🌰03

15K 1.4K 69
                                    

Kalivia berdiri gugup sementara sang guru nampak mengamatinya dengan sorot tajam.

"Bersihkan wajah kamu sekarang." sang guru BK memberi sebuah tisu basah yang segera Kalivia terima.

"Habis ini gitar saya dikembalikan kan Pak Oke?" tanya Kalivia penuh harap.

"Bapak akan kasih. Tapi harus orang tua kamu yang ambil. Dan sekali lagi, jangan panggil saya pak Oke. Nama Saya Eko." tekan sang guru itu tanpa menyembunyikan kekesalannya pada suaranya.

Kalivia menelan ludahnya susah payah. Ia tak mengangguk tapi juga tidak menggeleng. Terpenting baginya adalah bagaimana bisa keluar dari ruangan ini tanpa kekurangan satupun.

Selain gitar, ada headbeand serta tindik telinga yang disita. Kalivia tidak bisa membayangkan tentang kedua orangtuanya mengetahui ini.

"Kalo mau jadi preman jangan di sekolah. Heran murid jaman sekarang." ujarnya sambil menggeleng prihatin. Kalivia yang membersihkan wajahnya diam-diam mencebik.

Andai bapak tau, banyak murid di sini yang cipokan di belakang kelas. Batinnya menghapus noda hitam di bibirnya.

Ternyata Kalivia butuh berlembar-lembar tisu sebelum akhirnya wajahnya benar-benar bersih.

"Sudah, Pak." lapornya menaruh tisu basa itu di atas meja. Tak lupa Kalivia membuang tisu yang ia pakai sebelumnya ke tong sampah.

"Ya udah, lain kali jangan ulangi. Sekarang keluar." tuturnya mengusir Kalivia yang sangat berat hati meninggalkan ruangan. Pikirannya sekarang tertuju pada gitar ayahnya. Bila Rei tau Kalivia membawa benda itu kesekolah maka bisa dipastikan Kalivia akan hidup tanpa ponsel selama dua hari.

Membayangkannya Kalivia menggeleng keras.

"Ini semua gara-gara Irena." dumelnya membuka pintu tetapi tak lama Kalivia terjengkang mendapati sosok Zean yang berdiri di samping pintu seraya bersandar pada tembok.

Sejenak, Kalivia merasa terpukau melihat sosoknya. Seperti lukisan nyata yang sayang bila dilewatkan.

"Udah beres?" tanyanya dengan intonasi lembut sekaligus menyadarkan Kalivia dari keterpakuannya. Terlihat pria itu mengamatinya dari atas ke bawah.

Mengerjap sejenak, Kalivia menatap Zean rumit. Satu ide mendadak muncul di otaknya.

"Zean," Kalivia memegang erat lengan Zean tak lupa memasang sorot harap di sana.

"Ya?" raut Zean sangat bingung dan bertambah bingung saat wajah Kalivia maju beberapa centi. Perasaan beberapa saat lalu Kalivia masih menggonggong padanya.

"Bantu aku, ya? Tolongggg banget ambilin gitar papa di dalam." pintanya memelas. Kalivia tidak punya pilihan lain, karena sekolah ini adalah sekolah milik keluarga Zean. Jadi otoritas Zean cukup berpengaruh di sini.

"Mau ya? Ya ya ya. Pak Oke ganas, aku seperti mau ditelan idup-idup tadi." akunya tak berhenti menggoyang-goyangkan lengan Zean.

"Emang seberharga itu gitar bokap lo?"

"Banget! Asal tau aja, gitar itu adalah warisan turun temurun dan sudah dianggap anak pertama. Jika di kasih pilihan, pasti papa pilih anak sulungnya dibanding aku," curhat Kalivia dengan tampang nelangsa. "Jadi, aku minta tolong banget, ya. Tolong ambilin gitar papa, plisss."

Kalivia menangkup kedua tangannya di depan dada. Berharap semoga saja Zean luluh dan sepertinya berhasil saat melihat Zean mengangguk. Kalivia tersenyum sumringah, akhirnya beban di pundaknya terangkat juga.

"Makasih, My FiFin—. Duh bahasa inggrisnya tunangan apa sih?" di saat seperti ini, Kalivia menyalahkan kemampuan otaknya.

"Fiance." koreksi Zean.

Behind The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang