36. Sebuah rahasia
Sakit itu ketika kamu menganggap seseorang begitu berharga. Namun, kamu tidak berarti apa-apa untuk orang itu.
🦋
Ada banyak hal yang dilakukan para siswa ketika jam istirahat tiba. Ada yang langsung ke kantin untuk mengisi kekosongan perutnya, ada yang bermain basket juga bola di lapangan, dan ada juga yang pergi ke perpustakaan untuk membaca serta memperluas wawasan.
Diaska sendiri memilih mengasingkan diri dari banyaknya kegiatan yang mesti dilakukan sekadar untuk memanfaatkan waktu istirahat, dia malah pergi ke atap sekolah dan termenung di sana menatap hampa di pujaan hati yang tertawa bahagia di bawah sana bersama Kafka kakak kelas yang dibencinya.
Harusnya tawa itu, senyum itu, tatapan mata itu serta, sentuhannya hanya milik ia seorang. Tapi, apa yang harus dilakukan Diaska? Pergi menghajar Kafka dan mengatakan siapa ia sebenarnya pada Anna justru seperti menyiram minyak pada api yang sedang membara.
"Tumben lo nggak cemburu," tegur cewek yang menghampiri dan langsung duduk di sampingnya.
"Oh iya, Bu Dwi minta gue bantu lo mengejar ketertinggalan lo menyangkut semua materi yang udah kita pelajari," lanjut cewek itu.
"Bukannya ada kelas tambahan?" tanya Diaska bingung kemudian menatap curiga ke arah Bella. "Ini bukan akal-akalan lo buat deket lagi sama gue kan?"
Bella menatap datar. "Gue lebih suka menyebutnya memanfaatkan kesempatan."
"Sorry Bell, gue setia orangnya," kata Diaska. "Lagian lo, kok belum move on sih? Banyak yang lebih segalanya dari gue."
"Lo pacar pertama, cinta pertama, bahkan ciuman pertama gu-"
"Yang terakhir nggak usah dibahas," potong Diaska.
"Biar semua orang tahu, lo bajingan." Bella tak bisa menyembunyikan raut kesal di wajahnya. Sikap Diaska yang ditunjukkan benar-benar kebalikan dari apa yang ia rasakan. Apa kenangan mereka sama sekali tak berarti apa-apa untuk dia?
Hening. Diaska tak menimpali apa-apa dan hanya menatap hampa jauh ke depan.
"Anak-anak di kelas nggak berhenti gosipin lo sama Natta. Kalian bertengkar, ya?" tanya Bella mengalihkan pembicaraan.
"Namanya juga saudara, Bell. Bertengkar adalah hal yang biasa," jawab Diaska lugas.
"Tapi, tumben kalian sampai nggak saling sapa gitu?"
"Gue butuh waktu, Natta juga butuh waktu. Kalau kami udah bisa menang dari ego kami masing-masing, nanti baikan lagi kok," jelas Diaska tenang.
Bella mengangguk mengerti. "Kalau lo mau jelek-jelekin Natta dan lampiasin kekesalan lo sama dia, gue janji nggak bakal bilang siapa-siapa kok."
Diaska tertawa mendengar ucapan Bella. "Gue emang lagi sakit hati banget sama dia tapi bukan berarti gue harus jelekin dia di belakang kan?"
Bella menghela napas panjang. "Kalian berdua saudara tapi nasib kalian benar-benar kayak siang dan malam. Natta dipenuhi kebahagiaan sementara lo penderitaan. Natta dilimpahkan kasih sayang sementara lo, kebencian. Lo yakin, nggak ada rasa iri dengki sampai benci sama Natta kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
أدب المراهقينSatu-satunya yang tidak boleh kamu percaya di dunia ini adalah HARAPAN *** 02092022