Bab 23: Kebahagiaan

1.8K 179 15
                                    

Selamat berakhir pekan! 

*****

Xavier memijat pelipisnya. Ia memandang laporan yang baru saja diberikan. Surat dari beberapa proyek di daerah Verona. Beberapa bawahannya menyatakan bahwa ada pemberontakan yang terjadi terus menerus. Entah itu dari para pekerja ataupun dari orang lain. Tak hanya sampai situ, ada juga perompak yang merebut hasil laut ynag seharusnya dikirim ke Edessa.

Sudah beberapa tahun sejak kerja sama antara Verona dan Edessa berlangsung. Kerja sama itu cukup menguntungkan, memang. Tetapi, di saat yang sama, pemberontakan dan kekacauan semakin banyak terjadi.

"Xavi, kamu masih sibuk?" Sebuah suara lembut menyadarkan Xavier dari isi kepalanya yang berantakan.

Xavier mendongak. Ia menemukan ibunya yang membuka pintu. Wangi masakan mengudara ke mana-mana.

Ia menatap sekelilingnya. Padahal, awalnya, ia berencana pulang ke rumah Methia untuk berlibur. Sialnya, ia masih harus bekerja.

Xavier mengangguk pelan seraya keluar bersama ibunya. Di atas meja makan, tersaji makanan kesukaannya, tomat dengan telur serta roti yang baru selesai dipanggang.

"Kamu terlihat amat kelelahan? Apakah kondisi kerajaan baik-baik saja?" tanya Sera sembari duduk di kursinya. "Ayahmu juga bolak-balik ke istana Edessa beberapa hari ini."

Xavier mendengkus pelan sambil meletakan tubuhnya di kursi. "Ya, beberapa masalah."

Sera menghela napas seraya mengambil sendok dan menyuap makanannya. Wajah putranya amat pucat dan tampak lelah.

"Kamu bisa beristirahat jika kamu mau, Xavi. Aku yakin, Zenith tidak akan keberatan." Sera berucap pelan.

Xavier menggeleng kecil. Pekerjaannya cukup banyak. Ia tak ingin menunda-nunda.

"Atau mungkin, kamu bisa menghabiskan waktumu dengan Sesilia," usul Sera tiba-tiba.

Xavier beku. Sesilia. Pertunangan mereka memang dilaksanakan cukup lama. Dua atau tiga tahun lalu. Setelahnya, mereka masih berhubungan. Tetapi, seperti itu saja. Datar dan tak ada apapun yang terjadi. Xavier bahkan belum pernah mencium Sesilia sama sekali. Ia mencoba menjaga jarak, menyatakan bahwa itu bukan hal yang pantas, atau apapun yang bisa ia jadikan alasan.

"Zenith menyuruhku bertanya kapan kamu akan memutuskan untuk menikah dengan Sesilia." Sera berucap pelan.

Xavier menarik napas. Ia menatap langit-langit.

"Ketika pertunangan pun, kamu harus didesak. Begitupula dengan sekarang ini. Ada apa, Xavi?" Sera bertanya dengan hati-hati.

Xavier hanya bungkam. Ia merasa kelu mengucapakannya.

"Apakah kamu masih mencintai Aria?"

Kalimat tanya yang diucapkan sang ibu membuat Xavier mendongak. Mata birunya bertatapan dengan sang ibu. Dan Sera sudah tahu jawabannya.

"Benar, rupanya." Sera menyimpulkan.

Xavier menunduk. Setelah pertunangannya, Aria tiba-tiba menghilang. Tidak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu. Tidak ada yang mau memberitahu Xavier juga. 

Awalnya, Xavier pikir, Aria butuh waktu menenangkan diri. Tetapi, sudah selama ini, ke mana perempuan itu berada?

Tak hanya hubungannya dengan Aria yang berantakan, hubungan Xavier dengan Phyrius hancur lebur. Lelaki itu memilih untuk tak berbicara dengan Xavier sama sekali. Phyrius juga tidak pernah pulang ke istana. Xavier pikir, Phyrius pulang ke rumah orangtua mereka, tetapi, Phyrius jarang sekali berkunjung.

"Kalau dari awal kamu masih mencintai Aria, untuk apa kamu menerima pertunangan dengan Sesilia?" tanya Sera tak habis pikir.

Xavier mengangkat bahu. "Ibu, aku ini calon raja." Ia memejamkan mata. "Apapun yang aku lakukan, semua itu tak bisa semena-mena."

Sera mengangkat alis sambil memangku dagu. Ia menatap putranya lekat-lekat.

"Banyak peraturan, banyak halangan. Aku tidak yakin jika harus melanjutkan bersama Aria." Xavier menarik napas. "Bukan artinya aku tidak mencintainya. Aku sangat amat mencintainya, tetapi, apakah aku mampu melawan semua yang akan datang di depanku nanti? Apakah kita bisa? Aku bahkan tidak tahu. Lebih dari itu, aku bertanggung jawab atas ratusan ribu rakyat, Bu. Ini bukan sebuah hal kecil."

Sera menghela napas pelan. "Tetapi, kebahagiaanmu bukan sebuah hal kecil juga, Xavi."

Seketika, Xavier terlonjak. Ia tertegun.

"Aku dan ayahmu selalu mengajari kalian satu hal: hiduplah dengan bahagia." Sera berkata dengan senyum terkembang. "Kejarlah apa yang membuatmu tertawa dan tersenyum hingga akhir hidupmu, Xavi. Itu yang membuat ayahmu memutuskan melepas jabatannya. Pada akhirnya, ia menjadi raja hanya untuk menyelamatkanku, dasar orang gila! Padahal, ia sebenarnya mendambakan hidup yang normal tanpa gelar."

Kepala Xavier menunduk. Ia tahu jelas apa yang si ibu maksud. "Te-tetapi, menjadi raja adalah salah satu impianku. Aku ingin membuat semua orang bahagia, Bu."

"Tetapi, apakah kamu bahagia?" tanya Sera.

Xavier diam. Apakah ia bahagia? "Aku bahagia," jawab lelaki itu akhirnya.

"Kamu bahagia menjadi raja. Ya, tetapi, apa kamu bahagia hidup dengan Sesilia?" Sera bertanya lagi.

Tarikan napas Xavier tertahan. Tidak. Itu sudah jawaban absolut.

"Aku tidak membenci Sesilia. Ia gadis yang manis dan aku menyukainya. Aku rasa, kamu juga tidak membenci perempuan itu. Tetapi, rasa sayangmu pada Aria jauh lebih besar, bukan?"

Tebakan ibunya terasa tepat sasaran. Xavier hanya bisa mengaduk-aduk makanannya. Ia benar-benar kalut.

"Tetapi, aku saja tidak tahu di mana Aria berada." Xavier menunduk pelan. Semua itu terasa percuma. Aria sudah pergi, Phyrius membencinya, apa lagi?

Sera mengulum senyum. Ia menatap putra sulungnya lembut. "Kalau kamu tahu di mana Aria berada, apakah kamu mau mendatanginya?"

Hening. Xavier bahkan tidak tahu apa yang akan ia perbuat.

"Mungkin?" jawab Xavier akhirnya. "Tetapi, ibu bahkan tidak tahu juga ke mana Aria. Yang tahu hanya Yang Mulia Zenith yang sepertinya juga enggan memberitahu."

Sera tertawa. Ia berdiri dan kemudian pergi ke sebuah lemari kecil yang menempel ke dinding. Ia menarik salah satu lacinya. Mengacak-acak isinya lalu mengeluarkan secarik kertas lusuh sambil tersenyum senang.

Xavier menatap dengan cemas. Ia tak ingin berasumsi, tetapi, ia ingin percaya bahwa apa yang ia pikirkan itu benar.

Tangan Sera mengulurkan secarik kertas itu pada Xavier. Sebuah alamat yang Xavier kenal betul. Perkebunan di Methia yang jaraknya tak jauh dari tempatnya menapakan kaki sekarang. Ini perkebunan milik Sarah. Tetapi, kenapa sang ibu memberikannya alamat perkebunan Sarah?

"Ibu, ada apa dengan perkebunan milik Sarah?" tanya Xavier bingung.

Sera tersenyum kecil. "Kalau memang yang membantu kepergian Aria adalah Phyrius, Aria mungkin berada di tempat Sarah."

Seketika, Xavier terlonjak. Ia seperti tertampar fakta. Sarah adalah satu-satunya teman dekat Aria. Kalau Aria kabur, mungkin, ia pergi ke tempat Sarah. Kenapa Xavier bahkan tidak terpikir sama sekali?

Tiba-tiba, ia kelu. Xavier memangku dagu. Sedikit ragu apakah ia harus menyusul Aria ke sana atau tetap menjalankan perannya. Lelaki itu memain-mainkan jarinya di atas meja sambil mendengkus keras-keras.

"Kamu bisa tentukan sendiri pilihanmu, Xavi." Sera berucap sambil kembali duduk di kursinya. "Kalau kamu ingin menyusul Aria, Ibu dengan senang hati mendukungmu."

Xavier menunduk. "Tetapi, bagaimana dengan rakyat? Bagaimana dengan tanggapan tetua dan Yang Mulia Zenith?"

Sera mengulurkan tangan, membelai rambut keemasan milik anaknya yang sudah berusia di akhir dua puluhan itu. Menurut Sera, Xavier tetap bayi kecilnya dan itu tak berubah. "Aku dan ayahmu selalu ada untukmu. Kami selalu terbuka untuk apapun keputusanmu, Xavier."

**BERSAMBUNG**

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang