22. Pelajaran bermanfaat
Saat kamu sedang mati-matian menahan air mata kemudian ada yang datang dan bertanya, "kamu kenapa?"
Ya pecah semuanya.
🦋
Raya membuka pintu rumahnya. Sunyi, gelap, dan dingin menyambutnya. Rumah tempat paling ramah yang selalu ia banggakan kini seperti tak berpenghuni. Tidak lagi sehangat dulu.
Kamu puas kan sekarang, Ika? Ini yang kamu mau kan? Batinnya.
Matanya tak sengaja melihat ke arah kursi di dekat jendela, ibunya kembali duduk di sana sembari menatap kosong ke luar sana. Berharap putri yang kerap ia abaikan pulang dan memanggil ibu dengan riang. Seperti dulu. Namun, kini itu semua hanya sebatas harapan.
"Adikmu belum pulang," lirihnya.
Tangan Raya mengepal. Merasa marah, sedih, dan sakit. Semuanya bercampur padu di hatinya.
"Ika akan pulang, kan, Ra?"
Pertanyaan yang sekarang selalu ia dengar setiap pulang membuat Raya tak bisa menahan emosi. Dia menghampiri ibunya dengan berlari, mencengkram kedua bahu wanita itu dengan air mata berjatuhan ke pipi.
"IKA SUDAH MATI!" bentaknya. "Ika sudah mati, Bu .... Lihat aku, Ibu masih punya aku. Ibu! Aku tahu rasa bersalah yang membuatmu seperti ini tapi bahkan hingga ibu gila sekalipun nggak akan bisa balikin Ika ke sini. Aku mohon sadar, Bu. Tolong sadar, aku masih membutuhkanmu."
Raya melepaskan cengkeramannya kemudian merosot ke lantai, menangis sembari bersimpuh di kaki ibunya. Namun, ibunya sama seperti malam sebelumnya. Wanita itu bangkit, berjalan masuk ke kamar Veronika lalu terdengar tangisannya yang memilukan.
##
"Lo udah nyiapin semuanya 'kan?" tanya Diaska pada seseorang di seberang sana.
"Hm ... Lo emang paling bisa dan
semangat kalau masalah ngerepotin gue.""Gue tanya, buat apa punya temen kalau nggak buat direpotkan cobak, Ren?"
Terdengar sumpah serapah Loren dari seberang sana yang dibalas tawa oleh Diaska.
"Oke, gue tutup dulu, ya. Nanti sore gue bawa Anna ke sana."
Diaska memutuskan sambungan teleponnya kemudian meneguk segelas air di depannya.
Terdengar suara langkah kaki seseorang, ia menoleh ke arah asal suara melihat ayahnya turun tangga sembari merangkul bahu Natta.
Keduanya sama-sama tertawa. Entah pembicaraan apa yang mereka bicarakan hingga tawanya terdengar renyah di telinga membuat Diaska membenci dirinya sendiri karena merasa iri melihatnya.
"Tapi cara Mama yang seperti itu membuatku bergantung terlalu banyak sama dia, Pa. Lihat aja, aku tumbuh jadi anak yang nggak bisa apa-apa dan paling lemah di antara teman-temanku," kata Natta. Dia adalah orang paling jujur dan tidak bisa memendam apa pun di hatinya.
"Siapa yang bilang seperti itu? Di mata Papa dan Mama, kamu tetap kebanggaan kami. Kamu jagoan Papa, Nak. Papa mohon jangan berbicara seperti itu lagi, Papa tidak suka mendengarnya." Rio berupaya menghibur anaknya.
Natta mengangguk lesu tapi, kemudian menatap berbinar ayahnya. "Hari ini aku ada rencana liburan, pa."
Rio sangat paham sinyal yang diberikan sang anak. Pria itu tertawa dengan tangan kanan terangkat mengusap surai kehitaman milik Natta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Ficção AdolescenteSatu-satunya yang tidak boleh kamu percaya di dunia ini adalah HARAPAN *** 02092022