24. Pengorbanan
Kamu melihat org yang hidupnya lebih beruntung dari kamu untuk bermimpi sementara kamu melihat orang hidupnya jauh lebih kekurangan dari pada kamu untuk bersyukur
🦋
Diaska terdiam mendengar ucapan Kanaya. Dia menatap cewek itu tak menyangka seraya berkata, "lo gila?"
"Gila?" Kanaya berjalan mendekati Diaska hingga berdiri di depan cowok itu. "Yang duluan suka sama kamu itu aku, yang selalu ada di sisi kamu juga aku. Kamu tahu gimana perasaan aku pas pulang dari luar negeri kemarin? Kamu nggak seharusnya pacaran sama dia, Diaska! Aku ikhlas kamu berhubungan sama siapa pun tapi kenapa harus Anna?"
"Anna selalu ngerebut semua yang aku suka. Dia udah punya semua yang aku impikan, kamu tahu rasanya? Ini sama sekali nggak adil buat aku." Kanaya mengusap air matanya dengan kasar.
"Lo nggak punya hak apa apa-apa buat ngatur gue harus berhubungan sama siapa," balas Diaska. Tatapannya berubah dingin dan tajam, terlihat jelas dia sedang berupaya menahan emosinya. "Dan ... yeah. Kalau lo terus fokus melihat orang yang hidupnya lebih beruntung dari lo, lo pasti akan terus merasa nggak adil kecuali lo buka mata dan bisa juga melihat orang yang hidupnya jauh lebih kekurangan dari lo."
Diaska pergi meninggalkan Kanaya setelah mengucapkan satu kalimat yang membuat cewek itu merasa sakit hati.
"Jangan pernah muncul di depan gue lagi. Muak gue sama lo!"
"Kamu akan menyesal, Diaska." Kanaya berujar dengan menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Diaska menghela napas panjang melihat Tamara berdiri di dekat gerbang dengan tatapan tajamnya.
"Tante nguping?" tanyanya kesal kemudian melewati wanita itu yang mengikutinya dari belakang.
"Kenapa pulang? Dua jam yang lalu Natta menelpon katanya kamu meninggal karena kecelakaan. Aku baru saja mau membuat syukuran," ucap Tamara.
Diaska berhenti saat dia baru saja mencapai pintu, ia berbalik lalu tersenyum manis terlihat tak tersinggung akan ucapan menyakitkan Tamara yang mengandung harapan akan kepergiannya. "Makasih, Tante. Aku terharu sekali sampai mau nangis."
Cowok itu menyeret kakinya yang diperban hendak memasuki kamar tetapi urung saat lagi-lagi Tamara menghentikannya dengan memanggilnya.
"Anak nakal," kata wanita itu berjalan mendekatinya. Tatapannya mengarah ke kakinya yang terluka.
"Aku ingin mengobati mu," lanjut wanita itu. Sayangnya sebelum bisa menghindar, Tamara mengarahkan higheels-nya yang berwarna merah menyala menginjak kuat kakinya yang terluka hingga spontan membuat Diaska mengigit tangannya sendiri untuk menahan sakit.
"Kenapa tidak mendorongku? Kamu bisa melakukannya! Apa injakan ku kurang kuat?" Tamara menekan kakinya membuat keringat dingin Diaska bermunculan di keningnya.
Diaska mengatur napasnya yang memburu saat Tamara menarik kakinya. Cowok itu kemudian tersenyum di sela rasa sakit di kakinya. "Tante puas?"
Tanara memalingkan wajahnya. Diaska masih belum melunturkan senyumnya. "Kalau belum puas datang saja ke kamarku."
"Tutup mulutmu!" bentak Tamara menatap nyalang. "Harusnya kamu marah, membentakku, mendorongku, dan memakiku seperti yang kamu lakukan pada Papamu. Kenapa kamu tidak melakukannya hah?"
"Kalau aku melakukannya, aku akan merasa bersalah dan berdosa sementara Papa pantas mendapatkannya." Diaska memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Tamara. "Kenapa aku harus membencimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen FictionSatu-satunya yang tidak boleh kamu percaya di dunia ini adalah HARAPAN *** 02092022