🌰20

10.3K 935 50
                                    

Hari semakin gelap, matahari pun sudah tenggelam sejak sejam lalu. Namun agaknya seorang perempuan itu belum ada niat untuk beranjak dari kursinya.

"Kali, makan dulu!" seruan ibunya dari balik pintu kamar hanya dibalas Kalivia gumaman. Baginya menghadapi tugas di depannya jauh lebih penting.

Zintya membuka pintu kamar Kalivia lantaran tak mendapat respon berarti. Mendapati pemandangan langka itu, Zintya lantas menutup mulutnya.

"Kali, kamu habis ke cantol cogan yang mana, hah? Pantes hari ini langit kagak mendung." celetukan Zintya di belakangnya merubah air muka Kalivia.

"Mama, Kali males belajar diomelin. Kali rajin belajar malah dapat keraguan. Serba salah." gerutunya yang dibalas tepukan cukup keras dari bahunya. Kalivia sempat meringis.

"Meski menolak percaya tapi Mama seneng. Akhirnya otak kamu bisa dikembangin. Mama ke bawah dulu ambilin kamu makan."

Selepas Zintya pergi, Kalivia kembali berkutat. Dia frustasi lantaran usahanya berjam-jaman belum menemukan hasil. Tugas fisika-nya masih jalan ditempat.

Bahkan saat Zintya datang membawakannya makanan dan mengingatkannya untuk segera mengisi perut, Kalivia tetap tak bergeming.

Kalivia hampir menangis, dia sudah cukup lelah. Otaknya, tubuhnya, semuanya lelah. Kalivia ingin menyerah, namun wajah Zean langsung terlintas di pikirannya.

"Nilai lo penting. Jadi harus lo utamain dibanding urusan lo yang lain."

"Mah, Kali capek. Pantat Kali pegal, Kali ngantuk, Kali laper." gumamnya lirih. Kembali Kalivia menegakkan tubuh. Dia tak boleh menyerah, dia harus bisa.

Kalivia melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Berjam-jam duduk hingga jarum pendek berada di angka 10, Kalivia baru berhasil menjawab 2 dari 5 soal. Meski keakuratan jawabannya masih diragukan, setidaknya dia telah berusaha.

Saking fokusnya pada buku di depannya, Kalivia tak sadar bahwa sedari tadi sudah ada manik hitam kelam yang mengawasinya dari sudut tergelap kamarnya.

Barulah ketika mendegar suara tapak kaki, Kalivia cepat menoleh. Netra birunya membola kala sosok Zean berada di kamarnya.

"Zean," Kalivia mendongak saat sosok jangkung itu berdiri di belakang kursi belajarnya. Sejak kapan pria itu ada di kamarnya? Dan bagaimana bisa dia masuk sedangkan balkon kamarnya Kalivia kunci.

"Aku udah belajar. Soalnya memang sulit tapi aku udah ada jawab 2." paparnya takut-takut.

Zean tersenyum kemudian mengelus pelan rambut Kalivia yang dicepol tinggi. Maniknya jatuh pada piring yang isinya masih penuh. Menandakan Kalivia belum makan malam.

Lalu Zean mengambil piring itu dan menuntun Kalivia berdiri menuju ranjang.

"Zean, aku lagi usaha. Jangan marah, ya."

"Siapa yang marah, hm?" ucapan bernada pertanyaan itu malah kian menambah kekhawatiran Kalivia.

"Makan, gue suapin." katanya menyodorkan sendok di depan mulut Kalivia. Ragu-ragu Kalivia menerimanya. Menit demi menit berlalu yang hanya diisi keheningan hingga piring putih itu habis menyisakan sisa tulang ikan.

"Biar aku bawa ke dapur." ujar Kalivia mengambil piring kosong itu dan keluar dari kamarnya.

Tinggallah Zean seorang diri yang kini sibuk mengamati seluruh kamar Kalivia. Atensinya teralih saat pintu coklat terbuka menampilkan sosok Kalivia yang nampak gugup.

"Zean, butuh sesuatu?" Kalivia bertanya dari depan pintu.

"Kemari." Zean menggerakan satu jarinya, menyuruh Kalivia mendekat sedangkan Kalivia sendiri enggan ke sana.

Behind The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang