tak mungkin salah. Nama Xaveria begitu melekat. Xavier dan Aria, Xaveria. Nama itu tercetus dulu sekali ketika keduanya masih berhubungan.
Aria membuang mukanya yang sudah memerah. Matanya memanas melihat apa yang baru saja ia lihat.
"Jadi apa yang sedang kamu mainkan?" tanya Xavier pada gadis kecilnya.
"Itu!" Xaveria menunjuk sebuah boneka.
Xavier mengambil boneka beruang itu dan memberikannya pada Xaveria. "Beruang yang sangat lucu. Sama seperti anak Ayah yang cantik ini." Ia mencubit pelan pipi Xaveria.
Tak butuh waktu lama untuk ayah dan anak itu bermain bersama. Sementara, Aria hanya bisa menghela napas panjang melihat Xavier yang langsung akrab dengan anaknya.
"Kenapa?" tanya Xavier tersenyum kecil melihat Aria yang terus memandang mereka. "Apakah kamu tidak mau bermain bersama, juga?"
Aria mendecih. Apa yang terjadi sebenarnya?
==BERSAMBUNG==
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSIA
RomanceSpin off dari LUCIUSERA (ini tentang Xavier, anak dari Lucius & Sera) ***** Xavier, si putra mahkota yang ditunjuk Ratu Zenith, akan dinikahkan dengan Tuan Putri Sesilia dari Verona demi kepentingan politik. Tak ada yang salah dengan Sesilia. Ia can...