Bab 16: Faraway

1.6K 133 6
                                    

Hai semua, ini aku! Maaf karena aku jadi kurang bisa update tiap hari sesuai janjiku. Aku lagi lumayan sibuk di RL. hiks. maaf ya. Aku akan up setiap dua kali seminggu. Mungkin Senin dan Jumat hehe

===

Aria mengerjapkan matanya ketika pagi menjelang. Kepalanya pusing dan ia merasa mual. Yang pertama ia sadari adalah kulitnya yang langsung bergesekan dengan seprai. Hal selanjutnya, ia merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Punggung telanjangnya bersentuhan dengan kulit manusia yang hangat. Napas orang yang memeluknya pun masih terasa nyata.

Aria berbalik. Matanya membelalak melihat seorang lelaki berambut keemasan yang tidur di sebelahnya.  Lelaki itu masih tertidur lelap dengan wajah yang amat manis seperti anak kecil. 

Tak lama, mata lelaki itu terbuka. Bola mata birunya tampak masih mengantuk. Ia mengucek matanya pelan sebelum tersenyum pada Aria dengan sangat lembut.

"Selamat pagi, Tuan Putri Aria." Ia berucap dengan nada semanis gulali.

Aria menahan napas. "Apa yang kita lakukan?" tanyanya sedikit kaget.

Xavier mengeratkan pelukannya. "Apa kamu benar-benar lupa?" Ia bertanya balik. Suara itu berbisik, menyentuh indra pendengaran Aria pelan.

Aria menggeleng kecil. Ia menatap ke arah Xavier dengan raut bingung. "Maaf, itu..." Wajah Aria sedikit merasa bersalah.

Xavier hanya menggeleng. Ia menarik Aria ke dalam pelukannya. "Tidak, tidak apa-apa. Aku yang seharusnya minta maaf." Ia berkata cepat. "Aku yang tidak bisa menahan diriku."

Perempuan di depannya itu membenamkan wajahnya. Sementara, puncak kepalanya dikecupi Xavier dengan lembut.

"Aku mencintaimu, Aria." Xavier berkata pelan. "Mulai hari ini, kamu hanya milikku." 

Aria mengangguk pelan. Keduanya saling berpelukan satu sama lain. Tak ada yang ingin melepas.

Xavier menengok ke bawah. Menatap Aria sejenak sebelum senyum terkembang di bibirnya. Ia kembali mendekatkan wajahnya, mengikis jarak sebelum mengecup bibir Aria pelan. Pelan dan lembut.

Aria menutup mata. Ia menikmati ciuman Xavier pelan. Rasanya memabukan dan menyenangkan.

Hingga tiba-tiba, Xavier berubah menjadi ganas. Kecupan lembut menjadi ciuman ganas lalu lumatan. Ia benar-benar tak memberikan kesempatan untuk Aria.

Mata perempuan itu membelalak. Ia rasa tampak terkaget dengan kelakuan Xavier yang agresif. Namun lambat laun, ia mulai bisa mengimbangi lelaki itu.

Xavier mulai bergerak lagi. Kali ini, keduanya sama-sama mulai terhanyut suasana hingga... tok! tok! Ketukan pintu terdengar dari luar.

"Yang Mulia Xavier, apakah Anda sudah bangun?"

Keduanya saling bertatapan. Keduanya terlihat sedikit kaget.

"Itu Beth," bisik Xavier. "Tenang saja."

Lelaki itu mengelus rambut Aria pelan. "Ambilah tunikku di lemari, aku akan bukakan pintu untuk Beth." Ia menarik Aria sekali lagi untuk mencium kening kekasihnya sebelum turun dari kasur. Tak lupa, lelaki itu memakai kimono tidurnya sebelum keluar.

Aria menarik napas panjang lalu berjalan turun dari tempat tidur. Gadis itu membuka lemari Xavier perlahan. Ia sudah beberapa kali membuka lemari tersebut. Dengan cepat, ia memilih tunik Xavier yang paling kecil.

Ia menatap ke sekeliling. Hingga, ia menemukan sesuatu di atas meja Xavier. Sebuah sketsa dengan surat kecil di sana. 

Surat cinta. Surat itu ditulis tangan dengan sangat indah. Aria menelan ludah ketika melihat nama pengirimnya. Sesilia.

Aria menghela napas kecil sekali lagi sambil meletakan surat itu di atas meja. Ia belum pernah menuliskan surat cinta untuk Xavier. Bahkan, untuk mengarang kata-kata indah seperti ini saja, sulit.

Suara pintu terbuka terdengar seiring dengan Xavier yang masuk kembali ke dalam kamar. Raut wajahnya tampak sedikit kesal dan merasa bersalah. Dan dari raut itu, Aria tahu, sebuah kabar buruk siap dilontarkan kekasihnya.

"Ada apa?" tanyanya pada Xavier yang terlihat enggan.

Xavier menghela napas. Ia menatap Aria penuh rasa bersalah. "Aku... Aku harus pergi."

"Hm?"

"Tadi Beth menyampaikan pesan Yang Mulia Zenith." Xavier berkata pelan.

"Ibu?" Aria memiringkan kepala. "Apakah ini karena kita kabur semalam?"

Xavier menggeleng. "Bukan, Aria."

"Lalu? Apa?"

Lelaki itu menarik napas. Ia mengambil tangan Aria menggenggamnya erat-erat. "Ia berkata bahwa siang nanti, aku harus pergi mengantar Sesilia pulang ke Verona. Juga... mungkin akan di sana dalam beberapa bulan ke depan." Xavier menengok ke arah lain. Lidahnya kelu karena tak bisa berbuat apa-apa.

Aria menghela napas. Ada rasa kehilangan yang menyergap. Padahal, mereka baru bersama menghabiskan malam bersama.

"Beberapa bulan itu, berapa bulan?" tanya Aria bingung.

Xavier menggeleng. "Aku tidak tahu. Sepertinya, sampai kerjasama dengan Verona selesai atau setidaknya bisa kutinggal."

Aria mengulum bibir. Biasanya, Xavier hanya akan pergi selama beberapa hari. Paling lama satu minggu. Tetapi ini, beberapa bulan? Apakah niatan menjodohkan Xavier akan benar-benar jadi nyata?

"Aku akan berkirim surat ke sini. Aku janji." Ia menatap mata Aria dengan serius. "Aku akan terus mengabarimu."

Aria mengulum senyum getir. "Sayangnya, aku tidak akan berada di sini lebih lama dari dua minggu lagi, Xavier."

Xavier mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" Ia tampak tak mengerti.

Aria menarik napas. Ia menatap Xavier lekat-lekat. "Kamu tahu bahwa aku juga akan dikirim ke misi dan kamp, bukan?"

Mata Xavier membeliak. Ia lupa. Ia benar-benar lupa.

"Aria..." Kalimat itu terputus. Rasanya benar-benar tak bisa ia bayangkan.

"Tak selama dirimu, memang. Dan aku bisa kembali setiap saat. Seperti Phyrius." Aria berucap pelan. "Aku pikir, aku akan pulang setiap akhir pekan. Mungkin juga, kamu bisa bermain ke kamp-ku." Ia terdiam sejenak. "Opsi kedua sepertinya tidak mungkin." Ia tertawa seperti orang bodoh. Tawa dengan tangis tertahan.

Xavier diam. Ia menatap Aria dalam-dalam. "Jadi, kita tidak tahu kapan bertemu lagi?" tanyanya pelan.

Aria mengangguk. "Ya, seperti itu." Ia berkata pahit.

Kini, si putra mahkota tak bisa berucap apapun. Apakah ia lebih baik mundur saja? Apakah ia lebih baik memberontak?

"Hentikan semua pikiran gilamu." Kalimat itu terlontar dari mulut Aria. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan."

Xavier mendecakan lidah. Ia menatap Aria gusar. "Apa yang harus kulakukan? Sekarang, aku benar-benar bingung!" Ia merenggut rambutnya sendiri lalu terjatuh ke tanah. Rasanya, ia benar-benar frustasi.

Xavier mencintai Aria. Xavier ingin semua orang tahu tentang Aria. Tentang hubungan mereka. Tentang apa saja yang baru mereka lakukan. Tetapi, ia tidak bisa melakukan itu. Ia harus dekat dengan Sesilia untuk menjalankan ini dan itu. 

Aria berjongkok. Memegang pundak Xavier pelan. Egonya ingin Xavier bersama dirinya. Tetapi, ia sadar bahwa ia tak bisa mengkerdilkan lelaki di hadapannya begitu. Aria merasa tidak layak. Aria merasa sangat kecil. Xavier seperti pantas mendapatkan yang lebih baik. Xavier berhak mengenal orang lain, perempuan lain, orang yang mungkin lebih sepadan.

"Kita masih bisa bertemu," ucap Aria menenangkan. "Mungkin, tidak bisa tiap pekan. Mungkin, hanya sebentar, tetapi, bisa, bukan?"

Xavier mendongak. Ia menatap Aria dengan pandangan memohon. "Apakah benar?"

Aria mengangguk walaupun ia ragu. "Kamu bisa pulang sesekali, bukan? Kita mungkin bisa mengatur jadwal bertemu dengan surat, nanti?"

Xavier menghela napas. "Percayalah padaku, ini akan sebentar."

Anggukan terlihat dari Aria berikut senyuman di bibirnya. "Ya, Xavier, aku percaya padamu."

==BERSAMBUNG==

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang