8. Panti asuhan Harapan
Jika kau tidak bisa datang menjadi penyembuh semua luka yang aku punya, maka setidaknya jangan datang untuk menambahnya.
🦋
Setelah membawa Diaska ke rumah sakit dan meninggalkannya untuk keluar mencari restoran terdekat, Loren kembali ke kamar rawat cowok itu.
Ia menghela napas panjang melihat sahabatnya tengah melihat ke jendela rumah sakit.
"Kenapa lo?" tanyanya sembari menempelkan ujung batang nikotin ke bibirnya.
"Sakit hati gue," jawab Diaska tanpa menoleh ke arah Loren sedikitpun.
"Semua yang dilakukan dan diucapkan Tante Tamara bikin gue ngerasa sakit padahal bokap gue aja yang nyaris setiap hari caci maki dan mukul gue nggak pernah bikin hati gue sesakit ini," lanjutnya.
Loren menghembuskan asap rokoknya, tidak peduli ia berada di mana sekarang. Memang anak kurang ajar.
"Yaudah nangis aja, gue nggak bakal bilang siapa-siapa." Loren membentuk huruf v dengan tangan kanannya sementara tangan kiri memegang batang rokok.
"Daripada nangis gue lebih suka menyibukkan diri buat melupakannya," balas Diaska.
Loren mengangkat kedua alis. "Dengan?"
"Ngebucin," jawab Diaska dengan wajah tak berdosanya.
"Muntah," kata Loren.
"Oh iya itu gue beliin makanan buat lo, kan lo nggak suka makan bubur," tambah Loren.
Diaska menghela napas panjang seraya berjalan mendekati Loren dan mengambil kantung plastik berwarna hitam yang cowok itu letakkan di atas ranjang pesakitannya.
"Anna nggak tahu kan?" tanya Diaska sembari memasukkan nasi beserta daging yang Loren belikan ke dalam mulutnya.
"Aman," jawab Loren.
Hening. Diaska sibuk menyantap makanannya dan Loren setia memperhatikan. Tepat saat makanan di tangan Diaska tersisa setengah, Loren bertanya setelah membuang puntung rokok yang sisa setengah ke bak sampah terdekat.
"Gimana, Ka?"
Diaska menatap Loren penuh tanya akan kelanjutan dari ucapan sahabatnya itu.
"Daging babi enak 'kan?" tanya Loren dengan wajah tak berdosanya.
Diaska membuka mulut lebar, tatapan matanya kosong, nasi berjatuhan ke bawah dan kemudian cowok itu mulai terbatuk-batuk sementara Loren sudah berguling di lantai sembari tertawa.
"Gue becanda, Monyet." Loren berusaha menghentikan tawanya yang percuma karena mengingat ekspresi Diaska membuat perutnya tergelitik.
"Woah nggak bener lo, becanda lo nggak lucu!"
Diaska mencabut selang infus di tangannya dan mendekati Loren yang spontan menghentikan tawa.
"Gue becanda, serius! Ya masa lo nggak bisa bedain daging babi sama sapi sih?" Loren berusaha membela dirinya tetapi kerah seragamnya dicengkram kuat oleh Diaska.
Loren mengangkat kedua tangannya. "Gue becanda, tai kucing lo"
Diaska mengepalkan tangan kanannya dan Loren memejamkan mata siap menerima bogeman mentah sahabatnya itu tapi dia kembali membuka kelopak mata saat tak merasakan apa-apa di wajahnya.
"Loh nggak jadi?" Loren bersandar di tembok seraya bersedekap dada melihat Diaska yang kembali ke ranjang pesakitannya.
"Padahal gue kangen berat sama pukulan lo," tambah Loren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
أدب المراهقينSatu-satunya yang tidak boleh kamu percaya di dunia ini adalah HARAPAN *** 02092022