Bab 9: Pertengkaran

1.7K 149 5
                                    

Aku kok tim Phyrius? hehe

*****

Di sebuah lapangan besar, dua orang anak lelaki berusia belasan berdiri berdampingan dengan tunik biru tua dan hitam. Masing-masing tengah memegang busur yang ukurannya bahkan lebih besar dari tubuhnya mereka. Seorang lelaki berseragam militer tampak mengawasi mereka berdua.

Yang pertama, si anak lelaki bertunik hitam yang lebih muda. Ia maju ke depan, mengarahkan anak panah ke arah target.

Sst!

Panah meluncur begitu saja. Tepat mengenai sasaran berwarna merah.

Wajah senang dan puas tampak dari si anak bertunik hitam itu. Ia tersenyum amat lebar. Matanya memerhatikan ayah dan ibunya yang berdiri di samping. Juga bibinya dan seorang anak perempuan berambut hitam pendek yang berdiri di sisi mereka.

Ia merasa amat bangga. Sayangnya, wajah kedua orangtuanya tampak berbeda.

Wajah itu. Wajah khawatir. Bukan, ia bukan mengkhawatirkan si anak yang berhasil.

Mata pasangan itu melirik ke arah anak lelaki yang lebih tua. Ke arah yang berambut pirang dan bertunik biru yang kini tengah memegang busur dan anak panahnya.

Tangan anak itu gemetar. Ia berusaha melemparkan anak panahnya dari busur. Tetapi, tarikannya terlalu lemah. Berakhir dengan anak panah yang jatuh lemah ke tanah.

Lima kali dan kelimanya jatuh ke tanah yang tak jauh dari mereka. Sementara, ia tidak berhasil, tangan si rambut pirang itu secara tiba-tiba bergetar hebat. Disusul dengan erangan dan rintihan.

"Xavier!" Teriakan si ibu menyeruak di udara. Si ibu berlari amat cepat merengkuh anaknya yang kesakitan. Sementara, si ayah berlari di belakang.

Pasangan itu terlalu khawatir. Hingga melupakan seorang anak lain yang tengah menggigit bibir berharap dipuji.

"Kamu hebat." Suara lirih dan tulus terdengar dari samping.

Anak yang berhasil mencetak lima angka sempurna dalam tembak panah itu menoleh. Di sampingnya, tampak si anak perempuan tersebut. Tidak seperti para orang dewasa, anak itu malah berdiri di sebelahnya.

"Aku... Aku ingin sekali mengalahkanmu nanti, Phyrius. Kamu benar-benar hebat," ulang gadis itu lagi.

Phyrius tersenyum kecil. "Ya, aku juga tak sabar melihatmu jadi hebat, Aria."

*****

Phyrius melambaikan tangannya pada Aria ketika mereka berpisah taktala gadis itu akan menuju ke kediamannya. Lelaki itu tersenyum. Menatap Aria hingga masuk ke dalam pintu sebelum berbalik.

Mata elangnya melirik ke kiri dan ke kanan. Menarik napas panjang-panjang lalu berdeham pelan. Ia berjalan menuju ke arah kediamannya yang terletak di sayap lain.

Suara derap langkah terdengar di lorong yang seluruhnya terbuat dari batu. Mengingat tak ada orang di sana, langkah itu jadi lebih menggema.

Phyrius menarik napas ketika sudah sampai di depan pintu kayu kamarnya. Ia mendesis.

"Aku tahu, kamu mengikutiku dari tadi, Xavier."

Suara decapan lidah terdengar berikut dengan helaan napas. Phyrius berbalik dan menemukan Xavier yang keluar dari belakang tiang batu.

Ketegangan meliputi dua pangeran itu. Keduanya saling bertatapan satu sama lain. Phyrius tampak ingin membunuh Xavier saat itu juga.

"Apa maumu? Kenapa malah mengikutiku?" tanya Phyrius dengan nada kesal. Ia menatap ke arah Xavier dengan mata menyipit. "Bukankah seharusnya kamu bertemu Aria lalu minta maaf? Katakan padanya kamu akan menjadi pasangan dansanya."

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang