34. Memendam semuanya
Hidup tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan karenanya kita harus mencoba siap berdamai dengan keadaan.
🦋
"Ini udah ke- 165 kali gue nyelamatin nyawa lo," kata Loren sembari memandang Diaska yang tengah memakai bajunya.
Mendengar ucapan sahabat sehidup sematinya, Diaska menatap berang. "165 darimananya, anjing?"
"162-nya lewat mimpi," jawab Loren menatap datar.
Diaska tak menimpali lagi sebab tubuhnya juga masih lemas karena diinfus semalaman.
"Lagian kan udah gue bilang, lo gak bakal mati cuman karena ketusuk pisau sebesar ibu jari. Peluru tembus ke badan lo aja, lo masih hidup sampai sekarang. Punya berapa nyawa sih lo?"
"Bukan itu yang gue khawatirkan, tapi bekas lukanya. Nanti gue kalau mau produksi anak sama istri gue, apa nggak jijik dia liat bekas lukanya?" Diaska mengutarakan semua yang ada di pikirannya.
"Tinggal konsultasi sama dokter spesialis, lagian cuman dua, goblok itu pun kecil, lebay banget sih lo." Loren mengomel sembari melompat turun dari jendela rumah sakit dan mengikuti langkah sahabatnya yang keluar ruangan.
Keduanya berjalan di lorong, tak satu dua perawat tertangkap mencuri pandang ke arah mereka.
Diaska menghentikan langkah sejenak. Termenung sebelum akhirnya menatap Loren. "Kok gue nggak pernah liat lo ngerokok lagi."
"Gue berhenti," jawab Loren menghela napas panjang.
"Kok bisa? Sejak kapan?" Diaska bingung karena batang nikotin itu sudah seperti penenang dikala sedih bagi sang sahabat.
Loren menatap Diaska, tersenyum paksa. "Semenjak lo sakit, puas lo?"
Diaska berhenti melangkah, termenung mendengar ucapan Loren seraya memandang punggung Loren yang berjalan menjauhinya dengan tatapan yang sulit di artikan sebelum akhirnya ia sedikit berlari untuk melompat merangkul Loren saking kuatnya rangkulan itu, Loren merasa seperti tercekik dibuatnya.
"Lo mau bunuh gue, ya setan?" maki Loren emosi.
"Gue sayang banget sama lo, Ren melebihi apa pun di dunia ini," ungkap Diaska membuat bulu kuduk Loren berdiri.
"Najis! Jauh-jauh lo dari gue!"
Loren mendorong tubuh Diaska membuat temannya itu nyaris terjungkal ke belakang kalau saja dia tidak cekatan menahan keseimbangan. Tapi, bukannya marah seperti biasa, Diaska malah tersenyum seraya berjalan mengikuti langkahnya.
Keduanya kembali berjalan ke parkiran rumah sakit. "Selama kita temenan, gue nggak pernah liat lo nangis, Ren."
"Lo tahu?" tanya Loren setelah keduanya berada di parkiran. "Nenek gue meninggal aja, gue sibuk main petasan."
"Nggak heran, lo kan nggak punya akhlak," sahut Diaska memasuki mobil.
"Tapi, gue penasaran liat air mata lo," sambung Diaska sembari tertawa.
"Lo mati dulu baru liat gue nangis," balas Loren seraya melayangkan tinjunya main-main ke arah luka Diaska membuat empunya berteriak kesakitan.
"Iblis lo, lukanya belum kering. Kalau infeksi gimana? Jahitannya kebuka terus darahnya keluar gi-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless
Teen FictionSatu-satunya yang tidak boleh kamu percaya di dunia ini adalah HARAPAN *** 02092022