🌰07

12.5K 1.2K 46
                                    

Membuka pintu apartemennya, Zean berjalan masuk disusul gadis di belakangnya.

"Gue bikinin minum dulu." pamitnya melengos pergi menuju dapur yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Gadis dengan nama tag Zava itu memilih duduk pada sofa panjang ruang tamu. Sembari itu mengamati kegiatan Zean yang sibuk berkutat dengan kegiatannya.

Beralih dari Zean, Zava mengedarkan pandangan sekitar. Apartemen Zean termasuk luas, tapi kebanyakan kosong di beberapa tempat. Apartemen Zean lebih didominasi lukisan-lukisan dibanding figura foto yang bisa Zava perkirakan tidak cukup 3.

Lalu pandangannya jatuh pada lukisan besar diantara lukisan lain. Lukisan seorang gadis cantik dengan surai hitam panjangnya. Entah dorongan dari mana Zava mendekati lukisan yang terletak di samping tangga. Mengamatinya seksama Zava bisa melihat ada tulisan di bawah lukisan tersebut.

My Moon.

Itulah kira-kira. Tapi siapa gadis itu dan apa perannya dalam hidup Zean hingga Zean menjadikan sebagai lukisan indah.

"Dia Bulan gue." celetukan Zean di belakangnya sukses membuat Zava terkejut.

"Dia siapa?" tanya Zava menatap Zean yang juga ikut menatap lukisan berisi seorang gadis.

"Seseorang yang gak bisa gue miliki."

"Jadi namanya Bulan?" Zava bertanya meski tak menghalu adanya rasa sesak di dalam sana.

"Hm." Zean berdeham setelahnya memberi isyarat pada Zava agar ikut dengannya.

Kini keduanya sudah duduk dengan suasana yang terbilang cukup canggung. Atau hanya berlaku untuk Zava sebab Zean masih asik menikmati game di ponselnya.

"Gue ada perlu. Penting." sekian lama terdiam dengan hati gundah, akhirnya Zava memberanikan diri bersuara. Dan berhasil mengambil sepenuhnya atensi Zean.

Menaruh ponselnya di atas meja, Zean menatap teman sekelasnya itu serius.

"Lo ada masalah?"

Zava mengangguk cepat, sebelum bersuara dia sempatkan menyeruput minumannya. "Dan ini masih ada hubungannya ama lo."

Dahi Zean menyerngit, kini badannya duduk tegak sedang pandangannya lurus ke arah Zava.

"G-Gue hamil." Zava langsung menunduk setelah mengungkap hal mengganggu pikirannya sejak kemarin. Jarinya saling memilin bertambah gugup ketika Zean terkekeh.

"Tapi kita hanya main sekali." tukas Zean dengan tubuh yang kini bersandar penuh pada sofa.

"Tapi lo yang ambil perawan gue. Gue hanya berhubungan itu sama lo." timpal Zava sementara air matanya tanpa di undang sudah mengalir. Hal inilah yang menjadi ketakutan tersendiri bagi Zava. Dia bukan gadis pertama yang mengaku hal seperti ini, mungkin Zava adalah kesekian.

Tetapi tak ada satupun dari wanita-wanita itu yang berhasil membuat Zean bertanggungjawab. Bila beberapa waktu Zava menganggap bahwa wanita-wanita itu ingin memiliki Zean dengan mengaku-ngaku hamil, maka tidak untuk sekarang. Ternyata begini rasanya bila tidak diakui.

"Zava, gue masih ingat jelas. Gue ngeluarinnya di luar bukan di dalam. Jadi, gimana mungkin lo hamil. Terkecuali bila lo berhubungan dengan orang lain." kali ini Zean menanggapinya cukup kalem. Tak ada riak ketegangan dalam kalimatnya yang malah berhasil menekan Zava.

"Lo bener. Tapi mungkin waktu itu lo gak bener-bener keluar di luar. Gak ada yang tau sperma lo masuk kedalam rahim gue apa kagak walau sedikit." Zava kini bangkit lalu duduk di bawah tepat Zean duduk.

"Pliss, gue bingung musti ngapain. Hanya lo yang bisa nolongin gue." pintanya menatap Zean memelas dari bawah.

Zean menatapnya, beberapa saat kemudian menghela napas panjang. "Oke."

Behind The DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang