TEN

698 41 0
                                    

"Aku tidak melakukan apa-apa Jen, dia tiba-tiba datang lalu menamparku."

Suara Haechan yang merengek, ketika keduanya sampai di apartemen. Dia merasa tidak terima dengan tatapan sepupunya yang seolah-olah menyalahkannya, padahal dia lah yang ditampar kali ini.

"Kau tahu rasanya kaget bercampur sakit?"Aduhnya sekali lagi.

"Bahkan kakak kelas saja tidak berani melakukan ini padaku. Mentang-mentang kita sedang di kandangnya."

"Aku trauma melihat wajahnya!"

Benci sekali Haechan ketika mengingat wajahnya. Terlebih tamparannya tadi cukup kuat dan membiarkan bekas kemerahan di pipinya.

"Apa kau membuat kesal dirinya?" Tanya Jeno pada akhirnya. Seperti seorang kakak yang menyuruh adiknya duduk terlebih dulu dengan bertanya baik-baik.

"Kenapa kau terkesan membelanya, aku sama sekali tidak melakukan apapun." Bantah Haechan masih keras kepala.

"Kau banyak bicara Haechan, bahkan suara ocehanmu terdengar hingga lantai bawah tadi."

Untuk urusan ini Jeno benar-benar yakin inilah sebabnya. Kadang sepupunya ini tidak bisa mengendalikan dirinya dan menganggap bahwa semua tempat sama dan dia bisa diterima. "Bukannya aku melarang, tapi aku sudah bilang berkali-kali untuk menjaga bicaramu. Terlebih tadi kita berada di rumah orang tadi. Karena tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik."

Melihat Haechan yang mulai diam, barangkali mencerna semua kata-katanya. Memang hanya dengan Jeno lah, remaja berzodiak gemini itu akan menurut.

"Sudah mulai sadar?" Tanya Jeno lagi.

"Sadar kalau kau tetap akan menyalahkanku." Sinisnya.

"Baiklah aku antar pulang saja...

"TIDAKKK...!"

Dasar Jeno menyebalkan. Selalu menggunakan hal itu sebagai ancaman. Haechan lekas berdiri, tangannya terulur memeluk Jeno. Sesuatu yang menjadi hal lumrah dari mereka berdua.

"Baiklah, tidak usah menangis, mandi kemudian tidurlah." Perintah Sang dominan.

"Jen, sebenarnya tadi aku membaca namamu di buku agenda milik Jaemin." Ungkapnya mengejutkan.

"Apa?"

"Semacam puisi. Aku sebenarnya ingin menanyakan ini bukumu atau tidak, tapi dia tiba-tiba marah dan langsung menamparku." Keluhnya.

Jika memang begitu maka satu lagi beban pikiran Jeno bertambah. Ia toh tidak berharap banyak, mungkin saja buku yang dimaksud semacam death note atau revange note. Jaemin terlampau misterius untuk itu. Sikapnya pun berubah-ubah. Kadang bisa bertingkah manis seperti Jaemin yang ia temui di kebun binatang atau kadang juga bertingkah jalang karena sebelumnya Jeno telah memergoki kakak dan adik itu berciuman sesaat dia melewati kamar mereka.

Hal yang terjadi di tempat berbeda. Masih dalam kejadian yang sama, selepas anak orang dibuat menangis oleh perlakuan adiknya. Sejujurnya Mark tahu bahwa adiknya bukan tipe orang yang suka main tangan. Dia lebih suka melawan dengan kata-kata atau mungkin menyerahkan semuanya pada Mark. Tapi pada kasus Haechan, anak yang terlihat polos bahkan bisa-bisanya menangis dan mengaduh ke Jeno tadi. Oleh Jeno anak tadi dibawah pulang. Persis seperti menjaga bayi.

"Jangan memandangku seperti itu." Ucap Jaemin. Tidak suka kakaknya memandangnya dengan tatapan setengah intimidasi seperti ini.

"Aku sedang mengagumi." Bantahnya menariknya tiba-tiba dalam rengkuhan.

Tunggu, ini bukan saatnya dia memintah jatah bukan? Bagaimana pun saran Renjun masih berlaku demi kesehatan dan keselamatan dirinya. Bahkan luka lebam pun masih samar, belum sembuh sepenuhnya.

ANIMAL - NOMIN MARKMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang