🌰09

11.2K 1K 42
                                    

"Hah?! Gila ya bokap lo. Wah, curiga nih keknya otak kiri dan otak kanan bapak Rei ketuker." imbuh Irena setelah mendengar cerita Kalivia mengenai surat perjanjian itu.

Di depannya Kalivia mendesah lesu, wajahnya ia tempelkan pada meja dengan raut wajah nelangsa.

"Lo udah pastiin ntu surat asli kan?" tanya Irena dan Kalivia balas dengan gumaman. Rasanya malas sekali bersuara.

"Kalo gitu kenapa nggak lo selingkuh aja. Lo sewa cowok kek."

Saran dari Irena tentu juga Kalivia pikirkan. Tapi, masalahnya siapa yang akan bersedia menjadi selingkuhannya.

"Gue udah bilang ama Zean. Doi cuman jawab 'silakan kalo bisa'." Kalivia meniru kembali ucapan Zean di mobil tadi. Tiba-tiba kepalanya ditimpuk, Kalivia hanya meringis jengkel.

"Itu serius Zean ngomong gitu? Kok gue ragu, ya. Jujurly, Zean itu tipikal cowok ramah dan murah senyum. Satu kekurangannya, dia tak puas bermain di satu wanita," tukas Irena yang tanpa sadar membuka perasaan gundah di hati Kalivia.

"Selama ini kita mana ada liat Zean marah. Entah gimana nanti modelnya, tapi saran gue nih, lo jauhi rencana lo itu. Gue takut yang ada malah ngundang bahaya." kali ini Irena berbicara dengan intonasi serius bahkan Kalivia pun ikut tertegun mendengarnya. Meresapi setiap kalimat demi kalimat yang meluncur di bibir sang sahabat, Kalivia malah tambah dilema.

"Gue gak ada pilihan lain, Na. Lo gak bakal ngerti posisi gue. Masalah ini jauh lebih besar ketimbang perasaan bertepuk sebelah tangan gue." akunya sambil menggambar di sebuah buku yang tak lain milik Irena. Tentu saja pemiliknya tidak tau.

"Entahlah, Kali. Gue sama bingungnya. Lo yang tunangan gue yang ikutan frustrasi." keluh Irena seraya tangannya terangkat memijit pelipisnya.

Kalivia juga ikut memijit pelipisnya diikuti helaan napas panjang dari bibirnya. Tangannya kembali bergerak membuat pola rapi di buku Irena, membentuk sebuah gambar abstrak yang indah.

Selain biola, keahlian lain yang Kalivia miliki adalah menggambar. Hal yang tergambar dalam kepalanya bakal Kalivia tuang dalam bentuk coretan pensil.

"Kali, gimana kalo lo jadi cewek centil. Buat agar si Zean risih dan gak nyaman sama lo." usul Irena menatap Kalivia semangat.

Menghentikan sejenak aktivitasnya, Kalivia menopang dagu. "Cewek centil?"

"Ho'oh, lo pokoknya harus merangkap jadi buaya betina. Kalo ini sih gak bakalan gagal." seloroh Irena bangga.

"Gitu, ya?" Kalivia mengangguk mengerti.

"Coba lo praktekin ke gue. Anggap gue ini Zean."

Kalivia menegakkan tubuhnya, memindai tubuh Irena, Kalivia tersenyum genit.

"Bang, godain aku dong. Kikiuww, ukuran berapa, bang?"

"Hiii, om pedo itu mah," seru Irena ketika merasakan bulu kuduknya berdiri. "Tapi lumayanlah." tambahnya mengangkat sekilas jempolnya ke arah Kalivia.

"Gue coba." akunya kembali melanjutkan aktivitasnya. Irena mengamatinya, gambar yang dihasilkan dari tangan Kalivia memang tidak pernah gagal. Malah diantara teman sekelas mereka, gambar Kalivia-lah yang paling bagus.

Tak heran bila nilai seninya tinggi. Begitupun biola.

Satu kebanggaan Irena menjadi sahabatnya. Senyumnya tersungging lebar, sebentar kemudian maniknya memicing.

Garis-garis buku itu seperti tidak asing.

"Eh, kok kayak buku gue, ya?" Irena menyerobot buku yang dipakai Kalivia. Dan tebakannya pun dibenarkan.

Behind The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang