Bab 30: Dokumen Kecurigaan

1.5K 140 0
                                    

Pagi ini, usai Aria memandikan dan menyuapi Xaveria sarapan, perempuan satu itu membiarkan anaknya bermain di dalam kamar. Seorang gadis muda berada di dalam kamar itu bersama Xaveria.  Emily, namanya.

Gadis muda itu adalah anak dari salah satu pekerja di kebun Farah. Biasanya, ia juga membantu di kebun, tetapi Phyrius meminta tolong Emily untuk membantu Aria agar tidak kesulitan. Walaupun, Aria sudah menolaknya berkali-kali.

Aria menarik napas panjang ketika menengok ke arah salah satu laci di dekat ruang tengah. Ia menarik laci paling atas dan menemukan beberapa surat dari para bawahannya yang dititipkan pada Phyrius. Beberapa ada yang sangat sentimental, menyatakan bahwa mereka merindukan Aria. Tetapi, ada beberapa lain yang seolah-olah memberi laporan di lapangan. Mungkin, itu adalah aksi dari secercah harapan mereka agar Aria kembali. Sesuatu yang jelas tidak akan mungkin terjadi.

Wanita itu mendudukan diri di sofa sambil mensortir surat itu. Aria mengambil tiga buah amplop berwarna cokelat yang dikirim rutin tanggal tiga setiap bulan. Nama pengirim Alexander Thompson tertulis dalam tulisan sambung yang cukup rapi. Tangan Aria lalu mengambil kertas-kertas yang ada di dalam sana. Surat itu berisikan sebuah laporan lengkap tentang apa yang terjadi selama ini. 

Alexander adalah tangan kanannya. Apapun yang terjadi, terutama ketika Aria tak ada, ia selalu melaporkannya pada Aria. Dan laporannya sangat detil dan terperinci persis seperti agenda perang.

Alexander kini ditugaskan di Verona. Ia merunutkan kejadian di Verona dengan sangat rapi. Titik-titik tempat perkara hingga asumsi-asumsi yang dilakukan. Tak lupa, ia selalu meminta nasihat Aria. Tetapi, sayangnya, Aria hanya melipat surat itu tanpa pernah membalasnya.

Hingga suatu hari, tanggal tiga bulan ini, Alexander tak lagi memberikan surat. Bukan karena Alexander sudah bosan. Tetapi, karena prajurit yang paling bisa diandalkan oleh Aria itu mati terbunuh di dalam pemberontakan salah satu titik di Verona.

Aria meremas kertas itu. Rasa berat menggelayut di dadanya. Mungkin... jika saja, ia membalas surat Alexander dan memberitahu apa yang ia pikirkan, mungkin, Alexander bisa terhindar dari kematian.

Suara ketukan terdengar yang terdengar dari pintu mengagetkan Aria. Belum ia berjalan, orang itu sudah membuka pintu. Wajah jahil khas Phyrius sudah berada di sana.

"Aria, sudah kubilang berapa kali, kunci pintumu!" dumal lelaki itu sambil masuk. Di tangannya, ada panci yang  kemudian ia letakan di meja makan. "Farah memasak beberapa makanan dan ia memintaku mengantarkannya..." Ia diam. Menatap Aria sejenak. "Kamu sedang membaca surat dari Alexander lagi?"

Aria mengangguk. Meletakan surat itu di atas meja dengan lemah.

"Jangan merasa bersalah atas itu, Aria." Phyrius menatap iba adik sepupunya. "Kamu tidak bersalah."

Aria menggeleng. "Ya, aku tahu. Aku hanya berpikir tentang sesuatu."

"Sesuatu?" Kini, Phyrius ikut penasaran. Lelaki itu berjalan mendekat sebelum kemudian duduk di sebelah Aria. "Apa yang kamu pikirkan?"

"Xavier menyatakan bahwa pemberontakan selalu terjadi," ucap Aria lirih.

"Lalu?" Phyrius memutar bola matanya. "Bahkan, aku sendiri malas ikut campur. Biar saja Xavier dengan ulahnya sendiri."

"Phyrius!" hardik Aria.

"Apa? Jangan katakan padaku, kamu ingin turun dan bertarung?" terka Phyrius asal.

Aria mendesis. Ia melirik ke arah kamar Xaveria. "Tentu, tidak. Aku punya tanggung jawab terhadap Xaveria."

Ada hembusan napas lega yang terdengar dari mulut Phyrius. Ia tak ingin Aria mempertaruhkan nyawanya lagi.

Hening sejenak terasa di antara mereka. Aria membaca-baca lagi kertas lusuh di tangannya. Ia seperti menganalisa sesuatu.

"Kamu lihat," ucap Aria menunjukan surat-surat itu pada Phyrius. "Setiap tempat yang Alexander laporkan, bukankah itu tempat yang selalu Xavier datangi?"

"Maksudmu?"

Aria menarik napas sambil berdiri. Ia membuka laci satu lagi dan mengambil kertas-kertas lainnya. Phyrius tahu betul kertas itu adalah surat-surat dari Xavier yang juga tak pernah dibalas. Surat itu dikirimkan setiap minggu melalui Phyrius. Dan walaupun si adik sangat kesal dengan kakaknya, ia tetap menyampaikan surat itu pada Aria.

"Pemberontakan bulan September. Di minggu pertama, Xavier meresmikan sebuah dermaga di daerah Stala." Aria bergumam pelan.

"Dan tak lama, daerah Stala mengalami pemberontakan." Phyrius mengurut dagu.

Kini, Aria kembali duduk di atas sofa. "Tak hanya Stala. Areal, Fanza, semuanya bernasib sama. Apakah rakyat setempat tidak setuju? Bukankah proyek itu menguntungkan mereka?"

Phyrius menarik napas. "Tetapi, kudengar, katanya, pemberontakan bukan dilakukan oleh warga setempat."

Aria tersenyum aneh. Ia tertawa kecil dengan nada mengejek kemudian. "Katamu, kamu tak peduli?" ejeknya.

Phyrius hanya menoleh ke arah lain. Wajahnya memerah.

"Menurut Alexander juga begitu, sih." Aria merujuk pada surat terakhir. "Seolah-olah semua sudah direncanakan. Karena setahun dua tahun pertama, semua berjalan baik-baik saja. Tetapi, kenapa?"

"Apa mungkin, karena..." Phyrius menarik napas. "Kehadiran Xavier bisa membuat dirinya menjadi raja di Verona?"

Kalimat itu membuat Aria mengerutkan dahi. "Raja di Verona?"

"Banyak rakyat yang menginginkan Verona menjadi persemakmuran dengan Edessa setelah apa yang Xavier lakukan. Proyek Xavier sangat berhasil." Phyrius berkata pelan.

"Tetapi, bukankah, penyatuan Verona dan Edessa memang sangat mungkin dilakukan?" tanya Aria sambil mengerutkan dahi.

Phyrius memiringkan kepala. "Maksudnya?"

"Xavier juga akan menikahi Sesilia, bukan?" Aria diam. Menelan ludah pahitnya sendiri. "Atau, tidak?"

Phyrius menggelengkan kepala. Ia lalu menjulurkan tangannya dan mengacak-acak rambut Aria pelan. "Apa yang kamu inginkan? Kamu ingin dia menikahi Sesilia?"

Aria menggeleng kecil. Ia tak punya jawabannya. Apakah ia benar-benar ingin Xavier kembali? Aria bahkan belum memutuskan.

"Tetapi, seseorang yang tidak ingin Xavier berada di Verona. Siapa?" Phyrius memangku dagu sambil berpikir.

"Orang yang tidak ingin Xavier mengambil alih Verona." Aria ikut bergumam sendiri. Berpikir macam-macam tentang siapa yang bisa ia curigai.

Sementara itu, istana tampak huru-hara. Xavier merunduk sementara wajah raja Verona tampak benar-benar marah. Bagaimana tidak? Xavier tiba-tiba membatalkan sepihak pertunangannya dengan Sesilia!

"Maafkan saya, Yang Mulia. Tetapi, saya rasa, saya tidak bisa mencintai Sesilia sama sekali." Xavier mengeratkan kepalan tangan. Ia membulatkan tekadnya kuat-kuat. Bahkan, jika Zenith harus tahu akan hal itu.

Sesilia terlihat menenangkan ayahnya. Tetapi, sang ayah tak juga tenang.

"Aku rasa, aku akan membicarakan ini pada Ratu Zenith. Aku lebih baik pergi sekarang!" Kalimat itu menjadi penutup Raja Verona sebelum pergi keluar ruangan. Xavier saling lirik dengan Sesilia sejenak sebelum perempuan itu ikut keluar.

Kini, Xavier hanya menghela napas. Ia tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tetapi, ia rasa, keberanian yang ia kumpulkan kini membuat satu langkah berarti untuknya. Ia mencintai Aria. Kali ini, ia akan benar-benar memperjuangkan apapun untuk Aria.

**BERSAMBUNG**

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang