Bab 17: And We Meet Again

2.1K 161 5
                                    

Kita akan bertemu lagi.

Kalimat itu seperti sebuah bualan. Dua minggu setelah ulangtahunnya, Aria ditugaskan di kamp selama tiga bulan. Mereka masih bertukar surat satu sama lain. Tetapi, rasa rindu semakin hari semakin memuncak.

Waktu seolah tak pernah ada di pihak mereka. Ketika Aria pulang, Xavier sedang pergi. Ke negara lain atau ke kota lain. Ketika Xavier pulang, Aria yang berada di kamp. Semua itu terasa menyiksa.

Tiga bulan berubah menjadi enam. Lalu berubah menjadi satu tahun. Kemudian, dua tahun. Dan, empat tahun.

Selama itu, keduanya hampir tidak pernah bertemu. Kalaupun bertemu, biasanya hanya satu hari untuk makan siang atau makan malam. Xavier semakin sibuk, Aria juga demikian. Ia naik pangkat dengan cepat. Bukan karena statusnya, tetapi karena kemampuannya. Bahkan kini, posisinya sudah sejajar dengan Phyrius yang lebih tua dan sudah masuk lebih dulu.

Aria kini lebih sering di kamp perbatasan. Pasalnya. daerah perbatasan tiba-tiba berubah sedikit sengit. Ada beberapa pemberontakan terjadi. Bukan pemberontakan besar, memang. Namun cukup mengkhawatirkan.

Tetapi, hari ini, setelah sekian purnama tak bersua, Xavier punya waktu kosong selama dua minggu. Bertepatan dengan itu, Aria akan pulang lebih lama. Lima hari libur, begitu katanya. 

Bukan tanpa alasan tentu saja. Pasalnya, Aria kali ini mendapatkan misi berat. Selama dua minggu, mereka harus mengintai kamp penyusup dan kemudian bergeriliya menghabisi mereka. Misi itu sebenarnya bukan tugas Aria. Tetapi, Komandan Ethan tengah jatuh sakit hingga Aria yang menggantikan.

Jangan tanyakan perasaan Xavier. Ia khawatir luar biasa. Xavier sudah memohon hingga nyaris berlutut agar gadis kesayangannya tak pergi. Mana ada putra mahkota yang sujud begitu? Namun, gadis ini tetap memilih untuk turun. Perintah Yang mulia ratu, katanya. Ah, sial!

Kini, Xavier bingung, bagaimana Zenith tetap tenang ketika putrinya berperang dengan bertaruh nyawa seperti itu? Apakah Aria benar-benar diangkat anak hanya untuk dijadikan prajurit?

Apapun itu, Xavier mencoba sebisa mungkin untuk mengalihkan pikirannya. Jadi, alih-alih khawatir, ia mencoba memikirkan hal-hal apa saja yang ia ingin lakukan bersama Aria.

Xavier punya segala macam rencana di kepalanya. Ia berencana mengajak Aria ke Methia. Ia sudah meminta ijin pada pamannya, Pangeran Aurius juga bibinya Ratu Mauretha untuk memakai rumah liburan Methia. Ia tidak sabar menghabiskan beberapa hari di sana berdua saja dengan kekasihnya tanpa gangguan pekerjaan.

Xavier memain-mainkan jari jemarinya di atas meja dengan gelisah. Ini sudah siang, dan ia menunggu-nunggu seseorang untuk datang. Sedari tadi, ia hanya melirik cemas. Mengkhawatirkan keberadaan Aria.

Ia melirik lagi ke arah jendela. Lalu kembali memangku dagu. Sesekali, ia berpura-pura membaca-baca apapun yang ada di atas meja. Tetapi, pikirannya tak bisa berkonsentrasi sama sekali.

"Apakah batalion Naga belum kembali?" tanya Xavier pada salah seorang pengawal di sana.

Pengawal itu menggeleng. "Belum, Yang Mulia."

Si Pangeran mahkota ini merasa sebal. Ia menarik napas panjang-panjang. Hingga tiba-tiba, ia mendengar derap kuda.

Mata Xavier membelalak. Ia berlari ke arah jendela. Menemukan iring-iringan kuda dengan para tentara yang puluhan jumlahnya.

Lelaki itu menatap prajurit yang berada di paling depan. Senyum Xavier merekah. Ia buru-buru berlari keluar dari ruangannya. Tak peduli jika para pelayan menjulukinya gila atau bagaimana. Ia benar-benar merindukan si komandan yang berada di paling depan itu.

Komandan itu berhenti tepat di depan balai istana. Ia mengangkat topi bajanya, menunjukan wajahnya. Kini terpampang sudah. Seorang wanita berambut hitam legam, dengan bintik-bintik di sepanjang pipi dan batang hidungnya.

Cantik. Satu kata yang Xavier dapat ucapkan ketika melihat gadis itu. Rambut pendeknya memang tak seperti tuan putri. Cenderung rusak dan berantakan. Tetapi, menurut Xavier, gadis itu paling cantik ketika setelah pulang perang.

Dan, senyum itu. Apakah ia menang? Xavier berani taruhan, batalion ini telah memenangkan pertarungan dengan gilang gemilang. Tawa dan senyum perempuan itu menjawab semuanya.

Xavier menarik napas. Berjalan cepat ke arah para prajurit yang seketika memberi hormat. Termasuk si komandan perempuan yang berada di depan.

"Yang Mulia," ucap komandan itu sambil membungkuk. Matanya memandang ke bawah.

Xavier mendecih pelan. Ia benci ketika si komandan tak melihat Xavier sama sekali. Padahal, Xavier ingin sekali memandang bola mata cokelat terang milik perempuan itu.

"Uhum," deham Xavier pelan. "Bagaimana tugas di kamp Aldastar, Komandan Aria?"

Xavier mencoba menjaga nada. Sebisa mungkin memertahankan wibawanya.

Gadis itu sedikit tersenyum geli. Namun, ia juga berusaha berakting formal. "Kami telah membantu pasukan Verona mengusir para pemberontak, Yang Mulia."

Xavier mengangguk. Kabar itu memang kabar baik. Tetapi, kabar paling luar biasa untuknya adalah kepulangan Aria ke rumah.

"Begitukah?" Xavier tersenyum. "Kalau begitu, kau pantas diberikan hadiah."

Aria buru-buru menggeleng. "Kalau ada yang pantas, prajuritku lah yang harus menerimanya, Yang Mulia." Ia berucap sopan dan tenang.

"Ya, tetapi, sebagai seorang pimpinan, kamu pantas mendapatkan sesuatu, bukan?" Xavier mengulum senyum. Ia mengedarkan pandangan. Menatap ke arah anak buah Aria yang mengangguk setuju.

"Saya rasa, Anda pantas menerimanya, Komandan." Suara seorang prajurit membuat Aria menengok ke belakang.

Aria memang tidak pernah mau menerima apapun. Ia lebih memilih membagi dengan para bawahannya. Ia adalah pemimpin yang hebat, terlepas dari statusnya sebagai seorang perempuan. Dan itu, membuat dirinya sangat disegani.

Senyum mengembang di wajah Xavier. "Malam ini, pergilah ke ruanganku." Ia berkata tegas. "Aku akan meminta pelayan memasakan sesuatu yang enak untukmu."

Aria membelalak. "T-tapi..."

"Juga para prajuritmu, berkumpulah di balai makan, para pelayan juga akan mempersiapkan makan malam yang lezat untuk mereka. Kita adakan sedikit pesta kecil menyambut kepulangan kalian semua." Xavier berucap cepat.

Sorak sorai kecil terdengar. Wajah para prajurit itu benar-benar gembira.

Xavier melihat Aria yang canggung. Ia menarik napas lalu memajukan tubuh. Mendekatkan dirinya pada komandan perempuan satu itu. Ia sedikit merunduk. "Aku juga punya hadiah spesial untukmu," bisiknya.

Mata Aria membesar. Ia mendongak ke atas secara refleks. Matanya bertemu dengan Xavier dan langsung membuat pipi keduanya memerah. Pikiran-pikiran tak senonoh berputar ke mana-mana.

Nada, bisikan dan kalimat itu. Semua sudah jelas arah dan tujuannya. Dan Aria, tak bisa sekalipun menyembunyikan gugupnya.

Aria tahu, Xavier merindukannya. Aria tahu, Xavier mengingikannya. Dan Aria tahu, malam nanti bukanlah jamuan biasa yang akan diberikan Xavier.

Ia tahu, apa yang akan terjadi dari senyum Xavier yang kini tampak mengebu.

**BERSAMBUNG**

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang