Zenith menganga sementara Lucius menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Aria adalah keturunan bangsawan Edessa sebelum diangkat Zenith, itu membuat anak mereka akan lebih banyak memiliki fitur Edessa.
Tetapi bukan itu permasalahan utamanya. Xavier dan Aria? Sejak kapan?
Mereka tidak bodoh untuk tidak mengendus hubungan spesial itu. Hanya saja, mereka pikir, semua sudah berakhir. Ditambah dengan Xavier yang mengiyakan pertunangan dengan Sesilia, asumsinya, hubungan itu sudah kandas sejak beberpaa tahun lalu.
Lucius tiba-tiba berdiri dari kursinya. Walaupun usianya sudah lima puluhan, ia masih berjalan tegap ke arah anak sulungnya sebelum, bugh! satu tinju melayang ke pipi Xavier yang langsung terhuyung ke samping.
"Ayah!" pekik Phyrius kaget. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat ayahnya memukul Xavier. Jangankan memukul, memarahi saja tak pernah. Timpang kutub utara selatan dengan Phyrius yang selalu dimarahi setiap saat akibat kenakalannya saat remaja.
Sera yang biasanya menengahi ketika Lucius memarahi anaknya kini diam tak ikut campur. Phyrius yakin, ibunya juga kini sama kalut dengan ayahnya.
"Kamu gila?" teriak Lucius keras. Matanya menyala marah. "Kamu menghamili Aria lalu meninggalkannya begitu saja?"
"Itu--"
"--Apa kamu tahu bagaimana aku merasa bersalah ketika meninggalkanmu? Bukankah kita sudah sering membahas ini sebelumnya, Xavi?" Tanpa memberikan kesempatan untuk Xavier, Lucius terus memarahi.
"Saya yang memang tidak memberitahu Xavier, Yang Mulia Lucius." Kalimat lirih Aria membuyarkan semua orang.
Aria berdiri bergetar. Sedikit takut karena tak pernah melihat Lucius semurka itu sebelumnya.
"Saya memang tidak memberitahukannya pada Xavier." Aria mengulang pernyatannya. "Xavier baru tahu beberapa hari lalu."
Lucius menggeleng pelan. "Tidak memberitahukan pun, Xavier seharusnya sudah tahu, ia tak boleh pergi ketika sudah pernah melakukan hubungan dengan seseorang. Apa aku kurang keras mengajarimu tentang komitmen, Xavier?"
Xavier tak menjawab. Ia sudah tahu sejak awal, itu semua salahnya. Dari dulu, ayah dan ibunya mengajarkan komitmen pada satu pasangan. Apalagi, jika pernah menidurinya. Menikah atau tidak secara hukum, Xavier sudah harus terikat dengan perempuan yang ia jamah tubuhnya. Apalagi, jika perempuan itu sampai hamil dan memiliki anak.
"Apa kamu pikir jadi raja artinya bisa seenaknya?" marah Lucius lagi.
Xavier tak berkutik. Ia kelu.
Phyrius tak membela. Ia membiarkan Lucius menghajar kakaknya. Kalau perlu, biar saja kakaknya mati sekalian. Sementara, Sera hanya bisa menahan napas dan amarah bersamaan.
"Cukup, Lucius." Zenith menghentikan adiknya.
"Anak ini perlu diajari, Zenith!" teriak Lucius tak terima. "Dia anakku yang sayangnya tidak sepintar yang aku kira."
"Ya, dan Aria putriku," balas Zenith kencang.
Aria putriku. Kalimat itu membuat Aria diam. Semua orang terlihat biasa saja mendengarnya. Tetapi tidak untuk Aria. Ada perasaan yang berbeda menggelayut di dadanya.
"Aku lebih ingin membunuhnya daripada dirimu. Tetapi, tidak dengan cara seperti ini," lanjut Zenith.
Lucius menarik napas. Ia melihat Xavier dengan pandangan tajam. Kecewa dan marah juga putus asa bercampur menjadi satu. Ia merasa gagal.
"Duduklah, Aria." Sera berucap dengan tenang. Ia melirik ke arah suami dan anak-anaknya. "Kalian juga."
Mereka yang masih berdiri itu mau tak mau duduk di atas kursi masing-masing. Makan siang yang berada di depan mata kini tak lagi menggugah selera. Amarah dan ketegangan terasa di ruangan itu.
Xavier merunduk. Ia tak bisa dan tak berani menatap siapapun. Xaveria masih di pangkuannya. Anak kecil itu tak ingin pindah atau bersama Aria.
"Ia anak yang manis," bisik Sera pelan pada anak sulungnya. "Sangat mirip denganmu."
Xavier lagi-lagi tak bisa berucap. Semuanya terasa berat untuk lelaki itu.
"Sebenarnya, aku di sini untuk membicarakan keputusan Xavier yang seenaknya memutuskan pertunangannya dengan Sesilia," ucap Zenith sambil berdeham. Ia menarik napas, melirik ke arah Xavier lalu Aria. "Tetapi kini, aku tahu jawabannya."
Keduanya seperti tengah diadili. Diam tak bergerak.
"Ada alasan mengapa Alderon sangat ingin menikahimu dengan Sesilia. Dan kurasa, kamu sudah tahu jawabannya, Xavier." Zenith menarik napas panjang.
Xavier mengangguk pelan. Kini, seluruh partisipan ruang itu menatap dirinya penuh tanda tanya.
"Raja Alderon tak ingin meneruskan tahtanya pada Lionel." Xavier mengucapkannya dengan pelan. Pelan tetapi cukup terdengar.
Phyrius yang baru tahu akan hal itu langsung membelalakan mata kaget. Ia kenal Lionel. Setidaknya, mereka beberapa kali bertemu. Lionel adalah lelaki paling ambisius yang pernah ia temui. Sebelas dua belas dengan Xavier yang sama-sama ingin menjadi raja. Apa yang Raja Alderon pikirkan?
"Karena Alderon tidak ingin menurunkan tahtanya apda Lionel, ia pikir, ia bisa membangun afiliasi dengan Edessa," jelas Zenith langsung. "Atau menggabungkan kerajaan. Kami membicarakan itu selama bertahun-tahun dan dengan ini semua... maka..."
Zenith tak melanjutkan kata-katanya. Mereka semua sudah tahu kelanjutannya. Alderon marah besar dan segalanya berantakan ke segala arah.
Tidak ada pikiran untuk Zenith menjodohkan Xavier dengan Sesilia pada awalnya. Tetapi, ketika melihat kedekatan mereka berdua, Alderon tiba-tiba mengusulkan ide itu. Mungkin, jika Zenith tahu bahwa Xavier dan Aria masih berhubungan, ia akan menolak dengan segera.
"Biar kuperjelas, Xavier akan menikah dengan Sesilia dan Edessa Verona akan bersatu, begitu?" Tanpa banyak basa-basi, Phyrius langsung berkata pada intinya.
Xavier menghela napas. Ia muak dengan tatapan penuh amarah dari semua orang. "Aku hanya ingin memprioritaskan rakyat daripada orang lain. Kerja sama dengan Verona menguntungkan dan menggabungkan kerajaan bukan ide yang buruk. Keuntungan yang bisa didapat lebih banyak. Kalau saja--"
"--Kalau saja Aria tidak hamil, begitu?" potong Phyrius kesal. Ia belum sempat meninju kakaknya lagi. Habis, sudah keduluan ayahnya.
"Tidak sama sekali!" tolak Xavier keras. "Jika aku tahu lebih awal, aku tidak akan menyetujui apapun."
"Seharusnya bahkan kamu tidak menyetujui rencana itu jika kamu masih berhubungan dengan Aria!" Phyrius makin memanas.
Lucius berdecak. Ia melempar garpu dan sendok ke atas meja, menimbulkan suara keras karena dua benda besi itu saling beradu dengan meja kayu. Xavier dan Phyrius membungkam mulut masing-masing. Ayahnya sudah marah.
"Aku tidak nafsu makan sama sekali, bisakah kita bicarakan nanti?" Lucius menghentikan segala pembicaraan. Ia berdiri dari kursinya lalu pergi. Sebelum pergi, ia kembali menatap Xavier sekali lagi dengan satu helaan napas penuh kekecewaan. Sesuatu yang bisa ditangkap Xavier dengan sangat jelas.
Sera hanya menarik napas. Ia tahu, Lucius kecewa. Wanita itu tersenyum sebentar pada Zenith sebelum berdiri dan menyusul Lucius.
Ruang makan itu hening. Sepertinya, rapat keluarga kali ini tak akan jadi sebuah pertemuan yang menyenangkan.
==BERSAMBUNG==
KAMU SEDANG MEMBACA
ECLIPSIA
RomanceSpin off dari LUCIUSERA (ini tentang Xavier, anak dari Lucius & Sera) ***** Xavier, si putra mahkota yang ditunjuk Ratu Zenith, akan dinikahkan dengan Tuan Putri Sesilia dari Verona demi kepentingan politik. Tak ada yang salah dengan Sesilia. Ia can...